HADIS-HADIS “DISKRIMINASI PEREMPUAN” DALAM KITAB SHAHỈH BUKHẢRI (Studi Terhadap Kualitas Sanad dan Fiqh al-Hadis) (original) (raw)

TRADISI MAHAR : ASPEK DISKRIMINASI PADA KAUM PEREMPUAN INDIA

Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun. Kebiasaan tersebut dianggap baik dan dapat dijadikan ciri khas dari masyarakat yang melakukan kebiasaan tersebut. Tradisi mahar yang berkembang di banyak negara merupakan tradisi yang telah lama dilakukan. Salah satu negara yang menjalankannya adalah India. Di negara India mahar merupakan bagian penting dalam pernikahan. Dalam Tradisi India, pernikahan merupakan suatu upacara sakral karena dapat menyatukan dua keluarga berbeda sehingga pemberian mahar menjadi syarat penting pernikahan dapat dilaksanakan.

NILAI PEMBUKTIAN SAKSI PEREMPUAN DALAM HUKUM ISLAM

badilag.net

Female witness in Islamic Law as understood by the Islamic jurists is a half of that of male. The Quran also states it distinctly in 2:282. Of course, it seems to be discriminative against women. The question now, does that provision prevail temporally or universally? What is the historical situation proceeding the provision? According to the author, the provision that female witness is a half of that of male is temporal and not universal. It needs two women to bear witness to be equal with the male witness due to the lack of women experience in public matters. So if one is hesitate to bear witness, another is able to remind her. It is important to note that at time of revelation, the role of women in Arabia were generally restricted in domestic sector. Therefore, at this time when the women have equal chance with the men to reach higher study, work in public sector and be the president of a nation, it is supposed to treat female witness equal with that of male.

KEDUDUKAN HAKIM WANITA DALAM PERSPEKTIF FUQAHĂ’ (Studi Komparatif Imām Abū Hanīfah dan Ibn Jarīr At-Thabarī)

Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam, 2020

Hakim merupakan salah satu profesi yang sangat urgen, karena hakim adalah salah satu jabatan yang tinggi dalam islam. Kedudukan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan mufti, karena tugas hakim bukan hanya sekedar menyatakan hukum, melainkan juga menjatuhkan suatu hukuman yang mana hasil dari putusan tersebut wajib dilaksanakan dan dipatuhi. Sehingga syarat-syarat dan uji kelayakan harus ditegakkan secara demokratis, adil, dan jujur. Dalam wacana syarat-syarat dan status keabsahan wanita menjabat sebagai hakim, di kalangan fuqaha terjadi perbedaan pendapat dan menimbulkan kontroversi di kalangan imam madzhab.Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dari pertanyaanpertanyaan yang menjadi rumusan masalah: "Bagaimana pendapat Abū Hanīfah dan Ibn Jarīr At-Thabarī mengenai kedudukan hakim wanita, bagaimana persamaan dan perbedaan pendapat Abū Hanīfah dan Ibn Jarīr At-Thabarī tentang kedudukan hakim wanita serta bagaimana relevansi pendapat kedudukan hakim wanita dalam konteks keIndonesiaan antara Abū Hanīfah dan Ibn Jarīr At-Thabarī". Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif (kepustakaan), sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analisis komparatif, yaitu dengan menggambarkan masalah-masalah yang terkait serta mengkomparasikan pendapat dari dua tokoh madzhab.Kesimpulan penelitian ini adalah menurut Abū Hanīfah wanita dapat menjadi hakim hanya dalam masalah perdata (mu"amalah) bukan dalam masalah pidana (qishās dan hudūd), sebagaimana mengqiyaskan kebolehan seorang wanita menjadi saksi begitupula kebolehan wanita menjadi hakim. sedangkan menurut Ibn Jarīr At-Thabarī wanita boleh menjadi hakim secara mutlak untuk semua perkara, sebagaimana Ibn Jarīr At-Thabarī menganalogikan wanita boleh mengeluarkan fatwa yang dianggap sah sehingga dalam hal ini wanita boleh menjadi hakim dan keputusannya pun dianggap sah. Adapun Letak persamaan pandangan Abū Hanīfah dan Ibn Jarīr At-Thabarī dalam hal status wanita menjabat sebagai hakim yaitu keduanya sama-sama tidak menjadikan laki-laki sebagai syarat sahnya pengangkatan seorang hakim. sedangkan Letak perbedaan pendapat antara keduanya adalah kewenangan hakim perempuan dalam memutuskan perkara pada wilayah peradilan, Abū Hanīfah membatasi kewenangan wanita dalam memutuskan perkara hanya pada wilayah perdata tidak pada hudūd dan qishās. Selain itu Abū Hanīfah juga berpendapat bahwasannya barang siapa yang mengangkat seorang wanita menjadi hakim maka ia berdosa. Sedangkan Ibn Jarīr At-Thabarī memperbolehkan wanita menjabat sebagai hakim secara mutlak dan terkait pengangkatannya pun secara mutlak ia memperbolehkan. Di antara pendapat kedua imam tersebut yang paling relevan di Indonesia adalah pendapat Ibn Jarīr At-Thabarī yang sesuai dengan jiwa masyarakat Indonesia saat ini.

