Transitional Justice movement di Argentina, Brazil & Jeju (Korea Selatan): Lesson Leared untuk Aceh (original) (raw)
Related papers
Revolusi Mental Belajar Dari Penegakan Hukum Di Masa Kerajaan Aceh
Kata kunci : Hukum, Aceh, Qanun, Sultan, Syariat I. Pendahuluan Penegakan hukum masih menjadi masalah yang cukup penting di negeri ini. Penegakan hukum seakan tajam di bawah tetapi tumpul ke atas. Beragam proses peradilan seakan semakin memperlihatkan di mana hukum tidak lagi menjadi sebuah hal yang sakral. Bahkan yang terjadi, mereka yang dekat penguasa malah menjadi orang yang kebal terhadap hukum. Tidak jarang kita melihat di tayangan media massa maupun sosial media mempertunjukkan bagaimana mereka yang masih keluarga pejabat bahkan pejabat sendiri bertindak arogan terhadap aparat penegak hukum. Hukum seperti kehilangan wibawa. Melihat permasalahan tersebut, kita bisa belajar tentang penegakan hukum di masa Kerajaan Aceh yang legendaris. Banyak catatan-catatan baik lokal maupun dari luar negeri yang menceritakan tentang Kerajaan Aceh. Hal ini memungkinkan karena Aceh sendiri merupakan wilayah yang strategis dekat dengan Selat Malaka yang dahulu menjadi lalu lintas penting dalam perniagaan Asia Tenggara di masa itu dimulai ketika di era pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah dan mencapai puncak kejayannya pada masa Sultan Iskandar Muda. Aceh yang saat ini menggunakan dasar hukum Syariat ternyata telah berakar kuat sejak dahulu kala ketika masa Kerajaan Aceh. Tulisan ini akan disajikan tentang narasi-narasi sejarah tentang struktur dan penegakan hukum pada masa Kerajaan Aceh sehingga kita bisa belajar betapa hukum yang dilaksanakan dengan konsisten dan tegas mampu membuat kondisi sebuah bangsa menjadi bangsa yang beradab dan mengurangi angka kriminalitas secara signifikan untuk membentuk tatanan masyarakat
Aceh in the Shadow of Grey Democracy
2017
Following the MoU Helsinki, Aceh has started a new agenda of conflict transition. This agenda has also been intertwined by democracy orientation of the State. Various structures of the regime (Government of Aceh) have been arranged by the principles of privileges, autonomy, and needs. The goal is to transform the negative towards positive peace, which will developed the democratic civic’ culture and strengthened the social capital within society. However, the reality is far from what expected to be a democratic regime as being explained by Robert A. Dahl (1998). Therefore, the paper would use the framework created by Heidrun Zinecker (2007) to determine on, how kind of democracy that has been running in Aceh? By doing that, the paper was using a qualitative method which mostly depends on exploration means
Perdamaian di Aceh memang dimulai sejak ditandatanganinya MoU Helsinki, tetapi apakah ini merupakan perdamaian yang permanen? Tentu tidak, sebagai langkah awal menuju perdamaian, iya. Namun menuju perdamaian yang permanen di Aceh, masih dalam proses. Perdamaian permanen di Aceh akan terwujud kalau, pertama, ada klasifikasi pelanggaran HAM dan diselesaikan secara hukum; kedua, semua yang menjadi objek konflik harus dipertimbangkan. Artinya, perdamaian permanen di Aceh sangat tergantung pada “bagaimana memberikan keadilan (justice) bagi korban.”
Refleksi "Sejarah" Gerakan Laki-laki Baru di Aceh
To end patriarchy (another way of naming the institutionalized sexism) we need to be clear that we are all participants in perpetuating sexism until we change our minds and hearts, until we let go of sexist thought and action and replace it with feminist thought and action" (bell hook, 2000: ix)
Melampaui Hak Asasi Manusia: Agama, Kekerasan, dan Kegagalan Keadilan Transisional Indonesia
Hak Asasi Manusia: Politik, Hukum dan Agama di Indonesia, 2018
Artikel ini mencoba untuk menggambarkan bagaimana agama digunakan sebagai saluran untuk mereproduksi kebencian di Indonesia pascatransisi. Penulis berpendapat bahwa ketiadaan mekanisme keadilan transisional yang jelas dan komprehensif menjadi penyebab pelestarian dan bahkan penciptaan bentuk baru dari reproduksi kebencian melalui saluran kegiatan keagamaan. Untuk mengulas hal tersebut, artikel ini tersaji ke dalam tiga bagian: pertama ialah membingkai konteks keadilan transisional ‘preemptif’ di Indonesia, kedua ialah bagaimana rezim otoriter mempolitisasi agama sebagai alat kontrol, dan ketiga akan menggambarkan tentang hubungan antara warisan rezim otoriter dan potensi kekerasan berbasis agama yang ada saat ini. Hemat penulis, rangkaian tersebut dapat menjadi salah satu alternatif penjelasan di tengah kebuntuan upaya analisis norma dan prinsip hak asasi manusia terhadap fenomena kekerasan dan intoleransi agama yang dihadapi Indonesia saat ini.
Kegagalan Strategi Transnational Advocacy Network dalam Menentang Pengesahan Qanun Jinayat di Aceh
Jurnal Hubungan Internasional
This research paper frames the failure of contention against Islamic CriminalLaw (Qanun Jinayat) in Aceh as a strategic problem. In this research,the authors combine literature research and field observation in BandaAceh. Amidst the debate between the universalist and particularist pointof view regarding human right issues, local NGOs fighting against QanunJinayat have linked themselves with INGOs in a network of activists whichKeck and Sikkink (1998) refers to as Transnational Advocacy Network(TAN). It has undertaken multiple approaches aligned to the four typesof strategies as underlined by Keck and Sikkink (1998). However, suchstrategies are ineffective due to multiple features of the advocacy such ascomplexity of Indonesian law, difference in final objective of the elementsof TAN, and lack of strong representative figure as the front of the advocacy.In all, it can be concluded that although the pattern of transnationaladvocacy has emerged in Aceh, presence of such transnational ...