Hilmar Farid | Institut Kesenian Jakarta (original) (raw)
Thesis Chapters by Hilmar Farid
The search for meaning of a literary work in mainstream literary criticism, particularly Russian ... more The search for meaning of a literary work in mainstream literary criticism, particularly Russian Formalism and New Criticism, has been focused on the study of the text itself. Despite the different interpretations that critics may have of a particular text, there is an underlying assumption that the text would produce similar effects on readers regardless of the particular context in which the text is being read. The meaning of the text from the perspective of the reader is fixed and unchanging, or to put it differently, that the implied reader of a text is none other than an abstract idealized being, void of political and historical content. This is even more true in postcolonial where the audience or reader, despite the theoretical innovations of reader-response criticism in the 1970s, still persists as a marginal figure. 1 The reason for the absence of readers in postcolonial theory is both historical and practical. Reader-response criticism is largely based on the American and European experience, which are both distinct from the literary culture of the former colonies. For example, the assumption that ordinary people may have similar "interpretive strategies" is probably not applicable in societies where functional illiteracy is still high. There is also a significant difference between areas which were under the rule of the British empire, and thus acquainted to the canons of "Western literature" and areas like Indonesia, where even Dutch literature had little impact on the cultural imagination of the natives. In practical terms, the study of readers in colonial and post-colonial societies requires a lot of groundwork, from book history to a sociology of readership,
When the New Order regime took power, one of its attempts to exert political control was to erase... more When the New Order regime took power, one of its attempts to exert political control was to erase Indonesia's recent history from collective memory. Leftist writers and intellectuals were either killed or detained for a long period of time without trial. Their books were banned and their names were removed from the curriculum. In public libraries the authorities removed all books that they thought were somehow related to the PKI or the left, which in my student days included anti-communist propaganda like Arthur M. Schlesinger's What About Communism? and reports about higher education in the Soviet Union. Pramoedya was of course no exception. His name was on the top of a long list of banned authors attached to an instruction by the Ministry of Education and Culture. 1 No school was allowed to use his books, and so the best that some critical teachers could do was to mention his name in passing, and hope that the students would take the hint. When I was in high school his name was hardly known. In the 1990s the telephone company misspelled his name as Pramoedya Ananta Tour (instead of Toer) and moved him to the tour and travel section of the yellow pages. Despite all the attempts to exclude him, in December 1979 he returned from prison, and a few months later his first novel that he wrote in prison, Bumi Manusia, was published. It became a best-selling novel with several reprints and translation into more than twenty foreign languages. The other volumes of the quartet were published over a span of eight years, and followed by two other novels on the pre-colonial 1 See, Ajip Rosidi, Ikhtisar Sedjarah Sastra Indonesia (Bandung: Binatjipta, 1969).
Books by Hilmar Farid
Beyond the Pale: Dutch Extreme Violence in the Indonesian War of Independence, 1945-1949, 2022
The program asked prominent Indonesian historian Hilmar Farid to write an epilogue to the conclus... more The program asked prominent Indonesian historian Hilmar Farid to write an epilogue to the conclusions in the volume Beyond the Pale. In his essay, he not only discusses various contributions and conclusions but also their significance for the historiography in Indonesia as well as for our dealing with the legacy of a shared violent past.
Violent Conflict in Indonesia: Analysis, Representation and Resolution, Charles E. Coppel (ed.), 2006
Perhaps the most troubling aspect of the mass violence in Indonesia in recentyears is its inscrut... more Perhaps the most troubling aspect of the mass violence in Indonesia in recentyears is its inscrutability. If the violence could be explained, the solution toprevent it from occurring again would appear more or less obvious. Under theSuharto regime, it was fairly easy to understand most cases of large-scaleviolence as state violence. Even the ‘mysterious killings’ of neighbourhoodhoodlums in 1983–1984 were not so mysterious, as it was an open secret thatthe military was organizing the executions. Indeed, it was too easy to explainmass violence. A dictator and an omnipresent military, with its myriadterritorial commands and freedom to conduct covert operations, could beblamed for just about every case of mass violence, from the mass killings in1965–1966 onward. However, once the Suharto regime, the major cause ofpolitical violence in the past, disappeared from the scene, the violence did notabate. Having only this paradigm of state violence, many analysts ofIndonesian politics have been caught flat-footed in trying to understand recentcases of mass violence that have emerged from complex social conditions. Analysts have either tried to fit these cases into the paradigm of state violence(trying to determine who among the army officers and Suharto’s cronies wasthe hidden mastermind, or dalang, and what his political motives were) orhave reverted to the Suharto regime’s own perspective: that the Indonesianpeople are primitive and prone to conflicts over primordial identities – religion,race and ethnicity (Siahaan 1998; Mangunkusumo 1999).
