Nikah Mut`ah ( Kahwin Kontrak ) (original) (raw)
Related papers
Nikah Mut'ah Dalam Kitab Tafsir Al-Qur'an
Musãwa Jurnal Studi Gender dan Islam, 2002
Mut'ah marriage, as a temporary married, was once permitted by the Prophet in the context of war. In the latter period of his apostolacy, the Prophet Muhammad prohibited it. Both the permission and prohibition of this mut' ah marriage are to be found within the realm of the hadith, and differences of opinion about their validity may arise. Meanwhile there is no verse in the al-Qur'an that specifically refers to this concept of mut'ah marriage. Nevertheless the majority of commentators touch on the issue of mut'eh marriage when faced with QS. al-Nisa (4): 24. Through this paper, the Prophet attempts to expose the opinions of a number of commentators on these verses concerning mut'ah marriage. Most commentators view it as something forbidden, in accordance with the prohibition made by the Prophet late in his life.
Nikah Mut’Ah Dalam Fiqh Syi’Ah(Studikomparatif Syi’Ah Imamyyiah Dan Syi’Ah Ja’Fariyyah)
2016
Nikah seperti itu mut'ah (yang berarti suatu yang dinikmati atau dimanfaatkan) karena yang melakukannya memperoleh kemanfaatan dengannya serta menikmatinya sampai batas waktu yang ditentukan. Keterangan yang diperoleh adalah dalil terhadap nikah mut'ah hanya tertuju pada dua komunitas yaitu Sunni dan Syi'ah. Tetapi dalam kasus ini yang menjadi permasalahan adalah ternyata bukan hanya kalangan Sunni dan Syi'ah saja yang berpendapat tentang hukum boleh atau tidaknya nikah mut'ah tersebut. Dalam pembahasan ini menunjukkan ternyata kalangan Syi'ah sendiripun berbeda pendapat tentang kebolehan nikah mut'ah itu sendiri. Para Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum nikah mut'ah. Paling tidak ada dua aliran yang berbeda. Aliran pertama, mengatakan, nikah mut'ah adalah haram. Demikian pendapat kalangan sahabat, antara lain Ibn Umar, Ibn Abi> 'Umrah al-Ansa> ri, Ali> Ibn Abi> T} a> lib, dan lain-lain, sebagai sumber riwayat. Pada periode-periode berikutnya, dikuatkan oleh imam-imam al-Maz} a> hib al-Arba'ah, kalangan Zahiri serta Jumhur Ulama Mutaakhiri> n.
Secara garis besar hukum syariat terbagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Hukum I'tiqad, yaitu segala hukum yang berkaitan dengan pembinaan aqidah yang benar, penanaman keimanan kepada Allah SWT, keimanan kepada hari akhir, dan segala berita ghaib. Semua itu disampaikan kepada kita melalui wahyu Tuhan dan kitab-kitab yang diturunkan-Nya kepada para Nabi dan Rasul. 2. Hukum syara" atau hukum amaliah menurut tradisi ualama fiqh, yaitu hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan segala tindakannya, tidak dalam ibadah maupun muamalat. Hukum ini dimaksudkan dilakukan oleh manusia dalam perbuatan praktis dan dipedomani dalam segala urusan agama dan dunia secara bersamasama. Hukum ini dibagi dua macam dan masing-masing mempunyai karakter khusus, yaitu sebagai berikut. a. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur interaksi antara manusia dan Tuhan. Jika seorang manusia melaksanakan hukum-hukum ibadah dengan baik dan mematuhi perintahperitnah Allah, maka bertambah pula kedekatan kepada-Nya. Ia juga akan selalu mengikuti segala apa yang diwajibkan Allah kepada para hambanya, seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Hukum ibadah ini adalah hukum asasi yang sudah dimaklumi kepastiannya dalam agama. b. Hukum mualmalat, adalah hukum yang berlaku antara sesame manusia. Hukum muamalat mengatur segala interaksi dan komunikasi antar individu satu dengan yang lain, antar masyarakat terhadap umat dan bangsa lain, seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai, transaksi perjanjian, dan lain-lain. Hukum ini berarti meliputi segala aktivitas manusia dan segala tindakannya. Dari sini tampak bahwa muamalat dalam fiqh Islam dapat dipahami secara umum menyangkut segala permasalahan yang akan dipelajari seperti pernikahan, talak, persusunan, nafkah, pemberian/hibah, wasiat, wakaf, dan harta warisan. Semua itu tidak lepas dari sisi hukum yang mengatur hubungan interaksi hubungan antarindividu dan masyarakat. Bagian ini ditetapkan ulama ahli fiqh (fuqaha') dalam Islam.
