Wacana Menghidupkan Kembali GBHN dalam Sistem Presidensil Indonesia (original) (raw)

Kedudukan GBHN Dalam Sistem Presidensil

Saat ini wacana menghidupkan GBHN merupakan salah satu isu hangat yang menjadi perdebatan dalam bidang ilmu politik dan hukum tata negara. Wacana menghidupkan kembali GBHN lahir dari hasil Rapat Kerja Nasional PDI-P. Dari wacana tersebut timbul pelbagai pertanyaan mendasar yaitu, pertama, apakah urgensitas untuk menghidupkan kembali GBHN?, kedua, bagaimanakah kedudukan GBHN dalam sistem Presidensil?.

Menakar Urgensi Re-Eksistensi GBHN Oleh MPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Seminar Nasional MPR : Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional", 2016

Perubahan konstitusi merupakan sebuah hal yang lumrah dan lazim dalam paham konstitusional modern, bahkan Denny Indrayana menyatakan bahwa perubahan konstitusi atau yang dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dengan sebutan amandemen merupakan "sunatullah", karena konstitusi juga harus mampu merespon perkembangan dan dinamika yang terjadi baik dari sisi sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Meskipun konstitusi dapat dirubah, namun harus memiliki prasyarat yang jelas terkait dengan paradigma perubaahan Konstitusi atau di Indonesiaa disebut dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam kondisi kontemporer, gagasan perlunya dilakukan amandemen lanjutan terhadap UUD 1945 salah satunya didasarkan pada pandangan tentang perlu dikembalikannya Garis-Garis Besar Daripada Haluan Negara (GBHN) yang itu mengandung konsekuensi ketatanegaraan dengan memperkuat kedudukan dan kewenangan MPR yang harus ditegaskan dalam UUD 1945. Pandangan perlunya dikembalikannya GBHN ini dianggap sebuah solusi untuk memecah kebuntuan dari kekacauan dalam pelaksanaan pembangunan nasional baik antara presiden, gubernur, bupati/walikota. Di samping itu, alasan lainnya terkait adanya wacana dikembalikannya GBHN adalah tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban serta pengawasan terkait dengan pelaksanaan rencana pembangunan nasional sebagaimana yang tertuang dalam UU RPJPN oleh presiden, oleh sebab itu perlunya dikembalikannya GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan pilihann yang tepat agar adanya arah dan pelaksanaan pembangunan nasioal dari tingkat pusat hingga ke daerah.

URGENSI KEBERADAAN GBHN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Jurnal Litigasi, 2016

Salah satu poin mendasar dari amandemen UUD NRI Tahun 1945 adalah dihapuskannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebagai konsekuensinya, maka tujuan dan sasaran pembangunan nasional seakan kurang fokus, tidak terarah dan sulit diukur tingkat keberhasilannya. Sementara keberadaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang dimaksudkan untuk menggantikan posisi GBHN, sampai saat ini belum belum mampu dijadikan sebagai panduan pembangunan nasional. Untuk itu, maka upaya menghidupkan kembali GBHN menjadi sangat urgen dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur sebagaimana dicita-citakan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Mengembalikan keberadaan GBHN juga akan berdampak positif pada upaya menjaga dan mengawal eksistensi MPR sebagai salah satu lembaga negara. One of the fundamental points of the amended of Indonesian Constitution of 1945 is the removal of the Outlines of State Policy (Guidelines) in the constitutional system of the Republic of Indonesia. As a consequence, the goals and objectives of national development seemed to lack of focus, unfocused and difficult to measure the success rate. While the existence of the National Long-Term Development Plan (RPJPN) intended to replace the Guidelines, until now there has not been able to serve as a guide to national development. To that end, efforts to revive the guidelines are extremely vital in order to realize a fair society and a prosperous Indonesia as aspired to in the preamble of the Constitution of 1945. Returning NRI existence of the guidelines will also have a positive impact on maintaining and guarding the existence of the Assembly as one of the state institutions.

REFLEKSI MENGHIDUPKAN KEMBALI EKSISTENSI MPR DAN GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA (GBHN)

Administratio : Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, 2019

Tulisan ini membahas mengenai problematika antara Haluan Negara dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang sekaligus menjelaskan perbedaan antara UUD 1945 sebelum dan setelah amandemen. Perkembangan realitas perpolitikan dan demokrasi di Indonesia di era reformasi, dengan dipilihnya Pemilihan Presiden secara langsung telah mengakhiri Pemilihan Presiden melalui MPR, sekaligus memberikan kesempatan visi-misi Presiden saat kampanye sebagai acuan dalam menjalankan roda pemerintahan, perubahan konstitusi ini juga memiliki semangat demokrasi konstitusional di Indonesia. Setelah Amandemen UUD 1945 telah menempatkan prinsip supremasi konstitusi menggantikan supremasi parlemen. Tetapi polemik yang hadir di tengah masyarakat, mengenai ketiadaan Haluan Negara bahwa rencana pembangunan negara yang dianggap tidak konsisten dan berkesinambungan sebab hanya berdasarkan visi-misi calon presiden saat kampanye. Sedangkan keinginan menghadirkan kembali GBHN karena menganggap bahwa dengan adanya GBHN maka pembangunan strategis negara tidak lagi ditentukan oleh selera dan kepentingan rezim itu sendiri.