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (eds. H. Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari), 2008
Tidak ada kiranya penulis Indonesia yang mendapat perhatian dunia seluas dan sebesar Pramoedya An... more Tidak ada kiranya penulis Indonesia yang mendapat perhatian dunia seluas dan sebesar Pramoedya Ananta Toer. Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam semua bahasa utama di dunia dan belasan bahasa lainnya di Eropa dan Asia, berulangkali mendapat penghargaan internasional. Saat ini sudah ada puluhan buku, disertasi, skripsi sarjana, artikel ilmiah dan ratusan tinjauan buku yang membahas karya-karyanya dari masa awal maupun karya-karya yang ditulis semasa ditahan di Pulau Buru, yang menegaskan posisinya sebagai penulis novel paling penting dan terkemuka di Indonesia. Tapi menariknya hanya sedikit yang mengulas perannya sebagai intelektual dan kritikus budaya (Scherer 1981, Miller 1993), dan lebih sedikit lagi yang menulis mengenai kedudukan dan perannya sebagai seorang peneliti dan penulis sejarah (Wertheim 1995). Sungguh ironis, mengingat karya Pulau Buru yang mengantarnya ke kedudukan itu adalah hasil penelitian sejarah yang mendalam. Ada lebih dari 150 artikel-sebagian besar diterbitkan dalam bentuk serial-mengenai berbagai aspek sejarah yang disusunnya antara 1956 ketika ia mulai menaruh perhatian khusus terhadap studi sejarah secara sistematis sampai 1965 saat kerja keras itu diakhiri secara paksa oleh Orde Baru. Sejauh ini tulisan-tulisan tersebut belum diperhatikan secara serius, baik oleh peminat dan kritikus sastra maupun ahli sejarah. Alasan utama mengapa nama dan karya-karya sejarah Pramoedya tidak dibicarakan di Indonesia tentunya adalah pelarangan dan pembatasan terhadap diri dan karyanya sejak 1965 oleh penguasa Orde Baru. 1 Menyimpan, memperjual-belikan dan membaca karya Pramoedya saat itu dianggap kejahatan yang punya akibat hukum. Di Jogjakarta tahun 1989 tiga orang anggota sebuah kelompok studi ditangkap oleh militer dan dihukum penjara karena ketahuan menjual, membaca dan mendiskusikan Rumah Kaca. Di lingkungan akademik pun situasinya tidak jauh berbeda, di mana aparat kampus menjadi wakil kekuasaan negara untuk membersihkan kampus dari 'pikiran beracun'. Pada pertengahan 1981, beberapa waktu setelah Pramoedya dilepas dari Pulau Buru, beberapa mahasiswa Universitas Indonesia 1 Pramoedya adalah satu dari ratusan seniman, intelektual dan penulis yang termasuk daftar 'orang terlarang' yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Larangan itu tadinya hanya berlaku di lingkungan departemen tersebut, tapi kemudian juga berlaku untuk umum. Pada 1983 ketika diangkat menjadi rektor Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto memerintahkan agar perpustakaan kampus, termasuk fakultas sastra tempatnya mengajar, dibersihkan dari 'buku-buku beracun', termasuk di dalamnya karya-karya yang diterbitkan oleh gerakan kiri atau negara-negara sosialis.
Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (editor Daniel Dhakidae dan Vedi R Hadiz), 2006
Setiap orang yang ingin menulis tentang masalah kelas di Indonesia tentu akan segera menyadari be... more Setiap orang yang ingin menulis tentang masalah kelas di Indonesia tentu akan segera menyadari betapa langkanya literatur mengenai topik tersebut. Kelangkaan itu begitu hebat sehingga seorang mahasiswa undergraduate yang baru mulai belajar tentang Indonesia pun dengan mudah dapat menyorotinya (Levine, 1969). Ia menilai para sarjana di zaman itu hanya sibuk dengan perkembangan politik harian di parlemen, partai politik dan birokrasi pemerintah. Buruh, petani, pengangguran, kelas menengah perkotaan dan pedagang atau tuan tanah kecil hanya sesekali tampil dalam tulisan mereka sebagai 'massa'. Walau hanya berbicara tentang dunia akademik di Amerika dan Australia, kritik itu jelas berlaku untuk ilmu sosial di Indonesia sendiri. Beberapa tahun kemudian Benedict Anderson-seorang sarjana terkemuka dalam studi Indonesia-sambil lalu mengatakan bahwa ada beberapa karya "yang menunjukkan bahwa seruan Levine (untuk memperhatikan kelas) tidak sepenuhnya diabaikan (Anderson 1982: 89). Tidak jelas karya dan penulis mana yang dimaksud, tapi pencarian sederhana dalam database elektronik atau katalog perpustakaan saya kira membuktikan bahwa tak seorang pun yang dibayangkan Anderson dalam komentar pendek itu adalah ilmuwan Indonesia. Bagi mereka yang mengamati sejarah politik Indonesia modern, menghilangnya konsep dan diskursus kelas dalam ilmu sosial ini akan cepat dikaitkan dengan munculnya Orde Baru. Seperti halnya penghancuran berbasis kelas 'membersihkan lahan' bagi pembangunan (Hilmar Farid 2000), represi dalam dunia keilmuan 'membersihkan pikiran' dan diiringi oleh apa yang oleh seorang penulis disebut 'de-edukasi' (Ward 1973: 75). Orde Baru memastikan bahwa konsep kelas menghilang dari diskursus politik dan keilmuan dengan menyingkirkan semua