Agama, Konflik, dan Kekerasan (original) (raw)

Agama, Konflik Sosial dan Kekerasan Politik

FONDATIA, 2018

The emergence of social conflict and violence that uses religion as justification has become a problem that adorns the history of violence today. Social conflicts which are followed by acts of violence that use religious issues in Indonesia, certainly do not occur in empty space and apart from some socio-political phenomena that follow. Putting religion as a variant of the potential trigger of social conflict is not easy. This is so, because religion is considered a teaching that is always associated with teachings that are full of values of peace and safety. The emergence of social conflict in various regions such as, in Ambon, Mataram, Situbondo, Tasikmalaya, Regasdengklok, and other areas, selayang in view can be seen as religious conflict, but when examined more deeply cannot be separated from the role of the political elite, both at the central level and local. Likewise with the violence experienced by Ahmadiyah congregation groups, it is not too difficult to state that the ar...

Kekerasan Atas Nama Agama

KALAM

Agama merupakan tuntunan bagi kehidupan manusia di dunia. Tuntunan ini memuat aturan, tata cara pengabdian dan tata laku pergaulan antar sesama. Tata laku pergaulan di dalam kehidupan mendatangkan kebaikan manakala benar-benar berdasar nilai-nilai agama. Agama tidak pernah mengajarkan dan menuntun pemeluknya untuk merugikan diri sendiri, orang lain, atau pun makhluk Tuhan lainnya. Perilaku buruk apapun yang mengatasnamakan perintah agama, sebenarnya perlu dikaji ulang. Sehingga agama tidak selalu dijadikan dalih dan alasan untuk menjadikan pihak lain menderita. Kekerasan dalam perilaku dan tindakan mencerminkan keyakinan dan watak pelakunya. Hal ini muncul didasarkan pemahaman atas doktrin dan keyakinan dalam diri. Upaya memberangus pihak lain atas alasan kesalahan dan kemaksiatan, bukan cara yang mesti dilalui. Kesalahan dan kemaksiatan mestinya didekati melalui cara hikmah dan toleransi. Perbedaan cara pandang terhadap sesuatu tidak boleh menjadi dasar perilaku kekerasan.

Agama dan Konflik Sosial

Abstrak: Agama adalah sebuah realitas sosial yang tidak dapat dielakkan oleh siapapun, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Dimensi pluralitas yang dipunyai agama adalah sesuatu yang sifatnya neutral values, artinya ia mempunyai potensi konstruktif sekaligus destruktif dalam kehidupan umat manusia. Mengingat pluralitas agama merupakan keniscayaan sosiologis, maka perlu ditingkatkan kedewasaan dalam menerima perbedaan dan memperluas wawasan paham keagamaan, agar perbedaan yang ada bukannya menambah potensi konflik melainkan menjadikan pluralitas sebagai aset budaya dan politik. Kerusuhan dan peristiwa kekerasan massal yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia belakangan ini merupakan suatu fenomena yang amat memilukan dalam konteks hidup beragama dan bernegara. Bukan hanya dari banyaknya korban jiwa yang jatuh, tapi lebih-lebih lagi banyak pranata agama, pranata sosial yang menjadi amukan massa. Hal ini terlihat jelas dari peristiwa Ambon, Maluku, Ketapang, Aceh, Mataram, dan sederetan peristiwa lainnya yang banyak mengorbankan jiwa manusia. Dalam peristiwa ini telah terjadi dehumanisasi, harga diri dan hak-hak asasi manusia sudah tidak dipandang lagi. Kata kunci: Agama, Konflik Sosial, dan Ekonomi.

Agama dan Sejarah Kekerasan

Apa hubungan agama dengan kekerasan? Kenapa agama yang mengajarkan damai, kedamaian dan harmoni tidak hanya antarmanusia, tetapi juga dengan lingkungannya dalam perjalanan sepanjang sejarah terlihat sering menjadi dasar dan justifikasi aksi kekerasan?

Sublimasi Kekerasan dalam Agama

2017

The negative role of religion will create a peace recognized as we can not deny that. One of the content of the confession: 1) the practice of our religious communities sometimes in the world are divisive forces. 2) too often we are more attuned to the powers of the world, also if they make a mistake, instead of opposing that power on the basis of the teachings of our religions. 3) We do not quite apply as servants and defenders of suffering and we exploit mankind. 4) Too little we seek to build mutual understanding and interfaith fellowship at the local level, from which strong prejudices arise. Answering efforts and the ability to respond to these challenges will further demonstrate the role and role of religion in the form of social relationships that mature. If this fact happens, then the desire to make religion as an ethical foundation in overcoming violence is not a utopia. Religion is no longer an empty wish that always conceals its good intentions and always appreciates the ...

