Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (original) (raw)
Related papers
Ensiklopedia Sosial Review, 2019
Cooperation is carried out based on the provisions of the legislation in force or based on international agreements that have been recognized by the government. The Corruption Eradication Commission has the authority to coordinate and control the investigation, investigation and prosecution of corruption. The procedure for investigating Corruption in the Corruption Eradication Commission is determined in Article 43 and Article 44 of Law No. 30 of 2002. In this Article states that investigators who carry out investigations are investigators appointed by the Corruption Eradication Commission. Investigators here only carry out the function of investigating criminal acts of corruption. If the investigator in conducting an investigation finds sufficient preliminary evidence of an alleged criminal act of corruption, within no later than 7 (seven) working days from the date the sufficient preliminary evidence is found, the investigator may report to the Corruption Eradication Commission.
JURNAL MERCATORIA, 2020
Korupsi telah menghambat sistem pemerintahan berjalan dengan baik, sehingga akan berdampak pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Disahkannya UU No. 19 tahun 2019 telah memberikan arah baru dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Penelitian ini memfokuskan kajian pada dua permasalahan, yaitu Politik hukum pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pasca disahkannya UU No. 19 tahun 2019 dan kendala lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia saat ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Politik Hukum Pemberantasan Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Pasca disahkannya UU No. 19 tahun 2019 adalah dengan melakukan uji materil UU No. 19 tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk perlawanan dari publik (masyarakat) agar UU No. 19 tahun 2019 yang notabanenya melemahkan fungsi KPK. Selain itu, KPK dalam melakukan tindakan-tindakan penanggulangan kasus korupsi di Indonesia saat ini tidak hanya m...
ADIL: Jurnal Hukum
Proses pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak terlepas dari Pro Kontra yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dimana dalam pembentukan dan hingga akhir disahkan berlangsung dengan cepat itulah yang menjadi polemik apakah sudah dibentuk melalui prosedural yang baik. Berdasarkan latar belakang diatas penulis yang menjadi rumusan masalah: Pertama, asas-asas pembentukan peraturan Perundang-Undangan yang Baik ditinjau dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Kedua, proses pembentukan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tinjau dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan Metode penelitian yang digunakan berupa penelitian yuridis norma...
Rafael Aritonang, 2021
Korupsi adalah salah satu bentuk kejahatan yang mengglobal karena sampai saat ini masih senantiasa menjadi topik pembicaraan yang selalu hangat, baik dalam kehidupan masyarakat maupun dalam seminar-seminar yang bertaraf nasional ataupun internasional karena korupsi bukan hanya menjadi konsumsi perbincangan masyarakat atas dan menengah saja, melainkan juga masalah korupsi saat ini menjadi pembahasan masyarakat akar rumput. Korupsi saat ini sudah menjadi suatu kebiasaan bagi pejabat di Indonesia. Tindak pidana korupsi bisa dikatakan kejahatan luar biasa karena tindak pidana tersebut merugikan orang banyak bahkan keuangan negara serta melemahakan nilai-nilai demokrasi, etika, keadilan dan kepastian hukum 1. Korupsi yang sekarang merajalela ialah tindak pidana suap yang begitu menyebar dikantor-kantor pemerintahan. Begitu juga dalam praktik individu ataupun kelompok yang diuntungkan baik pemerintahan maupun nonpemerintahan. Suap menyuap, jenis tindak pidana yang sudah lama dikenal dalam aturan hukum pidana Indonesia. Penyuapan (Suap) adalah tindakan memberikan uang, barang atau bentuk lain dari pembalasan dari pemberi usap kepada penerima suap yang dilakukan untuk mengubah sikap penerima atas suatu kepentingan. 2 Pada umumnya suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Orang yang memberi suap biasanya memberikan suap agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan tertentu ataupun agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum. Penyebab terjadinya suap dalam tindak pidana korupsi karena adanya penyalahgunaan kekuasaaan atau kewenangan, melalui kekuasaan tersebut mendapatkan nilai atau harga dari orang lain dan tentunya keuntungan pribadi baik pelaku dan pemberi suap. Jika dilihat pada praktiknya, suap ini dikonotasikan dengan adanya janji atau hadiah, iming-imingan atau pemberian keuntungan yang tidak pantas oleh seorang pegawai negeri atau pejabat pemerintahan baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga
Lex LATA
ABSTRAK: Tesis ini berjudul “Kebijakan Formulatif Hukum Pidana Mengenai Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dalam situasi bencana. Penulisan ini dilatarbelakangi inkonsistensi norma hukum Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak pemberantasan Pidana Korupsi. Dimana dalam norma hukum Pasal 2 ayat (2) khususnya unsur-unsur atau parameter kejahatan korupsi, persyaratan perbuatan pidana, dan ancaman sanksi pidana tidak memiliki kepastian hukum yang jelas, sehingga penormaan hukum yang inkonsistensi dan tidak memiliki kepastian hukum tersebut berpengaruh kepada penegakan hukum pidana korupsi khususnya pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Dari hal tersebut timbul permasalahan yang harus dianalisa yaitu : (1) Bagaimanakah seharusnya rumusan norma hukum pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tah...
