Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat: Tren Produk Hukum Daerah dan Nasional Pasca Putusan MK 35/PUU-X/2012 (original) (raw)

Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU- X/2012 Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat

COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Penguasaan terhadap hak atas tanah adat dan hutan adat merupakan salah satu penyebab utama terjadinya konflik kehutanan di Indonesia. Konflik yang sering terjadi adalah ketidakpastian status hak masyarakat adat di kawasan hutan. Hal ini disebabkan karena produk hukum dikeluarkan oleh pemerintah menempatkan persepsi yang dominan terhadap peran dan fungsi pemerintah sebagai pelaku tunggal, akhirnya pada tanggal 16 Mei 2013, melalui putusan atas perkara Nomor 35/PUU-X/2012. Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum normatif (normative law research). Dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif, yaitu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut logis, tidak tumpang tindih dan efektif. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Masyarakat hukum adat adalah subjek hukum. Akan tetapi, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, memperlakukan masyarakat hukum adat secara berbeda dengan subjek hukum yang lain. Negara menguasai baik atas tanah maupun atas hutan. Pemegang ...

Pengakuan Negara Terhadap Masyarakat Hukum Adat

Binamulia Hukum

Masyarakat hukum adat (MHA) telah lahir dan telah ada jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga harus diakui dan dihormati keberadaannya. Apakah Masyarakat hukum adat masih ada dan diakui. Penelitian ini menggunakan analisis yuridis normatif untuk meninjau Pasal 18B dan 28I ayat (1) dan (2) amandemen ketiga, peraturan perundang-undangan, dan analisis isi untuk membedakan antara norma imperatif dan fakultatif terkait hak-hak MHA. Hasil dari penelitian ini adalah Keberadaan MHA di Indonesia diakui dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Pokok Agraria, Kehutanan, Penataan Ruang, Desa, Pemerintahan Daerah, dan Perkebunan. Namun, pengakuan tersebut mensyaratkan MHA harus masih hidup, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, prinsip NKRI, dan diatur dalam undang-undang, sehingga merupakan pengakuan bersyarat.

Refleksi Pendampingan Pembentukan Produk Hukum Daerah mengenai Masyarakat Adat dan Wilayah Adat

Pokok pembahasan dalam makalah akan beranjak dari berbagai fenomena yang Epistema Institute dan saya temui dalam proses pendampingan untuk pembentukan dan pelaksanaan produk hukum daerah mengenai masyarakat adat di beberapa tempat, seperti Kasepuhan di Lebak-Banten, Malinau di Kalimantan Utara, Sigi di Sulawesi Tengah, Tambrauw di Papua Barat dan beberapa tempat lain. Keterlibatan Epistema Institute terutama memberikan dukungan kepada organisasi masyarakat adat dan organisasi non-pemerintahan di daerah yang melakukan advokasi pembentukan produk hukum daerah mengenai masyarakat adat. Dalam menyampaikan hasil refleksi itu, makalah ini dikelompokan ke dalam beberapa bagian. Setelah bagian pengantar ini diikuti dengan bagian yang menjelaskan posisi produk hukum daerah dalam upaya untuk mempertahankan dan mengembalikan wilayah kehidupan masyarakat adat. Berikutnya mengenai dinamika yang dihadapi dalam proses penyusunan produk hukum daerah, diikuti dengan tantangan yang dialami dalam pelaksanaan setelah dibentuknya produk hukum daerah dimaksud. Dalam kaitannya dengan penyelesaian konflik agraria, keberadaan produk hukum daerah bukanlah instrumen hukum penyelesai konflik, melainkan menyediakan pra-kondisi bagi penyelesaian konflik. Hal ini mengingat akar kebijakan konflik agraria itu terjadi karena kebijakan pemerintah, terutama pemerintah pusat melalui kementerian maupun kepala badan yang nampak dalam pemberian izin, hak guna usaha, penetapan kawasan hutan dan berbagai instrumen administratif lainnya.

Menuju Pengakuan Masyarakat (Hukum) Adat?: Artikulasi identitas keadatan sebelum dan setelah Putusan MK 35

