Gender Lanang Sebagai Manifestasi Budaya Arek Dalam Karawitan Jawa Timuran (original) (raw)

Tari Lengong sebagai Ekspresi Keseimbangan Gender Laki laki di Seni Tradisional Bali

Tari Lengong, salah satu bentuk seni tradisional Bali, muncul sebagai ekspresi keseimbangan gender laki-laki dalam budaya Bali. Penulisan ini mengungkap peran penting Tari Lengong dalam menjaga harmoni gender dalam seni tradisional Bali. Melalui analisis mendalam, tulisan ini membahas aspek-aspek kunci yang mengilustrasikan bagaimana tarian ini mencerminkan keseimbangan antara maskulinitas dan femininitas, serta bagaimana hal ini tercermin dalam gerakan, kostum, dan makna budaya di balik Tari Lengong. Selain itu, penulisan ini menyoroti dampak positif dari pemberdayaan seniman laki-laki dalam menjaga dan mempromosikan tradisi ini, sambil mempertimbangkan perubahan sosial dan budaya yang berkembang di Bali. Kesimpulannya, Tari Lengong bukan hanya merupakan warisan budaya Bali yang berharga, tetapi juga merupakan contoh yang inspiratif tentang keseimbangan gender dalam seni tradisional, yang relevan dalam konteks kontemporer. Kata kunci: Penari laki-laki, keseimbangan gender, tari tradisional Bali ABSTRACT Lengong Dance, one of Bali's traditional art forms, emerges as an expression of gender balance within Balinese culture. This writing delves into the pivotal role of Lengong Dance in maintaining gender harmony in traditional Balinese art. Through in-depth analysis, this writting discusses key aspects illustrating how this dance reflects the balance between masculinity and femininity, as well as how this is manifested in its movements, costumes, and the cultural meanings associated with Lengong Dance. Furthermore, the highlights the positive impact of empowering male artists in preserving and promoting this tradition, while considering the evolving social and cultural changes in Bali. In conclusion, Lengong Dance is not only a valuable cultural heritage of Bali but also serves as an inspiring example of gender balance in traditional art, relevant in contemporary contexts.

Ungkapan Estetika Karawitan Jawa pada Reproduksi Rekaman Gamelan Ageng Surakarta

Resital:Jurnal Seni Pertunjukan

ABSTRACTThe Expression of Javanese Karawitan Aesthetics in the Reproduction of Gamelan Ageng Surakarta Recordings. Sound recordings have the purpose of transferring musical offerings to the storage media. The aesthetics and sound meanings contained in musical performances of course become a mandatory when sound is recorded. The concept of Javanese karawitan recordings certainly takes into consideration of the aesthetic value of the presentation and will not leave the principles as well as the sound meanings behind. Recorded musical performances of musical instruments must present an ideal sound according to the cultural convention. Recording documents in the form of audios are felt to be highly essential in karawitan concert area because they are way of storing events. As a result, musical concerts which are already in the form of audio media have more value compared to concerts being integrated with particular event. The authors found that karawitan concert carried out by using rec...

Rangkep Dalam Karawitan Jawa : Studi Kasus Ricikan Kendang

Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi, 2022

Tulisan ini didasari oleh pemikiran bahwa istilah musikal dalam yang digunakan dalam karawitan Jawa adalah pula istilah keseharian masyarakat Jawa. Salah satunya tampak pada konsep rangkep. Konsep ini dilihat dari sudut pandang musikalitas kendang. Teori yang digunakan untuk mengungkap konsep rangkep adalah pendekatan Schutz yang memandang manusia sebagai "self elucidation" atau "penjelasan atau uraian diri" yang dalam pelaksanaan penelitian lebih banyak menggali: apa yang mereka katakan, apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka tafsirkan tentang dunia mereka (Walsh dan Wals, 1967). "Mereka" dalam konteks Schutz adalah para pengrawit khususnya para pengendang karawitan di Surakarta. Telaah pustaka pada beberapa tulisan terkait dengan kendang dilakukan dalam penelitian ini. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis. Hasil penelitian ini mengemukakan beberapa hal; adanya sekaran rangkep dalam vokabuler kendang, sekaran rangkep dapat pula melibatkan sekaran ciblon gambyong, adanya singgetan rangkep, dan pembuktian bahwa rangkep lebih condong pada satu garap bukan menyatakan satu tingkatan irama.