2021
The existence of punishment carried out by law is one of the consequences of a criminal act. one of them is in the criminal act of corruption, the punishment in the form of capital punishment is permitted However, until now the death penalty has not been implemented because there are many views that the application of the death penalty is contrary to human rights whose purpose is to protect a person's right to life to freely defend his life and it is inherent in every human being given by God and cannot. be bothered by anyone. However, if the death penalty is not applied, it will also increase the number of criminal cases, especially corruption cases, because so far there has been no deterrent effect except for the death penalty, but even then it has not been implemented. back again to another legal view that the death penalty is considered contrary to human rights. So with this the author will examine ith nomative research how the views of human rights law in viewing capital pu...
Prosiding Ilmu Hukum, 2019
corruption is a disease that has taken root and cannot be cured until now it spreads throughout the government sector even to state-owned companies. It can be affirmed that corruption always began in the government sector occurred at the District Head of Cianjur, Irvan Rivano Mochtar related to corruption cases of the Special Education Allocation Fund. In this case there were many obstacles with 121 days being taken from post OTT until investigators delegated the case to the court. Indonesia has regulated corruption since 1971, namely Law No. 3 of 1971 concerning the Eradication of Corruption Crime because the Law was deemed not to have followed the developments and legal needs in the community, so Law No. 31 of 1999 concerning the Eradication of Corruption Crime then revised into Law No. 20 of 2001. Therefore, this study aims to determine the law enforcement of criminal acts of corruption committed by the Regent of Cianjur Regency and to know the inhibiting factors in the enforcement of criminal law of corruption committed by the Regent of Cianjur Regency. This study uses practical theoretical methods with descriptive analysis analysis specifications. Data collection techniques used in this study were library studies and interviews. The results of this study are that the Regent of Cianjur Regency is proven to use the Special Education Allocation Fund to finance one political party. In this case Irvan Rivano Muchtar (Regent of Cianjur Regency) in law enforcement violated Article 12 letter F or Article 12 letter E or Article 12 letter B of Law No. 20 of 2001 in lieu of Law No. 30 of 1999 concerning Eradication of Corruption with a maximum threat of 20 years in prison and a maximum fine of Rp. 1 billion. Obstacles from corruption cases of Special Allocation Education Funds made by the Regent of Cianjur Regency, namely suspects of more than one person, the number of witness testimonies in the trial with 51 witnesses, the examination of suspects not only once, the existence of external factors the money was corrupted by the District Head Cianjur is one of the political parties (NASDEM). Another inhibiting factor is the need for two evidences, a corruption culture in congregation, a preventive system mechanism that does not work, there must be a supervisory role from the public, weak information media not delivered and political intervention or the power of law enforcement of corruption committed by the regent of Cianjur district in accordance with Law No. 20 of 2001 as a substitute for Law No. 31 of 1999, barriers to law enforcement factors that hamper legal processes, factors of law enforcement facilities and facilities, and community factors.Regent of Cianjur Regency, namely suspects of more than one person, the number of witness testimonies in the trial with 51 witnesses, the examination of suspects not only once, the existence of external factors the money was corrupted by the District Head Cianjur is one of the political parties (NASDEM). Another inhibiting factor is the need for two evidences, a corruption culture in congregation, a preventive system mechanism that does not work, there must be a supervisory role from the public, weak information media not delivered and political intervention or the power of law enforcement of corruption committed by the regent of Cianjur district in accordance with Law No. 20 of 2001 as a substitute for Law No. 31 of 1999, barriers to law enforcement factors that hamper legal processes, factors of law enforcement facilities and facilities, and community factors.