PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG ATAS KASUS GADAI TANAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM JAMINAN KEPERDATAAN (original) (raw)
Related papers
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK ATAS TANAH DALAM HAL TERDAPAT SERTIPIKAT GANDA
CA., MM Fenomena kasus "sertipikat ganda", menimbulkan sengketa perdata antar para pihak, untuk membuktikan jaminan kepastian hukum atas tanah tersebut diselesaikan melalui lembaga peradilan. Rumusan masalah penelitian ini yaitu (1) faktor-faktor apa saja yang menyebabkan diterbitkannya sertipikat ganda hak atas tanah?, (2) bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah tersebut?.
HUKUM TANAH DALAM PUTUSAN HAKIM
Sebagai masyarakat Hukum adat, persoalan tanah kemudian menarik untuk dilihat dari berbagai putusan Pengadilan. Berbagai asas, sifat, prinsip dan norma-norma yang dikenal di masyarakat kemudian menjadi pengetahuan dan digunakan didalam berbagai putusan.
KEPASTIAN HUKUM ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT YANG
Masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan, seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai padanan dari rechtgemeenschapt. Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia terutama bagi masyarakat Hukum Adat. Hubungan antara tanah dengan masyarakat itu sendiri senantiasa terjadi dalam berbagai kepentingan. Karena pentingnya tanah bagi masyarakat hukum adat sehingga pemerintah mengatur ketentuannya, akan tetapi ketentuan tersebut mengalami Antinomy Normen (Konflik Norma). Karena terjadinya Antinomy Normen (Konflik Norma) telah menunjukan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan pengakuan hak masyarakat khsususnya masyarakat hukum adat atas tanah yang masuk dalam kawasan hutan sehingga berimplikasi pada penerapan unsur tindak pidana. Oleh karena itu diperlukan adanya harmonisasi antara Kementerian/Lembaga serta harmonisasi regulasi. Selain itu, adanya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 memberikan solusi penyelesaian yang lebih menekankan kepada prinsip administrasi daripada pengenaan pidana sebagaimana upaya penyelesaian administrasi ini mempertegas ketentuan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017.
KEBERADAAN HUKUM TANAH ADAT DALAM MEWUJUDKAN TERTIB HUKUM AGRARIA
Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah-kaedah hukum. Keseluruhan kaedah hukum yang tumbuh dan berkembang didalam pergaulan hidup antar sesama manusia dan sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap milik anggota persekutuan hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya pihak yang melarang. Hukum Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat-istiadatnya dan pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam kaitan tersebut Hak Ulayat tetap diakui dalam Undang-Undang Pokok Agraria sepanjang eksistensi tanah adat tersebut masih ada, hal ini dapat dibuktikan dengan masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga masyarakat hukum adat, adanya tanah masyarakat hukum adat dan adanya penguasa adat yang diakui oleh kelompok masyarakat adat sebagai pelaksana hak ulayat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang Keberadaan Hukum Tanah Adat dalam Mewujudkan Tertib Hukum Agraria berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrraria dan untuk mengetahui dan memahami apakah Pluralisme hukum tanah di Indonesia sudah benar-benar ditiadakan. Penelitian ini merupakan penelitian normatif (normative-legal research), yang dilakukan dengan cara menghimpun bahan-bahan hukum berupa teoriteori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan hukum yang ada hubungannya dengan pokok bahasan. Hasil penelitian dalam penulisan ini menunjukkan bahwa Hukum Adat memberikan 1 Abuyazid Bustomi, SH.,MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Palembang kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan hukum nasional dan mengakhiri keaneka ragaman hukum tanah yang pluralistis. Hukum adat yang dimaksud dalam UUPA adalah hukum asli golongan rakyat pribumi yang merupakan norma-norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyaraka secara tidak tertulis. Hukum adat yang berlaku di Indonesia menunjukkan adanya suatu nuansa kehidupan atau fungsi sosial yang menjamin keadilan akan tetapi kepastian hukum tidak terjamin. karena aspek penerapan prinsip konstuksi yurisdis hukum adat bersifat abstrak. Namun demikian kedudukan Hukum Adat merupakan sumber utama dalam pembentukan hukum yang berlaku sebanagai hukum tanah Nasional. Hukum Adat atau adat istiadat masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria. Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, kita meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan menempatkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama pembentukan hukum agraria nasional. Namun. Perlu diingat bahwa hukum agraria nasional, berdasarkan atas hukum tanah adat yang bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional yang bertujuan untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat dengan menjadikan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 sebagai induk Hukum Agraria dan benar-benar akan mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul sebagai akibat penerapan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan
SENGKETA TANAH DALAM LINGKUP HUKUM ADAT
Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi setiap individu dalam masyarakat. Selain memiliki nilai ekonomis yang dapat dicadangkan sebagai sumber pendukung kehidupan manusia di masa mendatang, tanah juga mengandung aspek spiritual dalam lingkungan dan kelangsungan hidupnya. Tanah merupakan tempat pemukiman, tempat melakukan kegiatan manusia bahkan sesudah matipun masih memerlukan tanah. Bagi mayoritas manusia, memiliki tanah seperti halnya makan nasi atau bahan pangan yang mengandung karbohidrat merupakan suatu keniscayaan dan kebutuhan. Memiliki tanah terkait dengan harga diri (nilai sosial), sumber pendapatan (nilai ekonomi), kekuasaan dan hak previlise (nilai politik), dan tempat untuk memuja Sang Pencipta (nilai sakralbudaya). Tidak mempunyai tanah berarti kehilangan harga diri, sumber hidup, kekuasaan, dan tempat penghubung antara manusia dengan Sang Pencipta. Oleh karenanya, setiap orang berjuang
PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP KASUS CAROK AKIBAT SENGKETA TANAH DALAM MASYARAKA MADURA
Carok is a violent conflict of Madurese that arises and is caused by a matter of self-esteem. Carok as an institutionalization of Madurese violence, in the form of attempted murder using sharp weapons, is generally clurit. What is done by men against other men who have been considered to have committed harassment against self-esteem. The formulation of the problem of this paper is: 1) what is the occurrence of carok as a judge's consideration in making a decision in court? 2) how is the theory of legal discovery by the judge in imposing criminal decisions on carok custom cases in Surabaya? This research on scientific work, in the form of normative legal research (normative juridical). In normative juridical research, this study focused on reviewing and examining legal findings by judges on carok cases due to land disputes in the Madura community, so that later the writer could elaborate legal findings by judges against carok cases. due to land disputes in Madura society. Carok is an act that is very contrary to the criminal law in Indonesia, because the effect is detrimental to others, it could cause injury, and die. Judges in deciding disputes must have several stages and theories, namely the stage of analyzing a criminal act, the stage of analyzing criminal responsibility, the stage of determining criminal proceedings (the stage of contradicting, the stage of qualifying, the stage of concluding.