Garap Genderan Dalam Gending Lampah Tiga

Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi, 2021

Gending lampah tiga composed by Harjasubrata in the 1950s. At the very beginning of its existence, lampah tiga composition focused and working on vocals, so gending lampah tiga has not been equipped with settled garap instruments. Most pengrawits find it hard to present gending lampah tiga, especially on ricikan gender, this is because the information about genderan lampah tiga is still limited. This article is entitled “Garap Genderan in Gending Lampah Tiga”, the problem described in this article is how to present garap genderan in gending lampah tiga. The method that used to solve the problem in this article is to analyze and transcribe the presentation of gending lampah tiga, then interpreted.The writer hopes to provide an offer about how to interpret genderan in gending lampah tiga and to give a “little” contribution of thoughts for the development of karawitan science.

Seni Peran Lintas Gender Dalam Pertunjukan Tradisional Jawa

Prosiding TJI, UNIKA Soegijapranata, 2020

Seni pertunjukan yang digelar tahunan dalam rangka memperingati Hari Tari se-Dunia (World Dance Day), pada tahun 2019 ini dinodai oleh aksi oknum ormas yang berusaha membubarkan pertunjukan tersebut di Taman Digulis Pontianak Indonesia. Pembubaran tersebut lantaran acara tersebut dianggap memuat pertunjukan dari kaum LGBT. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kesenian tradisi negerinya sendiri menjadi salah satu alasan insiden tersebut terjadi. Padahal negeri kita ini kaya akan macam-macam kesenian tradisi yang banyak dikagumi negara lain, termasuk kesenian tari lintas gender. Sebagai salah satu contoh di Banyumas terdapat sebuah tarian yang tak hanya membuat masyarakat, tetapi juga dunia jatuh cinta akan keindahannya. Tarian tersebut bernama lengger lanang yang telah ada sejak ratusan tahun sebelumnya. Lengger lanang merupakan sebuah kesenian tari tradisional. Tarian ini diperankan oleh laki-laki yang berdandan menyerupai perempuan. Tentunya para penari laki-laki yang memerankan karakter perempuan tersebut dalam kehidupan nyata mereka bukanlah kaum LGBT. Panggung itu adalah seni peran, itulah yang seharusnya dipahami oleh masyarakat kita. Kata kunci: lengger lanang, lintas gender, tradisional, seni peran.

Pengaruh Karawitan terhadap Totalitas Ekspresi Dalang dalam Pertunjukan Wayang Golek Menak Yogyakarta

Resital: Jurnal Seni Pertunjukan

Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan pengaruh karawitan sebagai salah satu pendukung utama pergelaran wayang dengan kualitas ekspresi dalang wayang golek Menak Yogyakarta. Keberadaan wayang golek Menak di Yogyakarta diawali pada tahun 1950-an yang dipopulerkan oleh Ki Widiprayitna, satu-satunya dalang wayang golek Menak pada waktu itu. Kesederhanaan gaya pedesaan Ki Widiprayitna dalam setiap pergelaran tidak mengurangi keberhasilannya dalam memainkan boneka wayang tiga dimensi tersebut, hingga ia mendapat julukan dhalang nuksmèng wayang. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilannya adalah kesatuan rasa antara gerak wayang dengan karawitan sebagai salah satu pendukung utama pertunjukan. The Influence of Karawitan towards the Expression Totality of Puppeteer in the Performances of Wayang Golek Menak Yogyakarta. This paper is intended to explain the effect of the karawitan as one of a principal supporter of wayang performance to the quality of the puppeteer expression towar...