intelektual yang mengusung perspektif semacam itu dan mengganti semua istilah yang lazim mereka gunakan dengan bermacam istilah baru yang dianggap lebih sesuai oleh rezim. Akibat dari represi semacam ini sangat dalam dan mungkin melebihi apa yang dibayangkan oleh penguasa sendiri. Penulis dan ilmuwan sosial selalu berkompromi sejak dalam pikiran, menghindari istilah dan topik yang sensitif, dan akhirnya seringkali seperti kehilangan daya untuk menerangkan maksud mereka sesungguhnya. Bagian awal tulisan ini akan membahas berbagai perubahan dan discursive practices setelah peristiwa 1965-66 yang turut membentuk ilmu sosial di Indonesia. Sikap antikomunis dan doktrin pembangunan melalui pertumbuhan dan stabilitas, praktek 'massa mengambang', peran Amerika Serikat dan gagasan modernisasi yang lahir dalam Perang Dingin, adalah unsur-unsur penting untuk memahami discursive formation ilmu sosial di Indonesia semasa Orde Baru. Banyak masalah yang kemudian dikeluhkan para ilmuwan sendiri, seperti rendahnya kualitas penelitian, mentalitas proyek, kelangkaan kritik teori serta menghilangnya berbagai konsep penting seperti kelas dan gender dalam ilmu sosial, sangat dipengaruhi masalah ini. 1 Sejumlah intelektual sejak 1970-an mulai mengkritik paham liberal yang dominan dalam ilmu sosial di Indonesia dan menawarkan 'ilmu sosial historis' sebagai alternatifnya, yang antara lain memperkenalkan kembali konsep kelas. Usaha itu cukup berhasil menantang paradigma dominan itu dengan membongkar bias ideologi dan politik yang terkandung di dalamnya, tapi gagal melakukan pembalikan radikal terhadap apa yang mereka kritik. Dari pengamatan terhadap beberapa studi dan tulisan dalam langgam 'ilmu sosial historis' dan perbandingannya dengan analisis kelas dalam doktrin ortodoksi Marxis, saya berusaha merumuskan sebuah kerangka analisis kelas yang berguna untuk menjangkau "lebih dari apa yang nampak di permukaan" (Levine 1969:5). Berkebalikan dengan anggapan bahwa masalah kelas tidak relevan lagi dalam 'dunia serba-pasca' sekarang ini, saya ingin menunjukkan bahwa
Papers by Hilmar Farid
Perkembangan teknologi digital mengubah produksi pengetahuan sejarah secara sangat signifikan. Ma... more Perkembangan teknologi digital mengubah produksi pengetahuan sejarah secara sangat signifikan. Makalah ini mengidentifikasi beberapa perkembangan terpenting dan melihat dampaknya terhadap penulisan sejarah di Indonesia.
Penyusunan indeks beranotasi karya Ki Hadjar Dewantara ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat ... more Penyusunan indeks beranotasi karya Ki Hadjar Dewantara ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat yang akan meneliti sejarah, terutama terkait pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Indeks ini memberikan kemudahan dalam memetakan sumber-sumber sejarah berupa buah karya tulis Ki Hadjar Dewantara. Indeks Karya Ki Hadjar Dewantara ini dilengkapi dengan anotasi yang memberikan gambaran umum terkait sumber yang akan dicari, sehingga peneliti dapat menentukan apa saja sumber-sumber yang akan dicari sebelum datang ke tempat di mana sumber berada. Buku ini berisikan 464 indeks karya Ki Hadjar Dewantara yang disusun secara keronologis dan dilengkapi dengan keterangan keberadaan sumber
Inter-Asia Cultural Studies, 2017
ABSTRACT Thinking about links and fractures in political and historical thoughts about Malaya and... more ABSTRACT Thinking about links and fractures in political and historical thoughts about Malaya and Indonesia, one central question comes to mind: Why “ke-Melayu-an” (Malayness) did not become a national project in Indonesia? Given the facts that there have been emotional and material entanglements between Malaysia, Singapore and Indonesia, and that in Malaysia and Singapore, Malayan consciousness had a clear political context, it is important to revisit the notion of the Melayu identity in Indonesia. This article sheds some light on this issue, bringing language and political identity into vision. By looking at trajectories of Malay and Malayness in Indonesia, it aims to raise interest in a new methodology of studying political thoughts about national projects in Asia, starting with formulating central questions worthy of further pursuit.
Inter-Asia Cultural Studies, 2016
ABSTRACT By explaining the different trajectories that the “Bandung spirit” has taken since its i... more ABSTRACT By explaining the different trajectories that the “Bandung spirit” has taken since its inception in the mid-1950s, including various popular organizations that have not only been influenced by the Bandung conference but have taken the original ideas and actions into more progressive directions, it is argued in this article that the inclusion of the popular element is not only important to understand the history of the “Bandung spirit” but is also a necessary part of our thinking about the future of Bandung as a political project.
