Pengaruh Karawitan terhadap Totalitas Ekspresi Dalang dalam Pertunjukan Wayang Golek Menak Yogyakarta (original) (raw)

Mleset Dan Nggandhul Dalam Karawitan Pedalangan Gaya Yogyakarta: Tinjauan Budaya, Karawitanologi, Dan Fisika Bunyi

2013

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami fenomena mleset dan nggandhul pada karawitan pedalangan gaya Yogyakarta. Masalah utama yang diajukan adalah mengapa instrumen kenong, kempul, dan gong ditabuh mleset dan nggandhul. Pada penelitian ini karawitan dipandang sebagai fenomena musikal, bunyi, dan budaya. Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan digunakan pendekatan multi disiplin yaitu pendekatan fisika bunyi, karawitanologi, dan budaya. Ada dua jenis data pada penelitian ini, yaitu data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa rekaman bunyi tiap instrumen gamelan dan bunyi gending-gending yang biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan Wayang. Data kualitatif berupa pengalaman pengrawit dan dalang diperoleh melalui pengamatan dan Wawancara mendalam terhadap para informan. Data kuantitatif diolah menggunakan program komputer wavelab 7. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa mleset dikategorikan menjadi mleset nuntuni dan mleset ngempyungi. Mleset nuntuni diten...

Makna Presentasi Diri Pelaku Seni Dalang dalam Pagelaran Wayang Golek

2021

: This research is entitled "Self Presentation of Dalang Arts in Wayang Golek Performance". The author will conduct research on the self-presentation of dalang who perform at Saung Angklung Udjo, which makes researchers interested in examining the self-presentation of the dalang arts at Saung Angklung Udjo because the wayang golek performance in general with the wayang golek performance at Saung Anglung Udjo have differences and are clearly visible, where a dalang arts at Saung Angklung Udjo must be able to directly introduce the traditional art of wayang golek performance in only 15 minutes without eliminating the essence of wayang stories and the moral messages that always exist in wayang performances can be conveyed to the audience present from various regions in Indonesia and even abroad, while the wayang golek performance generally takes hours for a performance. The language used also differs between the wayang golek performance in general and the wayang golek perform...

Tatahan dan Sunggingan Wayang Golek Menak Yogyakarta

Resital: Jurnal Seni Pertunjukan

The Sculpture and Painting of Yogyakarta Wooden Puppet. The wayang golek Menak is one of the threedimensionalpuppet performance in Indonesia. The ‘Menak’ word indicate that the story was taken from the ‘SeratMenak’, that’s different version with wayang golek Purwa wich taken from ‘Mahabarata’ or ‘Ramayana’ story, thatwas popular in West Jawa. In Yogyakarta, wayang golek Menak was popularized by Ki Widiprayitna about 1950.Based on differences in the source story, then of course there are also differences in the form of puppets, included inthe carving and coloration techniques, in Javanesee language is called ‘tatahan’ and ‘sunggingan’. This article intendsto reveal the concept of carving and coloration, especially the style of Ki Widiprayitna.

Ungkapan Estetika Karawitan Jawa pada Reproduksi Rekaman Gamelan Ageng Surakarta

Resital:Jurnal Seni Pertunjukan

ABSTRACTThe Expression of Javanese Karawitan Aesthetics in the Reproduction of Gamelan Ageng Surakarta Recordings. Sound recordings have the purpose of transferring musical offerings to the storage media. The aesthetics and sound meanings contained in musical performances of course become a mandatory when sound is recorded. The concept of Javanese karawitan recordings certainly takes into consideration of the aesthetic value of the presentation and will not leave the principles as well as the sound meanings behind. Recorded musical performances of musical instruments must present an ideal sound according to the cultural convention. Recording documents in the form of audios are felt to be highly essential in karawitan concert area because they are way of storing events. As a result, musical concerts which are already in the form of audio media have more value compared to concerts being integrated with particular event. The authors found that karawitan concert carried out by using rec...