Islam dan Aksi Kekerasan Atas Nama Agama

Dalam kajian tentang kekerasan atas nama agama, tidak dapat dipisahkan dengan kajian tentang agama itu sendiri dan bagaimana manusia memberikan makna terhadapnya. Menurut perspektif Sosiologi, kajian tentang agama merupakan objek yang menarik dan tidak kunjung usai untuk diperbincangkan. Oleh karena itu dari kajian-kajian menyangkut objek tersebut telah memancing munculnya berbagai perspektif dari beragam disiplin ilmu. Walaupun demikian, ternyata wacana tentang agama itu masih merupakan suatu misteri yang tidak pernah tuntas untuk dibahas. Secara mendasar dan umum, agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, sebenarnya agama dilihat sebagai teks atau doktrin. Muhammad Iqbal memberi pernyataan tentang agama yang dikutip Damami, bahwa "religion is an expression of the whole man", yaitu agama merupakan pernyataan utuh dari manusia dan sesuatu yang sangat bernilai atau berharga. Oleh karena itu, wajar saja jika ada pemeluk agama yang terlihat begitu fanatik terhadap keyakinan agamanya, bahkan sampai pada pengakuan kebenaran tunggal (truth claim) bahwa hanya dalam keyakinan agamanya sajalah satu-satunya terdapat kebenaran. 158 158 Muhammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa (Yogyakarta: LESFI, 2002), 2-3; Lihat Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (London: Oxford University-Humprey Milford, 1934), 2. 135 Latar belakang manusia bersedia memeluk dan menghayati agama adalah disebabkan oleh enam faktor pendorong, yaitu: Pertama, untuk memperoleh rasa aman. Kedua, untuk mencari perlindungan. Ketiga, untuk mencari penjelasan esensial tentang dunia dan kehidupan di dalamnya. Keempat, untuk memperoleh pembenaran yang memuaskan tentang praktik kehidupan yang semestinya. Kelima, untuk meneguhkan tata nilai yang telah mengakar dalam masyarakat. Keenam, untuk memuaskan kerinduan pada kehidupan. 159 Ada empat motivasi yang mendorong orang berperilaku agama, yaitu: Pertama, agama dapat dipakai untuk mengatasi frustasi karena alam, sosial, moral, dan kematian. Kedua, agama dapat dipakai untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat. Ketiga, agama dapat dipakai untuk memuaskan intelek karena dorongan keingintahuan manusia. Keempat, agama dapat dipakai untuk mengatasi rasa takut. 160 Sedangkan Crapps menjelaskan adanya bukti bahwa manusia dalam memeluk agama disebabkan beberapa faktor, yaitu: pemikiran, emosi religius, afeksi religius, kehendak, dan pengambilan keputusan moral. 161 Sedangkan menurut Fowler bahwa beragama itu merupakan gejala universal yang dialami oleh setiap manusia yang hidup di dunia. 162 Dengan demikian agama itu merupakan sesuatu yang bermakna dan maknanyapun sangat bervariasi antara satu pemeluk dengan yang lain. Adapun dalam kaitannya dengan aksi kekerasan atas nama agama, bahwa pada awalnya istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan 159 Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Oxford: Polity Press, 1991). 139 mereka gagal memperlihatkan faktor-faktor biologis sebagai faktor penyebab kekerasan. 171 Dan juga belum ada bukti ilmiah yang menyimpulkan bahwa manusia dari pembawaannya memang menyukai kekerasan. Menurut Gustave Le Bon, kekerasan sebagai tindakan yang dilakukan kelompok aktor (crowd) yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan. 172 Ted Robert Gurr mendefinisikan kekerasan politik sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor yang menentang rezim yang berkuasa. 173 Dan Charles Tilly menyatakan bahwa kekerasan akan berhasil, jika aktor mampu memobilisasi massa lewat suatu kalkulasi politik. 174

Agama dan Kekerasan di Indonesia

2021

Indonesia merupakan negara multikultural sekaligus beragama. Kedua hal tersebut sudah berjalan beriringan sejak awal peradaban di negara ini. Sampai sekarang, mayoritas dari masyarakat bangsa Indonesia menganut kepercayaan religius. Hal ini menyebabkan munculnya beberapa organisasi-organisasi keagamaan seperti yang sering kita lihat di kehidupan sehari-hari. Namun, beberapa tahun belakangan ini, agama justru sering dijadikan alat untuk melakukan tindak kekerasan oleh oknum-oknum tertentu. Tindak radikalisme dan terorisme kerap kali terjadi, khususnya dari para penganut salah satu aliran yang ekstrem. Persoalan di atas sangat disayangkan juga mengkhawatirkan karena dapat mengancam integritas bangsa. Padahal, agama seharusnya menjadi wadah pemersatu manusia yang mengedepankan harmoni dan integrasi sesuai dengan nilai dan norma dalam kehidupan sosial selayaknya yang sudah terjadi di masa-masa terdahulu. Dalam tulisan ini, saya hendak mendeskripsikan bagaimana masyarakat Indonesia memandang agama, mulai dari zaman dahulu hingga sekarang, dan mengapa ada pihak-pihak tertentu yang memilih untuk menggunakan kekerasan atas nama agama. Kata kunci: agama, kekerasan, masyarakat, budaya.

Perang dan Kekerasan Atas Nama Agama dalam Wacana Ilmiah

ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 2012

Religion always offers both peace and steady, but negates war and violence. In the history of human civilization, religion is present in the course of human life. Religion, in one side, serves as a cure in the hard situation of human history such as starvation, death and disaster, however, either war or violence is ironically triggered by human’s view on religion to justify violence in the name of religion. The phenomenon signifies the bold topic of human history, religion and violence. Applying the sociology of religion approach, this paper tries to explore how the contruction of human thought is present related to their views on religion, and how the position of religion in the context of war and violence in the lines of their history.

Agama dan Resolusi Konflik Agama dan Resolusi Konflik

LEKKAS Bandung, 2021

Dengan buku ini diharapkan pembaca akan mendapatkan wawasan tentang berbagai perkembangan dari hubungan agama dengan resolusi konflik. Demikian sehingga para pembaca dapat menganalisis, mengkategorisasikan, dan menerapkan wacana resolusi konflik tersebut. Pembaca pun diajak untuk mengikuti perkembangan dan memikirkan kembali ide-ide masa depan agama dan multikulturalisme. Dengan demikian, penguasaan dan kritisisme para pembaca terhadap ide-ide dan perkembangan agama dan masyarakat plural merupakan standard kompetensi pembelajaran Agama dan Resolusi Konflik ini.