Ontologi Iblis Dalam Al-Qur’An (original) (raw)
Related papers
REVELATIA: Jurnal Ilmu al-Qur`an dan Tafsir, 2020
Tulisan ini berusaha untuk mengekplorasi makna jahl (kebodohan) yang dideskripsikan oleh al-Qur’an dengan berbagai bentuk kata dan konteksnya melalui pendekatan tafsir tematik (al-tafsîr al-mawdlû’iy). Perspektif yang digunakan menurut kitab tafsir “Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) karya Tim Penulis yang terdiri dari para pakar atas inisiasi Kementrian Agama. Pengungkapan makna jahl dalam al-Qur’an menghasilkan kesimpulan yang relevan untuk diangkat di era kekinian, sebagai sumbangan paradigma pemikiran dalam kehidupan. Keyakinan bahwa sejarah berulang melalui sejumlah peristiwa yang terulang dengan pelaku sejarah yang bebeda, menjadi sebuah pengetahuan awal menuju perubahan. Hebatnya, pola kesalahan yang berulang dari satu umat, masyarakat atau komunitas bermuara pada satu faktor, yaitu kebodohan (jahl). Lafal jahl terulang sebanyak 24 kali yang tersebar dalam 17 surat, 15 Makkiyyah dan sisanya Madaniyah. Keduapuluh empat kata tersebut berkedudukan sebagai mashdar...
EKPLORASI ESKATOLOGI ISLAM DALAM Al-QUR’AN
al-Munir: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 2024
Abstrak Artikel ini mengkaji eskatologi Islam dalam konteks Living Qur'an dengan tujuan untuk mengungkapkan pemahaman baru mengenai kehidupan setelah mati. Eskatologi, yang meliputi konsep tentang kehidupan akhirat, pembalasan, dan surga neraka, telah menjadi tema utama dalam pemikiran Islam. Namun, dengan berkembangnya pemikiran kontemporer dan tantangan zaman, penafsiran terhadap ajaran-ajaran eskatologi dalam Al-Qur'an membutuhkan pendekatan yang lebih dinamis dan relevan dengan konteks sosial dan budaya saat ini. Dalam penelitian ini, penulis mengeksplorasi bagaimana tafsir Living Qur'an memberikan pemahaman yang lebih kontekstual dan aplikatif tentang kehidupan setelah mati, serta relevansinya dalam kehidupan umat Muslim masa kini. Dengan pendekatan interdisipliner, artikel ini berupaya membuka ruang diskusi baru mengenai eskatologi Islam yang lebih sesuai dengan kebutuhan umat Muslim di era modern. Kata Kunci: Eskatologi Islam, Living Qur'an, Kehidupan Setelah Mati Abstract This article explores Islamic eschatology within the context of the Living Qur'an, aiming to reveal new understandings of the afterlife. Eschatology, which includes concepts of the afterlife, judgment, and heaven and hell, has been a central theme in Islamic thought. However, with the development of contemporary thought and the challenges of modern times, the interpretation of eschatological teachings in the Qur'an requires a more dynamic approach that is relevant to today's social and cultural context. In this study, the author explores how Living Qur'an interpretations provide a more contextual and applicable understanding of the afterlife and their relevance to contemporary Muslim life. Through an interdisciplinary approach, this article seeks to open new avenues for discussion on Islamic eschatology that better meets the needs of Muslims in the modern era. Keywords: Islamic Eschatology, Living Qur'an, Afterlife
Filosofi Kafir dalam al-Qur’an
Tashwirul Afkar, 2020
Abstrak Kata ‘kafir’ dalam al-Qur’an tidak bisa dimaknai secara tunggal. Dibutuhkan kajian yang mendalam dalam memahami al-Qur’an. Salah satu metode yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan teori hermeneutik Schleiermacher dengan dua interpretasi yaitu gramatis dan psikologis. Melalui analisis interpretasi gramatis, kata ‘kafir’ dalam al-Qur’an memiliki makna yang beragam seperti: ingkar, tidak bersyukur, tidak beriman, kikir, sombong, dan lain sebagainya. Kemudian vonis kafir adalah otoritas Allah Swt. Sementara itu, dengan analisis interpretasi psikologis, ditemukan hasil bahwa Tuhan seringkali menurunkan kata ‘kafir’ akibat perilaku buruk pelaku kekafiran. Penuduhan kafir terhadap orang lain mengancam kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Individu atau kelompok yang dituduh sebagai kafir rentan mendapatkan diskriminasi. Indonesia adalah negara bangsa yang mempunyai Konstitusi tertinggi yaitu UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dalam UUD 1945 Pasal 29 diseb...
