Reposisi Hakikat Beragama di tengah Kemajemukan Indonesia (original) (raw)

Paham Kemajemukan dan Kebebasan Beragama di Indonesia

Problem kemajemukan dan kebebasan beragama hingga kini belum selesai di manapun di bagian dunia ini, termasuk Indonesia. Kini banyak pemikir mencari jalan-jalan terbaik, apalagi ketika sebagian elemen Negara dan tokoh masyarakat terus menunjukkan pernyataan, sikap, dan kebijakan yang defensif dan sering tidak toleran (intolerant) terhadap perbedaan dan kemajemukan masyarakat Islam dan bangsa Indonesia mengenai berbagai isu keagamaan.

Rekognisi Atas Pemenuhan Hak Beragama-Berkeyakinan di Indonesia

Perdebatan mengenai perihal keagamaan telah lama menjadi masalah yang lebih tua usianya dibandingkan republik ini sendiri. Penentuan dasar negara dalam rapat BPUPKI, awal mula Pancasila, diwarnai dengan perdebatan mengenai ketentuan 7 kata, antara Soekarno, Hatta, dkk dengan perwakilan Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo maupun Wahid Hasyim, yang berakhir dengan dihapuskanya ketentuan 7 kata melalui lobi Hatta kepada Hadikusumo. Kemudian pada saat jatuhnya rezim otoritarian Soeharto, amandemen konstitusi dilakukan dengan berhati-hati, yang bertujuan agar tidak membawa serta isu agama masuk dalam perubahan amandemen. Dikhawatirkan, apabila isu agama masuk, maka akan mengulang perdebatan awal pada tahun 1945. 2 Apa yang diungkapkan disini mempengaruhi bagaimana pengaturan hukum positif tentangnya, yang akan dibahas dalam bagian lain tulisan ini. Pengaturan Agama Oleh Negara Sebelum melangkah lebih jauh, pertama-tama yang harus dijelaskan lebih dahulu adalah; apakah hak beragama/berkeyakinan itu perlu untuk diatur secara khusus dalam konstitusi? Bukankah hak religiusitas itu sesungguhnya telah termaktub dalam hak berekspresi yang sifatnya lebih luas? Jawabanya bisa bersifat pragmatis dibandingkan dengan pertimbangan filosofis. Betul bahwa hak ekspresi individual adalah satu hal, namun pada kenyataanya, dalam hal religiusitas, seseorang dapat menempatkanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hak yang lain. Hal ini berkaitan pula dengan dua wajah dari agama. Pada satu sisi agama diyakini mempromosikan perdamaian dan cinta kasih, namun sebagai sesuatu yang paling benar bagi para penganutnya, agama sekaligus pula membawa pula misi pencerahan pada yang lain, untuk menyelamatkan jiwa dari yang oleh para penganutnya dianggap sesat dan dirundungi gelap. 3 Darisini dapat dilihat, bahwa dalam pola umum yang terjadi, agama juga memiliki potensi kekerasan, sebagaimana pula ideologi maupun negara itu sendiri, dalam konteks mempertahankan kebenaran bagi penganutnya. Konflik yang muncul, menurut Cross, pertama-tama adalah antara satu keyakinan yang dominan terhadap yang lain, dan pola lain, dimana non-religius otokrats terhadap golongan religius. 4 Selain itu, pengaturan mengenai kebebasan atas religiositas dapat pula dipahami sebagai perlindungan kepada golongan non-agama dari ekspansi tuntutan agama yang dominan. 5 Pencantuman atas hak

Wacana Solidaritas Dan Kemajemukan Islam Indonesia DI Tengah Pandemi COVID-19

2020

Pandemi Covid-19 telak melumpuhkan banyak sisi kehidupan manusia. Dalam situasi ini umat Islam Indonesia turut diuji antara lain dalam aspek solidaritas dan kemajemukannya. Sebagai konsekuensinya terdapat dua pilihan bagi umat Islam Indonesia untuk menghadapi problem global ini, antara bersatu padu atau bercerai berai. Kemajemukan dan solidaritas sangat dibutuhkan bangsa Indonesia mengingat banyaknya elemen dalam tubuh umat Islam di Indonesia seperti beragamnya ormas. Di antara yang paling besar seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Peran pemerintah dan ulama sangat dibutuhkan dalam mengatasi Covid-19. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana perkembangan solidaritas dan kemajemukan Islam di tengah pandemi Covid-19 serta memetakan sejauh mana dampak solidaritas dan kemajemukan yang telah dihadirkan oleh umat Islam Indonesia. Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian kualitatif, berbasis pengamatan sosial. Penelitian ini ...

Soal Kemajemukan dalam Ketunggalan Negara – Bangsa Indonesia

Secara harisontal berbagai kelompok masyarakat yang kini dikategorikan sebagai Bangsa Indonesia itu dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai sukubangsa (dan/atau sub-sukubangsa), kelompok penutur bahasa tertentu, maupun ke dalam golongan penganut ajaran agama yang berbeda satu sama lainnya. Secara vertikal berbagai kelompok masyarakat itu dapat pula dibeda-bedakan atas dasar mode of production, yang bermuara pada perbedaan daya adaptasinya. Wajah kemajemukan vertikal ini perlu mendapat perhatian kita. Sebab, perubahan mode of production dan daya adaptasi – ini jika kita punya hak untuk melakukan perubahan itu -- tidak semudah membalik telapak tangan. Dari sudut kemajemukan vertikal, dengan demikian, perbedaan kebudayaan dalam nation Indonesia haruslah dilihat secara gradual. Baik antara kelompok-kelompok yang ada di dalam satu golongan sosial yang dikategorisasikan ke dalam satu kelompok harisontal tertentu, maupun antar kelompok-kelompok harisontal itu sendiri.

