TINDAK PIDANA INSUBORDINASI DALAM HUKUM PIDANA MILITER INDONESIA (original) (raw)
Related papers
DINAMIKA PERADILAN MILITER DI INDONESIA
Hade Miladia, 2021
Berbicara mengenai Peradilan Militer di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dari waktu ke waktu.Berarti berbicara mengenai masa lalu yaitu sejarah peradilan militer.Dengan adanya pertumbuhan situasi lingkungan yang semakin maju serta terjadinya reformai nasional di Indonesia.Maka pihak pemerintah mengeluarkan UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
KETENTUAN PIDANA TERKAIT PELANGGARAN KEIMIGRASIAN DI INDONESIA
Ryan Darmawan, 2019
Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dilihat dari letak geografis dan demografisnya Indonesia merupakan salah satu negara tempat perlintasan antar negara yang strategis. Adapun konsekuensi dari kemajuan era globalisasi meliputi adanya perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi adalah kecenderungan meningkatnya hubungan antar bangsa secara global yang mendorong arus lalu lintas manusia antar negara, maka keterkaitan tersebut menimbulkan kompleksitas permasalahan mobilitas manusia antar negara. Menurut Pasal 26 butir (1) UUD 1945, yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Sedangkan menurut Pasal 1 butir (6) UU no. 9 tahun 1992, orang asing adalah orang bukan Warga Negara Republik Indonesia. Potensi kekayaan alam yang melimpah menjadikan negara Indonesia sebagai pusat perhatian negara-negara di dunia. Hubungan bilateral maupun multilateral antara Indonesia dengan negara lain menyebabkan arus keluar masuknya orang asing menjadi meningkat pula. Hal ini perlu diamati dan diantisipasi secara strategis untuk tetap menjaga, memelihara dan meningkatkan kualitas pembangunan nasional. Oleh karena itu, kerjasama yang dilakukan baik secara regional maupun internasional harus dapat memberikan manfaat yang positif bagi kepentingan bangsa Indonesia. Penjelasan Undang-Undang No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian telah disebutkan bahwa pelayanan dan pengawasan keimigrasian berdasarkan prinsip selective policy (M. Iman Santoso, 2004: 4), dimana dinyatakan bahwa orang-orang asing yang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia serta tidak membahayakan keamanan dan ketertiban juga tidak bermusuhan baik terhadap rakyat maupun negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang diberikan izin masuk dan keluar wilayah Republik Indonesia. Dikatakan bahwa prinsip selective policy ini menyatakan bahwa orang yang memberikan manfaat dapat diberikan izin masuk dan yang membahayakan dan ketertiban terhadap bangsa dan negara tidak dapat diberikan izin untuk masuk dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia. Pemberian izin masuk ini terdapat banyak kebijakan untuk menarik wisatawan seperti adanya bebas visa bagi orang atau negara-negara tertentu atau kebijakan tertentu lain yang mempromosikan Indonesia sebagai negara yang kondusif untuk penanaman modal asing dan ditambah dengan semakin meningkatnya lalu-lintas orang asing yang masuk dan keluar dari satu negara ke negara lain yang menyebabkan arus informasi dan mobilitas orang juga semakin cepat dan global, demikian pula yang terjadi di Indonesia dimana orang-orang tersebut masuk masuk ke Indonesia seperti tidak terdapat jarak antar negara dan negara tidak dapat lagi melakukan sekat-sekat antar negara atau dalam istilah disebut juga Borderless World (Dunia Tanpa Batas). Dan menurut Pasal 2 UU No. 9 tahun 1992 bahwa setiap warga negara Indonesia berhak melakukan perjalanan ke luar atau masuk wilayah Indonesia. Meskipun masuk atau keluar wilayah Indonesia merupakan hak warga negara Indonesia, tetapi bukan berarti hak tersebut tanpa batas, melainkan dibatasi oleh hukum yang mengatur batasan-batasan hak tersebut. Sebagaimana pendapat dari Theodore Rosevelt bahwa aturan tanpa kebebasan dan kebebasan tanpa aturan sama dengan destruktif. Artinya pemenuhan hak harus berjalan sesuai dengan peraturan.(Hamid Awaluddin, 2007: 25).
TINDAKAN GRATIFIKASI DI INDONESIA DALAM SUDUT PANDANG HUKUM PIDANA
Gratifikasi merajuk pada pemberian sesuatu yang bersifat memberi keuntungan biasanya dalam bentuk uang, barang atau fasilitas lainnya kepada seorang yang memiliki kewenangan atau jabatan tertentusebagai bentuk pengaruh ataupun imbalan atas tindakan atau keputusan yang diharapkan dari penerima gratifikasi tersebut. Dalam hukum pidana praktik gratifikasi dianggap ilegal karena dapat mengarah pada korupsi dan merusak integritas lembaga yang terlibat Dari sudut metode yang di pakai dalam penelitian ini, maka penelitian ini termasuk adalah berupa penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Sumber Data Data adalah bahan mentah yang perlu diolah sehingga menghasilkan informasi atau keterangan, baik kualitatif maupun kuantitatif yang menunjukkan fakta.Penjelasan umum UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa maksud diadakannya penyisipan pasal 12 B dalam UU No. 31 Tahun 1999 adalah untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil. Dalam Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana KorupsiPengaturan tindak pidana gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi yang sesuai dengan nilai hidup di Indonesia, bahwa gratifikasi pada hakekatnya bukan suatu tindak pidana. Karena gratifikasi tidak terlepas dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang sudah membudaya.