Pertunjukan Wayang “Pakeliran Padat” Sebagai Alternatif Membangkitkan Rasa Menyukai Wayang Dan Musik Gamelan

Imaji, 2015

Abstrak Pertunjukan wayang dan gamelan di berbagai tempat, termasuk di lingkungan kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), seringkali berlangsung memprihatinkan. Penonton dari kalangan mahasiswa biasanya sangat sedikit. Gejala ini menarik untuk dikaji lebih lanjut, terutama berkaitan dengan faktor-faktor yang menyebabkan hilangnya ketertarikan mahasiswa terhadap keseniaan wayang dan pertunjukan gamelan. Penelitian yang telah dilakukan pada Mei 2012 menunjukkan bahwa persepsi mahasiswa terhadap wayang dan gamelan ternyata positif. Hal ini berbeda secara nyata (signifikan) dengan keadaan sebelumnya (beberapa bulan sebelum adanya pertunjukan wayang dan gamelan), selisih mean antara sebelum dan sesudah pertunjukkan sebesar 5,133 dengan signifikansi 0,012 lebih kecil daripada 0,05. Fakta di atas menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan persepsi mahasiswa terhadap wayang dan gamelan secara signifikan. Oleh karena pe...

Pathêt: Ruang Bunyi dalam Karawitan Gaya Yogyakarta

Panggung, 2012

This research aims to answer a question of why two Javanese gamelan pieces (gending) of differ- ent pathêt (modes) cannot be performed consecutively without grambyangan lead. The data of this research were obtained from in-depth interview and observation of karawitan (gamelan performanc- es), focusing on karawitan training process, wayang performances, and karawitan performances for pleasure or uyon-uyon. Using phenomenology method, it can be concluded that pathêt is a space of sound. Two gamelan pieces having different modes are similar to two gamelan pieces in different spaces. There is a link between spaces that can be opened by the sound of gender or grambyangan. As a space, karawitan has three spaces of sound, i.e. space of pathêt nem, space of pathêt sanga, and space of pathêt manyura. Keywords: gending, pathêt, ruang bunyi, karawitan Jawa.

Pathêt: Ruang Bunyi dalam Karawitan Gaya Yogyakarta

Panggung, 2012

This research aims to answer a question of why two Javanese gamelan pieces (gending) of different pathêt (modes) cannot be performed consecutively without grambyangan lead. The data of this research were obtained from in-depth interview and observation of karawitan (gamelan performances), focusing on karawitan training process, wayang performances, and karawitan performances for pleasure or uyon-uyon. Using phenomenology method, it can be concluded that pathêt is a space of sound. Two gamelan pieces having different modes are similar to two gamelan pieces in different spaces. There is a link between spaces that can be opened by the sound of gender or grambyangan. As a space, karawitan has three spaces of sound, i.e. space of pathêt nem, space of pathêt sanga, and space of pathêt manyura.

Kendangan Jogedan Dalam Wayang Wong Menak Gaya Yogyakarta Lakon Bedhahing Ambarkustub: Garap Dalam Iringan Tari

2018

Penelitian ini ini bertujuan untuk mengungkap beberapa hal dan permasalahan mengenai ragam kendangan jogedan wayang wong menak gaya Yogyakarta mengingat bahwa kemunculannya memiliki latar belakang yang berhubungan dengan adanya 16 tipe karakter dalam wayang golek menak gaya Yogyakarta. Penelusuran dilakukan melalui pengamatan yang detail terhadap intonasi, artikulasi, aksentuasi dan sekaran pada masingmasing jenis kendangan wayang golek menak dalam hubungannya identifikasi karakter tokoh beserta koreografinya. Bedhahing Ambarkustub merupakan salah satu pethilan cerita wayang golek menak yang digunakan sebagai sample penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Sifat kualitatif dalam penelitian ini adalah untuk memaparkan adanya ragam kendangan jogedan beksa golek menak gaya Yogyakarta melalui penelusuran yang berdasarkan data-data yang otentik sekaligus menguji seberapa jauh garap kendangan jogedan dalam mendukung presentasi pertunjukan seni tari khususnya tari klasik gaya Yogyakarta. Kegiatan observasi akan mengungkap gambaran sistematis terhadap objek yang dipilih yakni wayang wong menak lakon Bedhahing Ambarkustub. Hasil penelusuran ini diharapkan dapat memperluas kajian ilmu karawitan khususnya gending beksan atau karawitan tari. Penulis berharap bahwa melalui penelitian secara mendalam tentang pakem kendangan jogedan menak gaya Yogyakarta ini, maka kelestarian dan perkembangan iringan wayang golek menak dapat berlangsung lebih dinamis.

