Beberapa Issu Kritis Seputar Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat (original) (raw)

Dinamika Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat dan Lokal Pasca-Reformasi

Problematika terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dengan keberadaan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan salama ini dapat digambarkan secara ringkas, bahwa konflik-konflik agraria, baik yang bersifat vertikal bahkan juga horizontal, terjadi karena adanya silang-sengkarut alas hak yang menjadi dasar tata kelola – mencakup tata guna, tata kuasa, dan tata usaha -- sumber-sumber agraria di Indonesia. Belum terjadi sinkronisasi antara berbagai sumber hukum, antara perangkat peraturan perundang-undangan (baca: hukum positif) di satu pihak, dengan berbagai sumber hukum adat yang hidup dan berkembang dalam berbagai komunitas yang disebut sebagai masyarakat (hukum) adat itu di pihak lain. Meskipun, pada tataran konsitusi, yang kemudian ditegaskan ulang dalam berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi, hak-hak masyarakat (hukum) adat itu telah diakui keberadaannya.

Strategi Pengakuan Hak Masyarakat Adat, Perspektif Sosio-antropologis

Tulisan ini tak hendak membatah data dan kesimpulan tersebut. Sebaliknya tulisan ini ingin menyediakan perspektif pelengkap untuk mengatasi kerumitan yang dimaksudkan Arizona. Hal ini akan dilakukan dengan menjawab beberapa pertanyaan pokok berikut: (a) apakah masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu memang hanya merujuk pada suatu realitas sosial yang tunggal sebagaimana yang banyak dipersepsikan banyak pihak selama ini? (b) Pengakuan semacam apa pula yang sudah dihasilkan yang berdasarkan konsepsi tentang masyarakat hukum adat yang demikian itu? (c) Apakah setiap jenis atau bentuk hak masyarakat adat hanya merujuk pada satu unit sosial saja? (d) Apakah hak masyarakat adat atas tanah hanya mencakup hak-hak yang bersifat komunal saja? (e) Apakah dalam sistem tenurial masyarakat adat itu tidak dikenal hak-hak yang bersifat individual? (f) Apakah hak ulayat selalu bersifat publik dan tidak bisa bersifat privat? (g) Bagaimana strategi pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat yang lain, seperti pengakuan terhadap ‘agama tradisi’ seperti Arat Sabulungan (Mentawai), Parmalim (Batak), atau Marapu (Sumba) misalnya? Apakah memang harus mengakui subyek hukumnya (baca: penghayat ‘agama-agama asli’ itu), sebagaimana trend yang terjadi pada proses pengakuan hak-hak atas tanah saat ini, atau cukup dengan mengakui eksistensi ‘agama tradisi’ itu sendiri atau cukup mengakui eksistensi ‘agama tradisi’ dimkasud saja? Pada bagian akhir tulisan ini akan dicoba pula menjawab pertanyaan yang lebih teknis. Yakni, (a) produk-produk hukum macam apa saja yang diperlukan untuk mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat itu? (b) Apakah cukup dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat deklaratif atau juga dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang bersifat lebih teknis? Tawaran ini, jika dapat dikatakan begitu, ditujukan agar para pihak yang sebenarnya peduli dengan masa depan masyarakat (hukum) adat itu dapat keluar dari jebakan perdebatan tentang pilihan definisi antara terma masyarakat hukum adat atau masyarakat adat yang nyaris menjadi kontra-produktif itu.

Mendudukkan Makna Beberapa Konsep Penting tentang Masyarakat Adat

Isu indigenous peoples di tingkat global tidak dapat dilepaskan dari Konvensi ILO 169 yang sejatinya mengatur dua 'tipe sosial-budaya' (sociocultural types) atau dua tipe masyarakat. Masing-masing adalah indigenous peoples dan tribal peoples. 3 Indigenous peoples mengacu pada "kelompok-kelompok masyarakat di negara-negara merdeka, yang berdasarkan asal-usulnya (keturunan) telah ada ketika terjadinya penaklukan atau penjajahan atau penetapan batasbatas negara yang baru, tanpa menilik status hukum mereka, dan masih tetap memiliki sebagian atau seluruh bentuk kelembagaan sosial, ekonomi, budaya, dan politik (asli) mereka". Frasa yang dicetak miring dalam defenisi Indigenous peoples di atas menyebabkan penggunaan terma indigenous peoples menjadi problematik bagi Indonesia. Sebab, Indonesia bukanlah sebuah negara baru yang datang dari luar, atau dibentuk oleh suatu kekuatan asing yang menguasai wilayah Republik Indonesia saat ini, sebagaimana yang dikesankan oleh frasa yang dicetak miring itu. Melainkan sebuah negara baru yang di/terbentuk oleh kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul di wilayah 1 Disusun sebagai bahan bacaan yang digunakan dalam berbagai kesempatan. Antara lain pada untuk

Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Konstitusi

Undang: Jurnal Hukum, 2019

This article reviews critically the evolution of the regulation of recognition of the rights of indigenous peoples in the Indonesian Constitution through historical and legal perspective. Using the customary law rights recognition theory as developed by constitutionalists on the experience of the struggle of indigenous peoples in several Latin American countries, this article finds the fact that none of the Constitutions in Indonesia fully recognize and protect the rights of indigenous peoples, although it contains elements of partisanship rhetoric. The weak recognition and protection of the rights of indigenous peoples in the Constitution resulted in the state freely using its power to exclude ancestral rights of indigenous peoples on the pretext of state interests. The interpretation of the articles in the Constitution that recognize and protect the rights of indigenous peoples must be based on the spirit of asserting Indonesian unity in diversity and distinctiveness. Without such...

Hak-hak Komunitas Adat Terpencil dari Perspektif Hak Asasi Manusia

Indonesian Journal of International Law

Pada saat ini, kurang lebih 350juta penduduk di dunia adalah komunitas adat3. Sebagian dari mereka faidup di daerah-derah terpencil. Mereka terdiri dari kurang tcbih 5000 masyarakai yang menyebar mulai dari masyarakat hutan di Amazon hingga masyarakat asli di India dan merentaag sampai masyarakat Aborigin di Australia. Pada urnum nya mereka menduduki dan rnendiami wilayah yang sangat kaya mineral dan suniber daya alarn lainnya4. Begitu juga di Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke terdapat komunitas adat yang hidup di daerah terpenciP. " Karya Tulis ini telah keluar sebagai pemenang I pada lomba karya tulis tingkat nasional yang diselenggarakan oteh Departemen Sosial RI bekerja satna dengan La Tofi Enterprise pada November 2007. :) Staf Pengajar untuk kelompok mata kuliah Hukum Perdata Internasional dan mata kuliah Hukum dan HAM di FHUI, anggota rim peneliti di Sentra HAM FHU1. }> Dalam tulisan ini, penulis raenggunakan istilah "komunitas adat" sebagai terjemahan dari masyarakat adat, indigenous people, tribal peoples dan native peoples. 41 Lihat IWGIA. Indigenous Issues". Him. 1. Available online at: http://www.iwgia.OFg/pop up.htm?id=3. 5(Tanpa maksud dao tendensi tertentu, setiap isrilab komunitas adat terpencil akan penulis gunakan untuk kepentingan bahasa dalam lomba karya tulis ini.

Pulihkan Hak Masyarakat Adat

Mongabay Indonesia, 2019

Kekhasan tata sosial masyarakat adat ini, seringkali tak dipahami masyarakat luas. Persepsi umum masih diselimuti prasangka negatif tentang cara hidup mereka, misal, julukan orang udik, primitif, anti pembangunan, dan stereotip lain.

Dinamika Pengakuan Hak Masyarakat Adat dalam Jeratan Hukum Warisan Kolonial dan Perubahan Sosial

Mengapa daya ubah pembaruan hukum yang terkait pengakuan hak masyarakat adat itu, utamanya yang berkaitan dengan pengakuan hutan adat, masih begitu rendah? Bahkan, menurut Zakaria (2015), keberadaan berbagai kebijakan itu justru punya potensi ‘membunuh masyarakat adat’? Pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait pengakuan hak masyarakat adat atas tanah mengalami hambatan dari sisi kuantitas (begitu banyaknya subyek hak yang harus diakui), dan dari kualitas (kemampuan masing-masing subyek hak itu mengakses proses-proses politik legislasi dan eksekutif). Oleh sebab itu perlu dicari terobosan-terobosan hukum (daerah) yang lebih memudahkan masyarakat adat, karena pada dasarnya hak masyarakat adat atas tanah adalah hak konstitusional yang harus diupayakan pelaksanaannya oleh pemerintah.