GBHN = Demokrasi Mayoritas

Dengan menggunakan teori Arend Lijphart (1999) tentang pola negara demokrasi, Tulisan Yudi Latif berjudul “Basis Sosial GBHN” (Kompas,12/2/2016) memberikan argumentasi tentang pentingnya GBHN. Argumentasi dasarnya, demokrasi permusyawaratan Indonesia adalah demokrasi konsensus. Di dalam negara kekeluargaan dengan demokrasi konsensus, kebijakan dasar pembangunan tidak diserahkan kepada presiden sebagai ekspresi kekuatan majoritarian. Sistem yang berjalan saat ini adalah bentuk demokrasi mayoritas. Oleh karena itu dibutuhkan GBHN yang dibentuk oleh MPR adalah wujud konsensus representasi seluruh kekuatan politik rakyat. Walaupun GBHN yang digagas tidak harus sama dengan masa lalu, namun konsep dan mekanisme kelembagaannya tetap sama, yaitu dibentuk oleh MPR dan tentu saja dipertanggungjawabkan kepada MPR. Tulisan ini mengkritisi pandangan Yudi Latif dari dua sisi. Pertama, menunjukkan bahwa sistem yang saat ini dijalankan memenuhi model demokrasi konsensus dengan menggunakan teori Lijphart. Kedua, pembentukan GBHN dengan segala konsekuensi struktural dan proseduralnya justru akan menjerumuskan ke model demokrasi mayoritas.

Nalar Konstitusi Dalam Wacana Reformulasi GBHN

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) hilang setelah masa reformasi 1998 silam. Namun kini GBHN mulai dibicarakan kembali. GBHN yang di dalamnya tertera aturan-aturan jalannya pembangunan negara yang harus berlandaskan kepada UUD 1945 sebagai tempat tertulisnya tujuan atau cita –cita negara Indonesia. GBHN ini adalah visi dan misi tertinggi kedua setelah UUD 1945 dalam jalannya pembangunan nasional. Dalam perjalanannya berbagai pihak mulai berpikir untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai panduan untuk kepala negara (Presiden) dalam menjalankan roda pemerintahan. Presiden tidak perlu membuat program baru, karena tugas presiden hanya melaksanakan GBHN yang telah disusun. Namun wacana reformulasi GBHN mendapatkan tanggapan beragam dari masyarakat, sebagian dari mereka ada yang bersikap pro, dan sebagian yang lagi ada yang bersikap kontra karena RPJPN menurut mereka salama ini telah menjalankan fungsi dari GBHN tersebut dengan relatif baik. Tulisan ini hadir untuk melihat sisi-sisi nalar konstitusi dalam wacana reformulasi GBHN tersebut, baik dari sudut pandang yang prof terhadap reformulasi sampai pihak yang kontra. Reformulasi perencanaan pembangunan nasional yang paling tepat adalah kembali kepada GBHN, di mana GBHN adalah sebuah sistem perencanaan pembangunan nasional yang lahir atas kesepakatan bersama sebagai penjabaran tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Sedangkan RPJPN cenderung berupa perencanaan pembangunan nasional dari pemerintah yang sedang berkuasa yang cenderung berubah seiiring dengan pergantian pemerintahan. Suatu perencanaan pembangunan yang tidak konsisten dan mudah berubah dan berganti sulit untuk dapat mewujudkan tujuan negara sebagaimana yang diharapkan, karena selalu dihadapkan pada arah yang berubah-ubah, bahkan berpotensi mengalami disorientasi arah pembangunan nasional.

Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Dengan Model GBHN Sebagai Haluan Negara

PARAPOLITIKA: Journal of Politics and Democracy Studies

The change in the status of the MPR from the highest state institution to a state institution has eliminated the role of the MPR in setting outlines for state policy. Reformation does provide a political spirit and a new perspective as reflected in the amendments to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, but the resulting impact is the loss of the continuity between the government and regional governments, and at every change of President. This is reflected in the vision, mission, and work program of the elected President (which is further formulated as the National RPJM / RPJMN) which turns out that in several ways (regarding the material and direction of program achievement) it is different from the vision, mission and work program of the Regional Head (Governor, Regent and Mayor) are elected, and there is no legal consequence whatsoever, because there is no single norm that regulates it. The method used in this paper is a political research method that departs from a...

Model GBHN dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Ditinjau dari Sistem Pemerintahan Menurut UUD NRI 1945

Sultan Jurisprudence: Jurnal Riset Ilmu Hukum

The assembly of the civil servants (MPR) brought planning on enforcing the constitution (bill) of 1945, with the addition of one verse in chapter 3 that authorized the MPR to change and establish points of state (PPHN). The problem is that there are varying GBHN views. Those supporting the state's course felt that the country's course was important. The Indonesian government has a strong opinion of its leaders. Research employs a type of study of normative (normative), which isa kind of study by study and includes isa analyses under another regulatory rule and written source. Studies have shown that those who support the state's course feel that the country's course is important. A country's course is necessary for an Indonesian nation especially developing country to give power in both direction and certainty to development countries' goals. The views of those who disagree with a country's course also have their thoughts. The vice plan could give MPR a way to become the highest institution again. When GBHN or the state course is re-enforced, the MPR can seize the President at any time. There is also the thought that enacting a course of the state could actually set democracy back.