KONTROVERSI PENAFSIRAN TENTANG PEREMPUAN PEREMPUAN DALAM AL-QUR`AN: ANALISIS TERHADAP PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISHBAH

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penafsiran M. Quraish Shihab terhadap kontroversi yang berkembang di kalangan ulama klasik dan kontemporer tentang isu sensitif dalam diskursus feminisme, yaitu proses kejadian perempuan. Di kalangan ulama klasik, telah terbentuk mainstream penafsiran bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, suatu penafsiran literal dan menekankan proses kejadian fisik yang kemudian berimplikasi posisi subordinat mereka dibandingkan pria. Sedangkan di kalangan ulama kontemporer, penafsiran bersifat metafor dan menekankan psikologi perempuan ketimbang kejadian fisik sesungguhnya. Telaah ini di samping menjelaskan argumen-argumen penafsiran, juga bertujuan memposisikan penafsirannya dalam perdebatan penafsiran klasik dan kontemporer tersebut. Kata kunci: penafsiran, tafsir klasik, tafsir kontemporer, nafs wahidah

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM Al-QURAN DAN HADIS

Musawa: Journal for Gender Studies

Islam is a religion that highly respects and values ​​women. Islam erases the Jahiliyah tradition which is so discriminatory towards women, in Islam men and women are considered to be equal, free-tackled, and even complementary and needy creatures of God. Islam as rahmatan lil Alamin positions women in a noble place. There is no dichotomy and discrimination between men and women. Al-Qur’an teaches the position of believers both men and women are equal before God, therefore they must obtain equal status in the eyes of God, and both have been declared the same as getting God’s grace. The departure of women to study even without mahram can be justified as long as their honor and safety are guaranteed and does not invite disobedience. Women have the right to work as long as they need it or the job needs it and as long as religious and moral norms are maintained. Therefore there is no obstacle for women to work as long as the work is carried out in an atmosphere of respect, courtesy, an...

SEKSUALITAS PEREMPUAN DALAM KITAB FATHU AL-IZAR FI KASYFI AL-ASRAR AL-AWQAT AL-HARTSI WA KHILQAH AL-ABKAR

Al-Ibanah, 2021

This study aims to dissect women's sexuality in the book Fathu Al-Izar fi Kasyfi Al-Asrar Al-Awqar Al-Hartsi wa Khilqah Al-Abkar using the literature review method. The lack of Islamic sex education literature makes this book the foremost book studied in the traditional Islamic boarding school. There are several dimensions of female sexuality in each section of the discussion. But in general it centers on the last section of the discussion, "Bayan Asrar Khilqah Al-Abkar" (virgin secret explanation). This book generally uses a physiognomic science approach to explain the biological dimensions of female sexuality regarding vaginal anatomy and the high and low levels of female sexual desire.

KONSEP KEPEMIMPINAN WANITA DALAM QS. AN-NISA AYAT 34 (Studi Komparatif Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an Karya Imam al-Qurthubi dan Tafsir Kebencian Karya Zaitunah Subhan)

Al Muhafidz: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir

Penelitian ini membahas tentang konsep kepemimpinan wanita dalam QS. An-Nisa ayat 34, dimana permasalahan tentang kepemimpinan wanita merupakan topik yang selalu menarik, bahkan seakan menjadi polemik berkepanjangan, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan sendiri, kaum intelektual maupun kaum awam. Hal ini juga menjadi permasalahan kontroversial di kalangan ulama klasik dan kontemporer, masing-masing mempunyai argumentasi untuk membolehkan atau tidaknya wanita menjadi pemimpin. Penelitian ini menggunakan teori Abdul Hayy Al-Farmawi yaitu metode muqarran (perbandingan). Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mencari ayat Al-Qurán yang berkaitan dengan topik permasalahan kemudian mengemukakan pendapat para mufassir baik khalaf maupun salaf, membandingkan kedua pendapat tersebut, dan terakhir membuat kesimpulan dengan analisis penulis. Yang mana dari penelitian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam rumah tangga, mutlak oleh laki-laki. Sedangkan dalam kepemimpinan ...