Inter-Asia Cultural Studies, 2005
... The regime's most comprehensive propaganda book, authored by the army historian Nugr... more ... The regime's most comprehensive propaganda book, authored by the army historian Nugroho Notosusanto and the prosecutor Ismail Saleh (Notosusanto and Saleh 1989), devoted all of two paragraphs to the mass killing, or 'clash' in their terminol-ogy, and concluded that 'the ...
Jurnal Prisma edisi Gerakan Pemuda 1926-2011: Persatuan Terhenti, Kesatuan Asimetris, Vol. 30 No.2, 2011
Pemuda punya tempat istimewa dalam narasi sejarah dan politik Indonesia. Sepertinya tidak ada per... more Pemuda punya tempat istimewa dalam narasi sejarah dan politik Indonesia. Sepertinya tidak ada peristiwa penting di negeri ini yang tidak melibatkan pemuda, mulai dari pembentukan Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, Revolusi Agustus 1945, sampai mundurnya Suharto sebagai presiden pada Mei 1998. Mereka hadir sebagai kekuatan yang berjasa menyelamatkan negeri dari marabahaya dan mengantar masyarakat ke gerbang kehidupan yang adil dan makmur. Narasi seperti ini biasanya menguat di masa krisis ketika kekuatan-kekuatan sosial lain seperti buruh dan tani atau borjuasi dan kelas menengah tidak mampu mengendalikan keadaan. Usulan "potong generasi" yang intinya menuntut kekuasaan diserahkan kepada kaum muda saya terka adalah salah satu bentuk paling mutakhir.
Journal Inter-Asia Cultural Studies Volume 17 - Issue 1, 2016
By explaining the different trajectories that the "Bandung spirit" has taken since its inception ... more By explaining the different trajectories that the "Bandung spirit" has taken since its inception in the mid-1950s, including various popular organizations which have not only been influenced by the Bandung conference but have taken the original ideas and actions into more progressive directions, I argue in this article that the inclusion of the popular element is not only important to understand the history of the "Bandung spirit" but is also a necessary part of our thinking about the future of Bandung as a political project.
Jurnal Kalam edisi 3, Nasionalisme: Antara Kenangan dan Tindakan, 1994
Kehadiran bahasa Indonesia adalah hasil perjalanan sejarah yang mulus. Dimulai dari bahasa Melayu... more Kehadiran bahasa Indonesia adalah hasil perjalanan sejarah yang mulus. Dimulai dari bahasa Melayu yang berkembang di wilayah Semenanjung Melayu, Sumatra dan Kalimantan, ia berkembang terus, nyaris tanpa gangguan menuju bentuk akhirnya, yaitu bahasa Indonesia. Itulah kesan umum yang saya tangkap dari sejumlah tulisan tentang sejarah bahasa Indonesia, yang rata-rata ditulis sesudah perang kemerdekaan. Lebih lanjut kerap ditambahkan bahwa bahasa Indonesia-yang ketika itu masih bernama bahasa Melayu-inilah yang menjadi alat perjuangan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, karena dengan begitu dapat menghubungkan begitu banyak entitas kesukuan dalam masyarakat di bawah satu nama, Indonesia. Ada beberapa hal yang menarik dari garis pemikiran ini. Pertama, dan mungkin paling penting, adalah pandangan bahwa "bangsa" Indonesia yang dibicarakan di situ sudah ada sejak waktu yang lama. Sering dikatakan bahwa bangsa, walau sempat tertekan setelah keluar dari zaman keemasannya di masa Majapahit dan Sriwijaya, kembali menemukan bentuknya di abad 20. Kedua, bahwa bahasa Indonesia pun tidak jauh terbeda perjalanannya. Ia seakan berjalan dalam satu untaian sejarah yang panjang, yang sekalipun coba digagalkan oleh kekuasaan kolonial tetap bertahan, dan kemudian muncul dengan nama baru "bahasa Indonesia". Kedua hal, bangsa dan bahasa, dengan begitu berjalan bersamaan melintasi waktu dan bertemu-dalam kebanyakan tulisan-pada tanggal 28 Oktober 1028. Pandangan di atas kira-kira dapat mewakili pandangan sejarah yang resmi sekarang ini, dan-seperti halnya kebanyakan pandangan resmi-hampir-hampir tidak pernah dipersoalkan secara kritis. Pidato-pidato pejabat pemerintah dan juga sejarawan resmi sering hanya memberikan konfirmasi terhadap pandangan tersebut dengan menyoroti aspek tertentu atau periode tertentu, tapi tanpa pernah mempertanyakan kembali kerangka berpikirnya secara menyeluruh. Tulisan singkat ini akan menelaah hubungan bahasa Indonesia dan nasionalisme. Argumen utamanya adalah bahwa baik bahasa maupun bangsa-sekalipun memiliki