Gender Lanang Sebagai Manifestasi Budaya Arek Dalam Karawitan Jawa Timuran

Sorai: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Musik, 2023

Dunia karawitan sudah menjadi bidang keilmuan tersendiri dalam dunia pendidikan dan kebudayaan, yang menjadikan sebuah keniscayaan terhadap perkembangan seni tradisi dan bagi para pelakunya baik sebagai praktisi maupun akademisi. Karawitan Jawatimuran dalam perkembangannya belum menjadi satu kajian keilmuan yang sentral dalam konstelasi karawitan Nusantara. (Aris Setiawan, 2013:2).

INSTRUMEN SEMBUNG (SLENTHEM – PANEMBUNG):Perancangan, Penciptaan, dan Cara Memainkan untuk Menghasilkan Rasa Musikal GarapLirihan Karawitan Gaya Yogyakarta

Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta, 2018

Penelitian ini bertujuan untuk memahami berbagai jenis melodi lagu yang berperan dalam membuka patet (semacam tangga nada) dalam pertunjukan wayang. Walau pertunjukan wayang merupakan sebuah drama, namun tidak dapat dipisahkan dari musik. Bahkan pembagian adegannya ditentukan oleh pembagian patet, kategori pembagian tangga nada dalam musik karawitan. Pertunjukan wayang terbagi dalam tiga bagian, yaitu Patet Nem, Patet Sanga, dan Patet Manyura. Dalam patet tertentu sangat mungkin terjadi perubahan patet. Ketika terjadi perubahan patet tidak dapat dilakukan secara semena-mena dan mendadak, tetapi diperlukan sebuah melodi yang dapat mengantarkan pada perubahan tersebut. Data diperoleh dengan mengamati pertunjukan wayang lakon Kakrasana Wanengpinta. Pengamatan difokuskan pada bagian-bagian yang terjadi perubahan patet. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa ada dua jenis melodi yang digunakan dalam transisi perubahan patet, yaitu thinthingan, grambyangan, dan vocal dalang yang menirukan thinthingan. Thinthingan dan grambyangan dilakukan oleh instrumen gender. Melodi thinthingan diperlukan untuk transisi yang ringan, sedangkan melodi grambyangan untuk transisi yang berat Kata kunci: Thinthingan; Grambyangan; Melodi patet; Karawitan wayang. Pendahuluan Musik karawitan memegang peran penting dalam pertunjukan wayang. Rasa musikal yang dihasilkan berperan untuk menguatkan suasana yang dibutuhkan dalam adegan dan memberikan rasa tertentu terhadap karakter tokoh yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang (Lysloff, 1993). Dengan kata lain musik karawitan berfungsi mendukung suasana dalam adegan sehingga mendukung esensi lakon yang dipergelarkan. Oleh karena itu tanpa adanya karawitan, pertunjukan wayang tidak bisa berlangsung. Pentingnya musik karawitan dalam pertunjukan wayang gaya Yogyakarta tercermin pada penamaan jêjêran (adegan utama) dalam pertunjukan. Secara tradisi, pertunjukan wayang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Patet Nêm, Patet Sanga, dan Patet Manyura. Tiap