Dalam kerangka kajian masyarakat adat sering digunakan beberapa konsep yang familiar yakni indigenous peoples, tribal peoples, native peoples, masyarakat adat, dan masyarakat hukum adat. Lalu apa yang membedakan antar konsep tersebut? Kemudian, apa yang disebut dengan masyarakat adat? Apakah isu masyarakat adat hanya berputar dalam persoalan teritori dan tanah semata? Mengacu pada kutipan di atas, apakah identifikasi atas masyarakat adat merupakan suatu hal yang diciptakan, diadopsi, dan muncul menjadi bagian wacana dalam gerakan masyarakat adat? Tulisan singkat ini berupaya memaparkan refleksi atas definisi masyarakat adat yang berkembang sejak sebelum dan setelah momentum penting Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU/IX/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara, dan memperkuat tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengakui masyarakat adat. Pemaparan itu kami lakukan dengan menelaah sejumlah kasus-kasus upaya pengakuan masyarakat adat di beberapa wilayah yang menjadi fokus lokasi pemetaan sosial oleh Epistema Institute dan jejaring peneliti di lapangan. Kutipan Li (2000) di atas patut untuk diulas kembali dalam melihat gerakan pengakuan masyarakat adat di Indonesia saat ini. Li mempertanyakan identitas kolektif tentang masyarakat adat terbentuk melalui proses artikulasi dan memposisikan (positioning) komunitas tersebut dalam kondisi konflik dan artikulasi politik (lihat Li, 2000: 151). Melalui perbandingan dua komunitas masyarakat adat, Li kemudian menelaah kapan sebuah identitas kolektif 'masyarakat adat' tersebut dibentuk. Hal itu yang kemudian mendorong kami untuk mempertanyakan kembali, kapan suatu kesadaran 'pengakuan' terbentuk dalam diri masyarakat adat di Indonesia saat ini, khususnya dalam periode sebelum dan setelah Putusan MK 35 tersebut? Tumpuan pada Putusan MK 35, menjadi acuan dalam tulisan ini untuk memahami perubahan yang terjadi sebelum dan setelah momentum penting tersebut terhadap gerakan pengakuan masyarakat hukum adat di Indonesia. Tujuan kami menempatkan kerangka waktu sejarah dengan mengacu pada Putusan MK 35 adalah ingin menelaah sejauh apa Putusan MK 35 memberikan harapan atas proses pengakuan masyarakat hukum adat di Indonesia, serta siapa saja yang mengambil posisi untuk " mengakui " dan " tidak mengakui " masyarakat hukum adat di Indonesia.

Dinamika Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat dan Lokal Pasca-Reformasi

Problematika terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dengan keberadaan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan salama ini dapat digambarkan secara ringkas, bahwa konflik-konflik agraria, baik yang bersifat vertikal bahkan juga horizontal, terjadi karena adanya silang-sengkarut alas hak yang menjadi dasar tata kelola – mencakup tata guna, tata kuasa, dan tata usaha -- sumber-sumber agraria di Indonesia. Belum terjadi sinkronisasi antara berbagai sumber hukum, antara perangkat peraturan perundang-undangan (baca: hukum positif) di satu pihak, dengan berbagai sumber hukum adat yang hidup dan berkembang dalam berbagai komunitas yang disebut sebagai masyarakat (hukum) adat itu di pihak lain. Meskipun, pada tataran konsitusi, yang kemudian ditegaskan ulang dalam berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi, hak-hak masyarakat (hukum) adat itu telah diakui keberadaannya.

Kedudukan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Alam Pasca Putusan MK No. 35/PUU-X/2012

Abstrak: Ketentuan UUD 1945 khususnya pasal 18B ayat 2 secara tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan pengaturan sebagaimana demikian, maka hak-hak masyarakat hukum adat adalah hak-hak yang secara yuridis normatif diakui dan dilindungi oleh konstitusi. Namun, sejauh ini belum ada satu undang-undang khusus yang mengatur tentang konsep pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya tersebut. Akibatnya, pengaturan organik yang ada berkait eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya didasarkan pada perundang-undangan yang sudah ada, yang sebagian besar dibuat sebelum adanya amandemen UUD 1945 yang melahirkan pengaturan pasal 18B ayat 2 sebagaimana di atas. Merujuk pada pengaturan dalam perundang-undangan yang sudah ada tersebut, seperti halnya yang terdapat pada UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dan UU No. 41 Tahun 1999 (UU Kehutanan), sifat pengakuan yang diberikan kepada eksistensi masyarakat hukum adat khususnya pada hak-hak tradisional mereka atas sumber daya alam adalah pengakuan yang terbatas (conditional/limited recognition), dalam arti bahwa hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan negara/kepentingan nasional dan perundang-undangan (vide Pasal 2 ayat 4, Pasal 3, dan Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960 dan Pasal 4 ayat 3 UU No. 41 Tahun 1999). Sehingga, jika saja keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional mereka dianggap bertentangan dengan kepentingan negara/nasional atau dengan perundang-undangan, maka pengakuan atas hak-hak tersebut bisa dicabut. Hal ini salah satunya disebabkan karena hak masyarakat hukum adat sebagaimana yang diatur dalam dua UU tersebut sifatnya adalah hak yang relatif, dalam artian bukan hak yang secara riil ada dan dimiliki oleh masyarakat hukum adat, melainkan hanyalah hak penguasaan negara atas sumber daya alam, baik berupa tanah negara atau hutan negara, yang dititipkan atau dikuasakan kepada suatu komunitas masyarakat hukum adat yang tinggal di atas wilayah tanah atau hutan negara tersebut (vide Pasal 2 ayat 4 UU No. 5 Tahun 1960 dan Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999). Konsep sebagaimana demikian, khususnya sebagaimana yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999, menjadi berubah dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 /PUU-X/ 2012 yang merupakan putusan uji materiil atas UU No. 41 Tahun 1999 yang pada intinya mengatur bahwa hutan adat bukan lagi merupakan hutan negara, melainkan hutan milik masyarakat adat. Melalui Putusan MK ini, maka terjadi perubahan konsep mengenai hak masyarakat hukum adat atas * Tulisan ini dipaparkan dalam acara " Simposium Masyarakat II: Gerakan Masyarakat Adat dan Pembaruan Hukum " , Jakarta 16-17 Mei 2016.