akar-akar panjang di dalam sejarah-adalah temuan yang relatif baru. Nasionalisme, atau konsep tentang "bangsa" (dalam pengertian yang modem, yaitu nation) di Indonesia-seperti akan diuraikan di bawah-baru mulai berkambang dalam abad 20, tidak harus seiring dengan kemunculan Budi Utomo tapi pada kurun waktu yang kurang lebih sama. Sekali lagi berbeda dari pandangan sebagian intelektual nasionalis yang idealistik, konsep tentang "bangsa" itu tidak inheren dalam masyarakat. Sebagai satu discourse, ia terus bergerak dan ditentukan keberadaannya oleh pertarungan kekuatan-kekuatan sosial. Bahasa Indonesia-sepakat dengan gagasan Sutan Takdir Alisjahbana, walau dengan penjelasan berbeda-adalah hasil dari nasionalisme Indonesia, atau lebih tepat: konsep tentang "bangsa Indonesia".(1)
Jurnal Prisma edisi Peralihan Budaya Mencipta Makna,, 1991
Pandangan konvensional tentang sejarah kolonial mengabaikan peranan negara dalam perkembangan keb... more Pandangan konvensional tentang sejarah kolonial mengabaikan peranan negara dalam perkembangan kebudayaan. Berbeda dengan pandangan tersebut, melalui telaah terhadap Balai Poestaka, tulisan ini berusaha memperlihatkan pengaruh dan keterlibatan negara Hindia Belanda dalam pembentukan budaya dan perkembangan intelektual di Hindia Belanda. Keterlibatan itu tentu tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme kolonial, yang tengah berubah sejak masa Politik Etis hingga lepas Perang Dunia I. SELAMA ini Balai Poestaka dikenal sebagai perintis dalam kesusastraan Indonesia modern. Pengertian yang terkandung di balik pernyataan ini, bahwa melalui lembaga tersebut, karya-karya sastra penulis pribumi dapat dibaca luas oleh masyarakat.[1] Pandangan seperti ini agaknya mengabaikan pendirian dan perkembangan Balai Poestaka sebagai lembaga kolonial yang berhadapan dengan masyarakat Hindia Belanda. Kecenderungan lain dalam pembahasan tentang Balai Poestaka: pengamatan yang hanya diarahkan pada hubungan lembaga tersebut dengan perkembangan kesusastraan. Pengamatan seperti ini dapat menimbulkan pemahaman yang sama sekali keliru, karena Balai Poestaka jelas memiliki jangkauan yang lebih luas, karena pengaruhnya dalam dunia susastra memang besar. Studi mengenai aparatus negara kolonial yang berkaitan dengan perkembangan intelektual dan budaya sampai saat ini masih terbatas jumlahnya. Secara umum kaitan antara kolonialisme dan budaya belum mendapat perhatian yang memadai. Tulisan ini coba menguraikan hubungan kolonialisme dan perkembangan budaya di mana negara atau penguasa kolonial memegang peranan penting. Usaha penguasa kolonial untuk mempertahankan kekuasaannya di negeri jajahan juga dilakukan melalui pembentukan lembaga-lembaga, yang kerap disebut ''lembaga budaya". Dalam pandangan yang dominan saat ini, budaya ditempatkan secara terpisah dari perkembangan ekonomi politik, sehingga Balai Poestaka dapat dikenang terbatas pada "jasa-jasanya" menerbitkan buku bacaan secara luas di Hindia Belanda. Kealpaan mendasar ini justru berakibat timbulnya pemahaman yang dangkal terhadap Balai Poestaka sebagai lembaga kolonial. Gagasan dasar tulisan ini tentu tidak melihat lembaga yang dibentuk negara kolonial pada posisi netral seperti yang sering dibayangkan sejumlah penulis.[2] Karena berhubungan langsung dengan kolonialisme maka Balai Poestaka (selanjutnya disingkat BP) harus diletakkan dalam konteks hubungan penguasa kolonial dengan tanah jajahannya. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pembentukan lembaga-lembaga (di samping negara) sarat dengan kepentingan kolonial dalam mempertahankan kekuasaannya. Kepentingan ini bersama dengan perkembangan lainnya dalam masyarakat pada gilirannya juga berpengaruh pada berbagai teks (naskah) yang diterbitkan atau diproduksi lembaga itu. Sebagai produk yang khas, teks bukan sekedar hasil dari kreativitas seorang pengarang. Keadaan atau kondisi "di luar" teks, seperti penulisan, pengetikan, penyuntingan, penyebaran dan seterusnya sangat berpengaruh dalam pembentukan teks. Semua kondisi "di luar" teks ini, harus dipahami sebagai sesuatu yang terbentuk secara historis.[3] Untuk dapat memahaminya secara mendalam, teks harus ditempatkan dalam konteks, di mana semua elemen yang turut membentuknya, mulai dari kondisi umum masyarakat sampai ke corak produksinya yang sangat khusus, turut diperhitungkan.