PENDAFTARAN TANAH ADAT UNTUK MENDAPAT KEPASTIAN HUKUM DI KABUPATEN KEPAHIANG
Abstrak Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria UU No.5 Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah merupakan urutan Pasal 33 ayat (3) Konstitusi Republik Indonesia 1945 untuk mewujudkan penyatuan hukum tentang pendaftaran tanah adat untuk menjamin kepastian hukum, penggunaan lahan secara teratur dan administrasi sistem pertanahan. Dalam pendaftaran tanah menimbulkan beberapa masalah dan kendala. Kendala masyarakat adalah tingginya biaya registrasi dan masyarakat tidak memahami fungsi sertifikat sehingga masyarakat tidak tertarik untuk mendaftarkan hak atas tanah. Dalam pelaksanaan pendaftaran prosedure tanah sudah lama sekali sehingga hukum adat tibul (adat) yang berlaku di masyarakat cukup kuat untuk mengatur masalah tanah baik dalam bentuk jual beli, hibah dan warisan. Sementara kendala pemerintah (ATR / BPN) tidak ada bukti tertulis tentang hak atas tanah dan biaya terbatas serta tenaga teknis dalam pengukuran dan pemetaan dalam pendaftaran tanah dan kurangnya ekstensi yang diberikan kepada masyarakat oleh kantor ATR / BPN. menyebabkan kurang pemahaman tentang Penggunaan sertifikat. Untuk mengalihkan hak jual beli yang baik, hibah dan warisan sebagian besar masih dilakukan oleh masyarakat di depan kepala desa dan bukti kepemilikan hak untuk ditemukan di masyarakat, yaitu segel yang dibuat oleh kepala desa dan bukti tertulis yang dibuat dalam suatu hubungan kekerabatan.Selain bukti ada bukti tidak tertulis dari budidaya berkelanjutan, penanaman vegetasi dan perbatasan yang keras dan tanda yang diberikan oleh pemegang hak. Untuk mengatasi masalah ini, upaya yang dilakukan oleh kantor ATR / BPN adalah tidak menyerahkan batas waktu untuk pengajuan pendaftaran hak yang tercantum dalam surat pengakuan hak. Untuk hak properti adat tanpa bukti konversi tertulis, biaya mahal diberikan dengan kemudahan dan keringanan dalam sistem pembayaran untuk pendaftaran hak property adat. 1 Egi dandi handika adalah seorang mahasiswa fakultas hokum universitas sriwijaya yang sedang menempuh pendidikan semester 5,kampus indralaya
Facts show the management of mining far more priority to economic benefits as much as possible, which on the other hand less attention to social and environmental aspects. Overlapping in the issuance of land titles granted to mining companies, a lot of damage due to mining activities are carried out, such as mining conducted by PT.Freeport, in the management of mineral related customary rights where managers often do not pay attention to the rights of indigenous people exist on the use of customary land rights, indigenous peoples' customary rights holders are often disadvantaged by the use of customary land rights in mineral mining, because they were never involved in making policy. Almost all areas of Indonesian land dispute conflict customary rights other than in Papua at NTT Data shows, in West Manggarai regency there are 8 Mining Business License (IUP), Manggarai 23 IUP, East Manggarai 16 IUP, Ngada 11 IUP, TTU 82 IUP, East Sumba and Southwest Sumba each 2 IUP. " Mining does not generate benefits for society as it always promised and campaigned for local governments. NTT communities remain poor despite decades of mined land and land use issues related to local customary rights. So is the case, in Kalimantan, in Riau Province and in other areas in various provinces in Indonesia, in nearly all provinces in Indonesia related to conflict of customary rights land. Annexation of communal land of indigenous peoples, human rights abuses against local indigenous people, the destruction of the traditional order, destruction and damage of mother earth, environmental destruction, the destruction of the joints of the people's economy, and the denial of the existence of the Amungme, is the fact that the perceived population of Papua's central highlands, in Freeport where mining operations take place. The result of all forms of injustice, then came the pop-pop of violence by indigenous people around the area, especially Amungme and six other tribes around Freeport. Even in the national land laws have been explained and has the protection of indigenous people to the land of communal rights, but in fact this arrangement has not been able to resolve a conflict that has been happening. Although Undaag Agrarian Law has been set up on state land, but the land conflict has not obtained the solution, meaning the land law is considered inadequate in resolving land conflicts over the years. Therefore, through these authors review