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER
(Diubah dengan UU No 9 Tahun 1947) Untuk penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk bab kesembilan dari buku pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 2 (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab undang-undang ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan peradilan militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 3 (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1947) Ketentuan-ketentuan mengenai tindakan-tindakan yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang dilakukan di atas kapal (schip) Indonesia atau yang berhubungan dengan itu, diterapkan juga bagi tindakan-tindakan yang dilakukan di atas perahu (vaartuig) Angkatan Perang atau yang berhubungan dengan itu, kecuali jika isi ketentuan-ketentuan tersebut meniadakan penerapan ini, atau tindakan-tindakan tersebut termasuk dalam suatu ketentuan pidana yang lebih berat. BAB I BATAS-BATAS BERLAKUNYA KETENTUAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 4 (Diubah dengan UU No 39 Tahun 1957) Ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia, selain daripada yang dirumuskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, diterapkan kepada militer: Ke-1, Yang sedang dalam hubungan dinas berada di luar Indonesia, melakukan suatu tindak pidana di tempat itu; Ke-2, Yang sedang di luar hubungan dinas berada di luar Indonesia, melakukan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam kitab undang-undang ini, atau suatu kejahatan jabatan yang berhubungan dengan pekerjaannya untuk Angkatan Perang, suatu pelanggaran jabatan sedemikian itu, atau suatu tindak pidana dalam keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
YURISDIKSI PENGADILAN TERHADAP TINDAK PIDANA UMUM YANG MELIBATKAN MILITER DAN SIPIL
The writing of this research was backgounded by the incident happened in Cebongan Prison. Where detainees were being murdered by some Military personel. This case being a national issued since the incident happened between Civilian and Military Personel. In which the victims are the Civilians and the perpetrator are Military Personels. Thus the jurisdiction of the trial becoming the new issue. Since the perpetrator who came from Military shall be prosecuted within Military Trial. Meanwhile the victims are civilians means this case shall belong to Public Trial. Therefore occur a thought whereas the Trial should belong to Connectivity Trial. Indeed this trial has a jurisdiction in between Military and Public Trial. Connectivity trial is a trial system applies towards criminal acts whereas the suspects were attributive between civilian and military personel. Although at the end this belong to the Military Trial this research will analyze deeper of how the Public, Military and Connectivity Trial works. Thus there will be a better uderstanding relates to the legality of Military Trial in this case. The methods being used in this research is descriptive and analyze qualitatively. The Data resources are taken from either national and local newspapers, national news portals as well. Study literature in this reseach are taken from National Laws, The book of criminal law, and The Book of Criminal Law Procedure. Based on the literature studies can be concluded that Military Trial has only jurisdiction towards criminal acts did by the Military Personel who violates military criminal law, meanwhile Public Trial has jurisdiction over military personel did criminal acts within general criminal law. In a case of a person conducting general criminal acts and military criminal act in the same time then the case will belong to Connectivity Trial. Keywords: Cebongan Prison, Court Jurisdiction, Homocide
PENERAPAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh
Corruption is a serious problem that threatens the economy and national security of Indonesia. Eradicating corruption is a top priority to improve the welfare of the people and strengthen the Unitary State of the Republic of Indonesia, as well as to achieve national goals. The purpose of this article is to analyze and evaluate the application of criminal law in combating corruption in Indonesia. The research method used in this article is descriptive qualitative research, which involves literature review, document analysis, and interviews with several sources related to corruption eradication in Indonesia. The findings of this research indicate that there are still several challenges in the application of criminal law in combating corruption in Indonesia. Bureaucratic reform is an effort to restructure government bureaucracy to provide excellent service to the public. The conclusion of this study is that the Government of Indonesia needs to continue to carry out bureaucratic reforms so that public services become better and corruption can be minimized. Thus, the eradication of corruption can be carried out effectively and increase public trust and national self-esteem.
PEMBAHARUAN YANG TERJADI PADA PERATURAN TINDAK PIDANA
Era baru globalisasi tengah melanda dunia dan juga melanda kehidupan negara dan bangsa. Dari sekian banyaknya globalisasi tersebut adalah lahirnya pula globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi adalah satu dari sekian banyak arus globalisasi yang memancarkan gelombangnya. Perekonomian Indonesia menjadi lebih terbuka terhadap perekonomian
PENGATURAN KRIMINALISASI TINDAKAN SANTET DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Jurnal Kertha Semaya, 2021
Tujuan dari study ini untuk mengkaji mengenai alasan kriminalisasi terhadap tindakan santet di dalam RKUHP, selain itu study ini bertujuan juga menggali mengenai isi Pasal 252 RKUHP mengenai santet, hal ini karena masih banyaknya simpang siur mengenai bagaimana pengaturan santet ini karena berhubungan dengan sesuatu hal yang gaib yang sulit dibuktikan di dalam persidangan. Studi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan mengkaji bahan-bahan primer seperti buku, jurnal-jurnal, internet, dan peraturan perundang-undangan, sehingga hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa alasan mengkriminalisasi perbuatan santet ini karena merupakan faktor kriminogen yang dapat menimbulkan kejahatan lainnya dan dapat memberikan keresahan di masyarakat. Pasal santet yang diatur dalam RKUHP merupakan delik formil yang menitikberatkan kepada tindakan pelaku bukan akibat yang ditimbulkan oleh pelaku pidana.
PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN INGGRIS
Perbandingan hukum pidana merupakan kegiatan memperbandingkan sistem hukum yang satu dengan yang lain baik antar bangsa,negara,bahkan agama,dengan maksud mencari dan mensinyalir perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan dengan memberi penjelasannya dan meneliti bagaimana berfungsinya hukum dan bagaimana pemecahan yuridisnya di dalam praktek serta faktor-faktor non hukum yang mana saja yang mempengaruhinya.penjelasannya hanya dapat di ketahui dalam sejarah hukumnya,sehingga perbandingan hukum yang ilmiah memerlukan perbandingan sejarah hukum.