Conference Presentations by Hilmar Farid
Bagai Ikan Terdampar Identitas adalah salah satu konsep dalam ilmu sosial yang membingungkan. Dia... more Bagai Ikan Terdampar Identitas adalah salah satu konsep dalam ilmu sosial yang membingungkan. Diawali dari usaha untuk mengimbangi kelas, ras atau gender sebagai unit analisis yang membakukan keberadaan seseorang atau sekelompok orang, para pengamat menggunakan konsep identitas untuk menyelidiki kemajemukan yang lekat pada seseorang. Secara politik kemajemukan ini membuka ruang dan peluang bagi praktek politik yang lebih kaya dan tajam untuk menjawab persoalan dunia yang semakin kompleks. Saat ini konsep identitas mendapat pengakuan luas sebagai obat mujarab untuk menghindari esensialisme dan membuat pengamat sungguh memperhatikan sifat cair dari identitas. Dan justru di sini masalah mulai muncul. Penekanan pada kemajemukan dan keterus-berubahan identitas membuat konsep itu sendiri kemudian kehilangan daya penjelasnya. Jika identitas senantiasa majemuk dan berubah-ubah, lalu bagaimana mungkin kita membicarakannya? Bagaimana kita menangkap sesuatu yang terus bergerak tanpa mengurangi geraknya? Dan lebih penting lagi, bagaimana kita bisa memahami tindakan politik yang bertolak dari pengentalan identitas, misalnya etnik atau agama, seperti yang kita saksikan sepanjang sejarah Indonesia modern? Selama ini pendekatan yang dominan dalam diskusi tentang identitas menekankan segi pemahaman-diri orang atau kelompok dalam studinya. Tentu saja dengan cara seperti ini kita tahu bagaimana seseorang atau kelompok berpikir tentang dirinya, baik melalui pemikiran atau praktek yang langsung berkenaan dengan dirinya maupun dengan yang lain (the other). Tapi saya kira penekanan dan penilaian yang berlebihan pada pemahaman-diri ini membuat proses sosial yang lebih luas terabaikan, dan ini tentu masalah besar. Untuk mengenali identitas orang Indonesia setelah kolonialisme misalnya kita tidak cukup memperhatikan apa yang dikatakan orang mengenai diri mereka atau diperbuat seseorang atau sekelompok orang untuk memperkuat 'identitas' yang sudah ditentukan sebelumnya, tapi juga dengan memahami batas dan proses pembentukan identitas itu sendiri. Setiap identitas, betapapun majemuk dan terus berubahnya, tidak dapat lepas dari proses sosial, ekonomi dan politik yang lebih luas. Jadi, di samping pemahaman-diri atau penamaan-diri yang memang esensial dalam studi tentang identitas saya kira perhatian perlu juga diarahkan pada berbagai proses sosial yang membatasi dan mengarahkan pembentukan identitas itu. Di Indonesia proses tersebut setelah kemerdekaan sangat rumit adanya. Kolonialisme Belanda selama puluhan tahun-untuk sebagian lebih dari seratus bahkan dua ratus tahun-berakhir dengan kedatangan Jepang yang mematahkan pertahanan Hindia Belanda dalam hitungan hari. Berbeda dengan Birma dan Filipina, di Jawa dan Sumatera (dengan perkecualian Aceh dan Sumatera Barat) tentara pendudukan Jepang tidak disambut oleh perlawanan bersenjata terhadap penguasa kolonial. Tidak ada gerakan politik yang datang mewakili Indonesia sebagai kesatuan. Kaum elite terbelah antara mereka yang setuju bekerjasama dengan Jepang dan yang tidak setuju. Di antara yang setuju pun ada perbedaan signifikan mengenai apa yang harus dilakukan selanjutnya. Begitu juga mereka yang menolak bekerjasama dengan Jepang tidak dapat dipersatukan oleh satu agenda politik. Semasa perang kemerdekaan melawan penguasa kolonial Belanda yang ingin kembali perbedaan itu berkurang karena adanya musuh bersama, tapi segera muncul lagi setelah penyerahan kedaulatan. Perbedaan tidak terbatas pada orientasi politik tapi juga kelas, etnik, agama dan regionalisme dan berulangkali pecah menjadi konflik terbuka ketika perbedaan (dan identitas) mengental.