Uniformisasi Pementasan Tari Rejang Renteng Dan Semangat Perempuan Melestarikan Seni Budaya

VIDYA WERTTA : Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia, 2020

Artikel ini membahas tentang uniformisasi pementasan Tari Rejang Renteng di Kota Denpasar. Uniformisasi ini tidak hanya berkaitan dengan gerakan tarian, namun juga berkaitan dengan atribut yang melekat pada penarinya. Secara sosio-kultural, uniformisasi dalam pementasan Tari Rejang Renteng ini memberikan implikasi bagi kontribusi perempuan dalam pengembangan seni budaya, serta menjadi tekanan tersendiri apabila tidak terlibat secara aktif dalam religiusitas yang bersifat kolektif ini. Namun sejauh ini, fenomena yang ada menunjukkan interpretasi yang positif, karena yang muncul di permukaan adalah kegairahan ekspresi religius dari para penari Rejang Renteng.

Konflik Peran Gender pada Tradisi Merarik di Pulau Lombok

Conference Proceedings: Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XII, 5 – 8 November 2012, Surabaya – Indonesia, 2012

Kawin lari pada masyarakat Sasak dikenal dengan istilah merarik. Dalam tradisi ini, seorang gadis dibawa lari atau " diculik " terlebih dahulu dari " kekuasaan " orang tuanya sebelum prosesi pernikahan secara agama dan adat dilangsungkan. Dengan penculikan tersebut, seorang lelaki Sasak akan dianggap lebih berwibawa karena telah berani mengambil resiko, yakni kalau sampai tindakannya diketahui oleh orang tua si gadis ataupun bila pilihannya ditolak oleh orang tuanya sendiri. Oleh karena itu, berani melakukan kawin lari merupakan simbol maskulinitas yang diharapkan ada pada setiap lelaki Sasak dan disanalah peran gender mereka dilekatkan oleh budaya Sasak. Namun di sisi lain, sebagian masyarakat mulai mempertanyakan eksistensi tradisi merarik yang dianggap menomorduakan perempuan. Pada titik inilah terjadi konflik peran gender pada masyarakat Sasak. Fenomena merarik seakan mengindikasikan bahwa ada legitimasi para lelaki Sasak yang menginginkan agar budaya ini tidak hilang. Maka, melalui teori konflik peran gender, artikel ini akan mencoba mengkaji bagaimana sebenarnya masyarakat Sasak memikirkan tentang " realitas budaya " merarik mereka.

Gamelan Sebagai Simbol Estetis Kebudayaan Masyarakat Jawa

representamen

Supporting music has the power to represent the culture of a person or group at a particular time. He understood to have a basis for understanding, determining the ways and actions in each note produced. The color of the voice, the pitch and the musical work in each region have many differences. Because in essence, music is a work of art that is here is an aesthetic symbol of every different cultural community.Gamelan is a musical instrument that represents or depicts Javanese culture. Some Javanese gamelan in Surakarta, Yogyakarta and Cirebon, among others are Kyai Guntur Madu, Kyai Guntur Sari, Kyai Naga Wilaga and Gong Sekati. That every gamelan has aesthetic symbols that are attached and contained in the laras, embat, gending, deferment, wasps and repeto technique. These 6 factors reflect Javanese culture such as beliefs, language, philosophy, livelihoods and social relations which are still faced and preserved. Research symbols are concentrated in each gamelan, intrinsic, extri...

Fenomena Gender dalam Dongkari Lagu-Lagu Tembang Sunda Cianjuran

Panggung

ABSTRACTThis article,“Gender Fenomena in Dongkari of Tembang sunda cianjuran Songs,” is a small part of my dissertation entitled “Gender dalam Tembang sunda cianjuran,” which is then elaborated in accordance with the theme of this article. This article is intended to study gender fenomena in one of a number of aspects of Tembang sunda cianjuran, dongkari. How far gender ideology in social life a?ects the performance of Tembang sunda cianjuran, especially in using dongkari in Tembang sunda cianjuran songs, and vise versa.From this study, it is obtained a conclusion asserting that gender fenomena can be found in dongkari. This are shown by the existence of masculine and feminine or- nament/dongkari which are each usually used by men and women singers in singing the Tembang sunda cianjuran songs. However, this can not be free from cross-gender fenomena which always par- ticipate in it so that in certain cases, masculine ornamnet/dongkari can be used by women singers, and vise versa. Th...