Dinamika Kehidupan Beragama di Indonesia

Penelitian ini berangkat dari realitas empiris ditengah-tengah masyarakat tentang akan di realisaikannya pembanguna sebuah mall dan rumah sakit serta lembaga pendidikan di bawah naungan kartel ekonomi besar di tanah air yang bernama Siloam. Keberadaan Siloam sebagai unit usaha produktif di tanah air tidak lagi diragukan, mengingat perusahaan ini telah didirikan dibeberapa propinsi di Indonesia, sebut saja; Bali, Surabaya dan Jakarta. Pendirian di beberapa daerah lain tidak mendapatkan resistensi yang kuat dari masyarakat. Alasan paling logis disampaikan oleh masyarakat adalah perlunya upaya menyelamatkan aqidah masyarakat Sumatera Barat dari proses pemurtadan yang berpotensi dilakukan oleh Siloam, melalui lembaga pendidikan Kristen yang mereka jalankan. Sehingga hal ini merupakan isu hangat yang perlu dikaji lebih mendalam. Dalam bahasa sederhana penelitian diharapkan menjadi early warning system (sistem peringatan dini) dalam mencegah konflik di dalam masyarakat yang pro dan kontra terhadap eksistensi Siloam Khawatir akan adanya praktek misionarisasi dan Kristenisasi dibalik pembangunan Rumah Sakit Kristen Siloam dan juga investasi Lippo Group lainnya yang terdiri dari Sekolah Kristen Pelita Harapan, Mal dan Hotel, membuat sejumlah organisasi masyarakat dan gerakan mahasiswa di Kota Padang Sumatera Barat menyatakan penolakannya. Menurut perwakilan dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Sumatera Barat M Sabri ada beberapa hal yang menyebabkan penolakan tersebut terjadi. Pertama, karena Pemko Padang tidak pernah berkoordinasi dengan DPRD Padang sehubungan dengan rencana investasi besar-besaran Lippo Group di Padang. Kedua, karena hingga kini studi dan izin Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) super blok milik Lippo Group tersebut belum ada. Ketiga, karena James T Riadi adalah penerus keluarga Muchtar Riadi yang selain sebagai pengusaha sukses, juga adalah pendeta international yang berguru pada Pat Robertson yang dikenal luas sebagai misioanaris international yang sempat mencela orang Islam di tahun 2006. Keempat, terkait dengan nama Siloam yang diambil dari kitab suci agama Nasrani yang berarti air suci, ada juga yang mengartikan Siloam yang diutus oleh Tuhan masyarakat Nasrani. Hal ini, merupakan simbol-simbol agama Nasrani. Jika diperhatikan logo Lippo Group juga ada ular yang melingkari tiang dan ada merpati yang siap menerkam. Maksudnya dalam kitab suci Nasrani, ular adalah kecerdikan dan merpati lambang ketulusan. Pemerintah perlu turun tangan terhadap masalah-masalah sosial didalam masyarakat yang terdapat kemungkinan melibatkan unsur keyakinan dan agama. Belajar dari pengalaman, faktor tersebut kini menyumbang paling banyak kasus dan gesekan yang terjadi didalam masyarakat. Pemerintah beserta juga masyarakat perlu meredam hal tersebut secara besama-sama

Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia

2014

Buku ini berawal dari riset mengenai pemolisian konflik-konflik agama di Indonesia pasca-Orde Baru. Konflik-konflik agama di sini dikhususkan dalam dua bentuknya yang paling menonjol beberapa tahun terakhir, yakni konflik sektarian (intra-agama), yang diakibatkan oleh sikap anti-Ahmadiyah dan anti-Syiah, dan konflik terkait tempat ibadat (antar-agama). Ada perkembangan yang patut disyukuri tapi juga disayangkan dalam pengelolaan kehidupan keagamaan di Indonesia pasca-Orde Baru. Di satu sisi, kekerasan kolektif antar-agama, seperti yang terjadi di Ambon, Maluku Utara, dan Poso (Sulawesi Tengah) sudah berhenti sejak sekitar sepuluh tahun lalu. Namun, di sisi lain, beberapa laporan menunjukkan peningkatan insiden konflik antar-agama, khususnya terkait rumah ibadat, dan konflik sektarian intra-agama (Islam), khususnya terkait Jamaah Ahmadiah Indonesia (JAI) dan komunitas Syiah. Meski cukup sering dibicarakan, masalah di atas jarang sekali ditinjau dari sisi pemolisian. Buku ini mencoba ...

Masa Depan Keberagaman Umat Beragama di Indonesia

“Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan”. Adalah tulisan Gus Dur, mantan presiden Indonesia dan tokoh toleransi, yang dimuat Tempo pada tahun 1982 silam. Pemikiran Gus Dur tersebut menjadi sangat relevan akhir-akhir ini ketika kasus kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan semakin mengkhawatirkan. Diskriminasi, opresi, intimidasi bahkan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok intoleran sering menyasar minoritas agama di Indonesia. Kelompok intoleran tersebut merasa berhak mewakili Tuhan di bumi, menyingkirkan siapa pun yang tidak sepaham dengan mereka. Padahal Tuhan lebih berkuasa daripada manusia.

Toleransi Beragama Di Indonesia

Manusia adalah makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial tentunya manusia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan individu lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda warna dengannya salah satunya adalah perbedaan agama.