Talks by Hilmar Farid
Buku Program Pidato Kebudayaan, Dewan Kesenian Jakarta , 2014
Bukan lautan hanya kolam susu Kail dan jala cukup menghidupimu Tiada badai tiada topan kau temui ... more Bukan lautan hanya kolam susu Kail dan jala cukup menghidupimu Tiada badai tiada topan kau temui Ikan dan udang menghampiri dirimu Selamat malam, ibu-bapak, saudara sekalian, yang saya hormati. Selamat datang, terima kasih sudah menyempatkan diri hadir dalam acara pidato kebudayaan ini. Sengaja saya memilih lagu Kolam Susu karya Koes Plus sebagai pembuka pidato ini, karena lagu ini begitu sederhana musik maupun liriknya, dan berbicara mengenai fakta yang begitu gamblang, bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya. Tepatnya negeri maritim yang kaya. Perjalanan saya berkeliling ke berbagai tempat di negeri ini beberapa kali mengkonfirmasi kebenaran syair lagu itu, bahwa "kail dan jala cukup menghidupimu." Koes Plus tentu tidak sendirian dalam keyakinannya bahwa Indonesia adalah negeri maritim yang kaya. Di bangku sekolah kita belajar tentang wilayah lautan Indonesia yang luasnya mencapai 3,2 juta kilometer persegi. Kita belajar tentang panjang pantai Indonesia yang lebih dari 95.000 kilometer dan membuat Indonesia menjadi negeri dengan pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Kita juga belajar tentang 17.000 lebih pulau dengan sumber daya alam yang beragam, baik yang berada di darat, daerah pesisir maupun lautnya. Saat ini diperkirakan lebih dari 160 juta orang atau lebih dari 60 persen penduduk Indonesia bermukim di daerah pesisir. Dengan geografi dan demografi seperti itu potensi Indonesia sebagai negeri maritim memang luar biasa. Para ahli mengatakan, jika potensi ini, potensi sebagai negeri maritim ini digarap dengan baik, maka nilainya bisa mencapai Rp 3.000 trilyun per tahun. Kegiatan ekonominya akan menyerap lebih dari 40 juta tenaga kerja di berbagai bidang, mulai dari perikanan, pengembangan wilayah pesisir, sampai bioteknologi dan transportasi laut. Luar biasa. Tapi mengapa sampai hari ini perekonomian Indonesia masih bertumpu pada industri pengolahan, pertambangan dan kehutanan, pertanian dan peternakan, yang semuanya berbasis di daratan? Total kontribusi sektor kelautan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia saat ini hanya sekitar 20 persen, di bawah Thailand dan Korea Selatan, dua negeri yang kalau panjang pantainya digabung pun tidak sampai sepuluh persen dari panjang pantai Indonesia. Ini bukan perkara preferensi atau prioritas dalam pembangunan tapi menyangkut keselamatan dan masa depan. Pembangunan ekonomi yang bertumpu di daratan memang berhasil membawa Indonesia ke dalam kelompok 16 besar perekonomian dunia. Tapi harga yang harus dibayar oleh masyarakat Indonesia untuk sampai pada posisi itu sangatlah mahal dan boleh jadi tidak seimbang dengan pencapaiannya. Antara tahun 2001-2013 setiap hari ada areal hutan seluas 500 lapangan sepakbola yang habis dibabat. Tidak perlu menjadi ahli lingkungan hidup kitanya untuk melihat korelasi antara pembabatan hutan dengan bencana banjir dan tanah longsor yang sering terjadi belakangan ini. Setiap tahun kita mendengar ribuan orang mengungsi karena banjir di seluruh negeri.
The search for meaning of a literary work in mainstream literary criticism, particularly Russian ... more The search for meaning of a literary work in mainstream literary criticism, particularly Russian Formalism and New Criticism, has been focused on the study of the text itself. Despite the different interpretations that critics may have of a particular text, there is an underlying assumption that the text would produce similar effects on readers regardless of the particular context in which the text is being read. The meaning of the text from the perspective of the reader is fixed and unchanging, or to put it differently, that the implied reader of a text is none other than an abstract idealized being, void of political and historical content. This is even more true in postcolonial where the audience or reader, despite the theoretical innovations of reader-response criticism in the 1970s, still persists as a marginal figure. 1 The reason for the absence of readers in postcolonial theory is both historical and practical. Reader-response criticism is largely based on the American and European experience, which are both distinct from the literary culture of the former colonies. For example, the assumption that ordinary people may have similar "interpretive strategies" is probably not applicable in societies where functional illiteracy is still high. There is also a significant difference between areas which were under the rule of the British empire, and thus acquainted to the canons of "Western literature" and areas like Indonesia, where even Dutch literature had little impact on the cultural imagination of the natives. In practical terms, the study of readers in colonial and post-colonial societies requires a lot of groundwork, from book history to a sociology of readership,
When the New Order regime took power, one of its attempts to exert political control was to erase... more When the New Order regime took power, one of its attempts to exert political control was to erase Indonesia's recent history from collective memory. Leftist writers and intellectuals were either killed or detained for a long period of time without trial. Their books were banned and their names were removed from the curriculum. In public libraries the authorities removed all books that they thought were somehow related to the PKI or the left, which in my student days included anti-communist propaganda like Arthur M. Schlesinger's What About Communism? and reports about higher education in the Soviet Union. Pramoedya was of course no exception. His name was on the top of a long list of banned authors attached to an instruction by the Ministry of Education and Culture. 1 No school was allowed to use his books, and so the best that some critical teachers could do was to mention his name in passing, and hope that the students would take the hint. When I was in high school his name was hardly known. In the 1990s the telephone company misspelled his name as Pramoedya Ananta Tour (instead of Toer) and moved him to the tour and travel section of the yellow pages. Despite all the attempts to exclude him, in December 1979 he returned from prison, and a few months later his first novel that he wrote in prison, Bumi Manusia, was published. It became a best-selling novel with several reprints and translation into more than twenty foreign languages. The other volumes of the quartet were published over a span of eight years, and followed by two other novels on the pre-colonial 1 See, Ajip Rosidi, Ikhtisar Sedjarah Sastra Indonesia (Bandung: Binatjipta, 1969).