Nikah mutah dalam hukum positif
The Practice of Mut'ah Marriages in Indonesia in the Review of Islamic Law and the Law of Marriage. Mut'ah marriage is marriage performed by a certain time limit which in Indonesia known as the marriage contract. Sunni Muslim tend to forbid the practice of mut'ah marriage while Syi'ah allow it. The practice of mut'ah marriage has been rife in some areas in Indonesia where the Sunni is majority so many people who protest and regard it as deviant behavior or forbidden. Laws marriage prohibits the practice of mut'ah marriage as Law Number 4 of 1974 and Government Regulation Number 9 of 1975 although there is a part of society who gives a different interpretation of the legislation.
Nikah merupakan salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Oleh karena itu, Agama memerintahkan kepada umatnya untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah mampu sehingga akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsu. Namun, seringkali kita mendengar istilah “Sekufu” di dalam sebuah proses pernikahan. Seseorang yang marah-marah tidak jelas ketika pihak perempuan menolak calon suaminya karena alasan tidak sekufu. Entah tidak sekufu dalam hal agama, tidak sekufu nasab (keturunan), atau tidak sekufu dalam hal harta. Sebagai sebuah agama yang mulia, dengan segala kesempurnaannya, Islam telah mengatur dan menjabarkan tentang hal ini. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Kafa’ah ? 2. Bagaimanakah hukum kafa’ah dalam pernikahan? 3. Hal-hal apa sajakah yang dianggap menjadi ukuran Kafa’ah?
Nikah Mut'ah: Kajian Atas Argumentasi Syi'ah
Musãwa Jurnal Studi Gender dan Islam
Temporary marriage or nikah mut'ah is a phenomenon that occurs within Islam. Nevertheless the ulama differ in their opinions of its validity. The majority of Sunni Muslims believe that this type of marriage was originally permitted but later forbidden. Whereas the Shi'ah group believe that contract marriage is permitted, and some of them even recommend it. Yet, it seems that the arguments they propose all have their weaknesses because temporary can still be disputed. Because of these problems, we should bring the issue of contract marriage back to the principles oflslamic teachings which hold human dignity in high esteem, value the ability of people to find the truth, and provide guidance to channel biological desires responsibly. As long as temporary marriage does not contradict these values the validity is maintained, but if it opposes these values then the prohibition cannot be denied.
Penyalahgunaan Konsep Kawin Mut’Ah Pada Prak- Tik Kawin Kontrak
Journal of Islamic Law Studies, 2021
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang kekal dan abadi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Namun, fenomena yang ada di Desa Tugu Utara, Cisarua Puncak, Bogor, ialah terjadinya perkawinan untuk waktu tertentu atau perkawinan kontrak, dan masyarakat Desa Tugu Utara menyebutnya dengan istilah perkawin mut'ah. Tentunya hal itu menarik untuk dikaji karena tampak ada kekeliruan dalam memahami konsep perkawinan mut'ah. Dengan melakukan penelitian non doktrinal di daerah Puncak, Bogor, akan diperlihatkan bahwa perkawinan kontrak yang mereka sebut sebagai perkawinan mut'ah adalah tidak tepat. Ketidaktepatan tersebut dikarenakan, antara lain, mengingat mereka yang mempraktikkannya bukanlah pemeluk mazhab Islam Syiah, dan juga perkawinan kontrak itu faktanya sangat berbeda dengan konsep perkawinan mut'ah yang sebenarnya. Selain itu, perkawinan kontrak yang dilakukan di Desa Tugu Utara, dalam banyak aspek bertentangan dengan hukum positif yang berlaku. Kata kunci: kawin kontrak, kawin mut'ah, penyelundupan hukum.