Konsep Ayat-Ayat Al-Qur’An Vis a Vis Ayat-Ayat Setan Dalam Kajian ‘Ulumul Qur’An
Al Burhan: Jurnal Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur'an
This study is aimed at exposing the conception of the verses of the Qur'an vis a vis the Verses of Satan. Salman Rushdie with his work The Satanic Verses (Satanic Verses) once shocked the Islamic world, by trying to counter the belief of Muslims in the sacredness of the verses of the Qur'an. Uniquely, Rushdie's view is actually contained in the treasures of Islam itself, namely the Qissat al-gharānīq (Story of the Crane). Although its validity is doubtful, narrations about Satan's verses have been included in various commentaries, including: Tafsr al-Thabari, Tafsr al-Kasyaf, Tafs Jar Jalalayn and others. They raised the devil's whispering verse (gharānīq) when interpreting verse 52 of surah al-Hajj.
Diskursus Tafsir Esoteris dalam al-Qur’an
Jurnal At-Tadbir : Media Hukum dan Pendidikan, 2022
Hadis yang menyatakan bahwa al-Qur’an memiliki dimensi makna eksoteris, zâhir dan esoteris, bâtin secara historis telah berimplikasi pada keniscayaan penafsiran esoteris terhadap al-Qur’an, terutama oleh dan bagi para sufi. Namun eksistensi penafsiran ini beragam, baik dilihat dari sisi epistemologis dan metodologis. Sehingga dirasa penting bagi peneliti untuk membahas diskursus makna esoteris dalam tafsir al-Qur’an dari landasan historis, metodologis dan taksonominya serta perdebatan tentang boleh atau tidaknya penafsiran yang berpegang pada makna ini. Dengan penelitian kepustakaan serta pendekatan historis peneliti ini berkesimpulan 1) Tafsir esoteris memiliki legitimasi historis masa Rasulullah saw dan teologis dari al-Qur’an dan Sunnah; 2) Tafsir esoteris haruslah didasarkan pada makna literalitas, tekstual ayat; 3) Tafsir esoteris yang karena sumbernya adalah wijdâniyyah individu seorang sufi, maka hasil penafsirannya bukanlah kewajiban yang harus diamalkan oleh orang lain.
Teologi Bencana Dalam Perspektif Al-Qur’An
Nun: Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara
Teologi bencana adalah suatu konsep tentang bencana dengan berbagai kompleksitasnya yang didasarkan pada pandangan al-Qur’an. Menurut al-Qur’an term bencana dapat terwakili dengan beberapa istilah, yaitu bala’ yang secara bahasa dapat berarti jelas, ujian, rusak. Bencana yang diungkapkan dengan term bala’ mempunyai aksentuasi makna bahwa bencana itu merupakan bentuk ujian Tuhan yang sengaja diberikan Tuhan untuk menguji manusia, agar tampak jelas keimanan. Bala’ dapat berupa hal-hal yang menyenangkan , dapat pula hal-hal yang tidak menyenangkan. Sementara itu, bencana dengan term mushîbah lebih merupakan segala sesuatu yang menimpa manusia yang umunya berupa hal-hal yang tidak menyenangkan. Ketika terkait dangan hal-hal yang baik, maka al-Qur’an menisbatkannya kepadaAllah, sementara ketika musibah itu terkait dnegan hal-hal yang menyengsarakan, al- Qur’an menyatakannya, bahwa hal itu akibat kesalahan manusia. Maka musibah itu sesungguhya bisa sebagai ujian, bisa pula sebagai tegura...
Kritik Orientalis dalam Aspek Ontologis Studi Al-Qur’an
Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan dan Keagamaan
This article analyzes the Orientalists who study the Qur'an, they are Abraham Geiger, Theodore Noldeke, William Muir, and John Wansbrough. This research uses descriptive analysis methods to find out how Orientalists view and think about the Qur'an. The main data is collected from books related to Orientalist thought as well as from scientific journals. The results found several Orientalist views of the Qur'an in the ontological aspect. Geiger argues that the Qur'an is influenced by Judaism which includes: various stories in the Qur’an, morals, and laws, about life, language, and faith. The Prophet Muhammad took a lot of Jewish cultures and integrated them into Islam. Meanwhile, Noldeke alleged that the Qur'an was composed by the Prophet Muhammad and that many of its contents were plagiarized from the Bible. His criticism of the Qur'an can be summarized in two points. First, he stated that the meaning of the ummiy of Rasulullah was not unable to read and write...