PROSPEK INDUSTRI GALANGAN KAPAL DALAM NEGERI GUNA MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL (original) (raw)
Related papers
STRATEGI KLASTER INDUSTRI MENGHADAPI PASAR GLOBAL
BISNIS, 2015
ASEAN Economic Community (AEC) 2015 can bring both positive and negative impact on MSMEs. To deal with any negative impacts, SMEs need for strategies to exist and continue growing. One such strategy is the cluster approach. This approach is done by grouping the core industries that are interconnected, both supporting industries (supporting industries), industries related (related industries), supporting services, economic infrastructure, research, training, education, information infrastructure, technology infrastructure, natural resources, and any related institutions. Cluster is also a way to set some economic development activities. Based on the result, Strategies to Increase Industry Competitiveness in Facing ASEAN Economic Community (AEC) is done by: 1. The use of core competencies in seeking to improve the competitiveness clusters. And 2. Creating their competitive advantage cluster based on RBV (Resources Based Value) approach. Key words: competitiveness, strategy, cluster industry
PERATURAN INTERNASIONAL MENCEGAH TUBRUKAN KAPAL DI lAUT
a. Aturan-aturan ini berlaku bagi semua kapal dilaut lepas dan disemua perairan yang berhubungan dengan laut yang dapat dilayari oleh kapal kapal taut. b. Tidak ada suatu apapun dalam aturan-aturan ini yang menghalangi berlakunya peraturan-peraturan khusus yang dibuat oleh penguasa yang berwewenang, untuk alur pelayaran, pelabuhan, sungai, danau atau perairan pedalaman yang berhubungan dengan laut dan dapat dilayari oleh kapal laut. Aturan-aturan khusus demikian itu harus semirip mungkin dengan aturan-aturan ini. c. Tidak ada suatu apapun dari aturan-aturan ini akan menghalangi berlakunya aturan-aturan khusus yang dibuat oleh Pemerintah Negara manapun, berkenaan dengan kedudukan atau tambahan isyarat penerangan atau isyarat suling bagi kapal-kapal perang atau kapal-kapal yang berlayar dalam iring-iringan dan kapal-kapal nelayan yang sedang menangkap ikan dalam armada. Kedudukan atau tambahan isyarat penerangan atau isyarat suling, sedapat mungkin sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan kekeliruan dengan penerangan atau isyarat apapun yang diatur dalam aturan-aturan ini d. Bagan-bagan pemisah lalu lintas dapat disyahkan oleh Organisasi untuk rnaksud aturan-aturan ini. e. Bilamana Pemerintah yang bersangkutan memutuskan bahwa kapal-kapal dengan konstruksi.khusus atau kegunaan khusus tidak dapat sepenuhnya memenuhi ketentuan dari Aturan-aturan ini sehubungan dengan jumlah, tempat, jarak atau busur tampak dari penerangan-penerangan atau sosok benda, maupun penempatan dan ciri-ciri alat isyarat bunyi tanpa menghalangi pekerjaan khusus kapal-kapal itu, maka kapal demikian harus memenuhi ketentuan lain yang berkenaan dengan jumlah, tempat, jarak atau busur tampak penerangan atau sosok-sosok benda maupun yang berkenaan dengan penempatan dan ciri-ciri alat isyarat bunyi, sebagaimana diputuskan oleh Pemerintahnya, yang semirip mungkin dengan Aturan-aturan bagai kapal yang bersangkutan.
KEBIJAKAN GULA NASIONAL DAN PERSAINGAN GLOBAL
Industri pergulaan nasional saat ini menghadapi permasalahan yang kompleks. Pamor Indonesia yang pernah menjadi negara pengekspor gula terbesar kedua dunia pada sekitar tahun 1930, secara berangsur-angsur menurun menjadi negara importir gula, dan saat ini Indonesia telah menjadi importir terbesar pertama di Asia dan terbesar kedua dunia setelah Rusia.
PELUANG SUBSTITUSI CABAI BUBUK IMPOR DARI PRODUKSI DALAM NEGERI
PELUANG SUBSTITUSI CABAI BUBUK IMPOR DARI PRODUKSI DALAM NEGERI, 2019
Konsumen cabai bubuk di Indonesia utamanya adalah industri mi instan, dan sebagian kecil industri kecil menengah/UKM, Hotel, Restoran dan Katering (Horeka) serta Pedagang Kaki Lima (PKL). Kebutuhan cabai bubuk di dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat dan hampir seluruhnya berasal dari impor. Nilai impor cabai bubuk tahun 2017 sebesar US$ 56,3 juta atau setara Rp763,428 milyar, mengacu kurs dolar AS ke Rupiah sebesar Rp13.560 per US $ (Ditjen Hortikultura, 2017). Sementara itu, bahan baku cabai bubuk, berupa cabai segar, baik cabai rawit maupun cabai besar, tersedia, berupa kelebihan produksi, yang tidak dikonsumsi baik oleh rumah tangga maupun non rumah tangga pada saat panen raya. Oleh karena itu, cabai bubuk impor dapat disubstitusi dengan produksi dalam negeri. Berdasarkan hasil penelitian Iffan Maflahah (2010), 1 kg cabai segar akan menghasilkan 0,579 kg cabai bubuk. Sisa produksi cabai segar sebanyak 174,322 Ton setahun (th.2017), akan menjadi cabai bubuk sebanyak 99,364Ton (rendemen 57%). Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mensubstitusi cabai bubuk impor dengan produksi dalam negeri antara lain : 1)Peningkatan anggaran pembangunan hilirisasi cabai, 2)peningkatan status/hukum regulasi kemitraan hilirisasi cabai, 3) memfasilitasi kemitraan usaha petani cabai dengan pelaku usaha pengolahan cabai bubuk.4).Pada aspek makro, perlu dicermati regulasi yang berpihak kepada pelaku usaha, dan tidak diberatkan dengan PPH, PPN dan pajak-pajak lain, 5)Perlu dilakukan pendataan produksi dan konsumsi cabai bulanan, 6)Perencanaan kuantitas substitusi cabai bubuk impor dari produksi dalam negeri, 7)Mendorong tumbuhnya usaha pengolahan cabai bubuk, 8)Menetapkan standar mutu cabai bubuk. Dengan potensi SDM yg ada saat ini yaitu : 26 0rang champion cabai, 15 orang pelaku usaha pengolahan cabai binaan Ditjen Hortikultura dan 9 orang pelaku usaha cabai bubuk on-line, serta investasi peralatan dan mesin pengolahan cabai oleh pemerintah dengan total dana Rp.1,25 Milyar, akan menghasilkan cabai bubuk sebesar 4.275 Ton setahun, atau mensubstitusi impor sebesar 9,75% dari cabai bubuk impor yang besarnya 43,844 Ton (tahun 2017). Dengan demikian usaha ini layak untuk dilakukan.