Beyond the Pale: Dutch Extreme Violence in the Indonesian War of Independence, 1945-1949, 2022
The program asked prominent Indonesian historian Hilmar Farid to write an epilogue to the conclus... more The program asked prominent Indonesian historian Hilmar Farid to write an epilogue to the conclusions in the volume Beyond the Pale. In his essay, he not only discusses various contributions and conclusions but also their significance for the historiography in Indonesia as well as for our dealing with the legacy of a shared violent past.
Violent Conflict in Indonesia: Analysis, Representation and Resolution, Charles E. Coppel (ed.), 2006
Perhaps the most troubling aspect of the mass violence in Indonesia in recentyears is its inscrut... more Perhaps the most troubling aspect of the mass violence in Indonesia in recentyears is its inscrutability. If the violence could be explained, the solution toprevent it from occurring again would appear more or less obvious. Under theSuharto regime, it was fairly easy to understand most cases of large-scaleviolence as state violence. Even the ‘mysterious killings’ of neighbourhoodhoodlums in 1983–1984 were not so mysterious, as it was an open secret thatthe military was organizing the executions. Indeed, it was too easy to explainmass violence. A dictator and an omnipresent military, with its myriadterritorial commands and freedom to conduct covert operations, could beblamed for just about every case of mass violence, from the mass killings in1965–1966 onward. However, once the Suharto regime, the major cause ofpolitical violence in the past, disappeared from the scene, the violence did notabate. Having only this paradigm of state violence, many analysts ofIndonesian politics have been caught flat-footed in trying to understand recentcases of mass violence that have emerged from complex social conditions. Analysts have either tried to fit these cases into the paradigm of state violence(trying to determine who among the army officers and Suharto’s cronies wasthe hidden mastermind, or dalang, and what his political motives were) orhave reverted to the Suharto regime’s own perspective: that the Indonesianpeople are primitive and prone to conflicts over primordial identities – religion,race and ethnicity (Siahaan 1998; Mangunkusumo 1999).
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (eds. H. Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari), 2008
Tidak ada kiranya penulis Indonesia yang mendapat perhatian dunia seluas dan sebesar Pramoedya An... more Tidak ada kiranya penulis Indonesia yang mendapat perhatian dunia seluas dan sebesar Pramoedya Ananta Toer. Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam semua bahasa utama di dunia dan belasan bahasa lainnya di Eropa dan Asia, berulangkali mendapat penghargaan internasional. Saat ini sudah ada puluhan buku, disertasi, skripsi sarjana, artikel ilmiah dan ratusan tinjauan buku yang membahas karya-karyanya dari masa awal maupun karya-karya yang ditulis semasa ditahan di Pulau Buru, yang menegaskan posisinya sebagai penulis novel paling penting dan terkemuka di Indonesia. Tapi menariknya hanya sedikit yang mengulas perannya sebagai intelektual dan kritikus budaya (Scherer 1981, Miller 1993), dan lebih sedikit lagi yang menulis mengenai kedudukan dan perannya sebagai seorang peneliti dan penulis sejarah (Wertheim 1995). Sungguh ironis, mengingat karya Pulau Buru yang mengantarnya ke kedudukan itu adalah hasil penelitian sejarah yang mendalam. Ada lebih dari 150 artikel-sebagian besar diterbitkan dalam bentuk serial-mengenai berbagai aspek sejarah yang disusunnya antara 1956 ketika ia mulai menaruh perhatian khusus terhadap studi sejarah secara sistematis sampai 1965 saat kerja keras itu diakhiri secara paksa oleh Orde Baru. Sejauh ini tulisan-tulisan tersebut belum diperhatikan secara serius, baik oleh peminat dan kritikus sastra maupun ahli sejarah. Alasan utama mengapa nama dan karya-karya sejarah Pramoedya tidak dibicarakan di Indonesia tentunya adalah pelarangan dan pembatasan terhadap diri dan karyanya sejak 1965 oleh penguasa Orde Baru. 1 Menyimpan, memperjual-belikan dan membaca karya Pramoedya saat itu dianggap kejahatan yang punya akibat hukum. Di Jogjakarta tahun 1989 tiga orang anggota sebuah kelompok studi ditangkap oleh militer dan dihukum penjara karena ketahuan menjual, membaca dan mendiskusikan Rumah Kaca. Di lingkungan akademik pun situasinya tidak jauh berbeda, di mana aparat kampus menjadi wakil kekuasaan negara untuk membersihkan kampus dari 'pikiran beracun'. Pada pertengahan 1981, beberapa waktu setelah Pramoedya dilepas dari Pulau Buru, beberapa mahasiswa Universitas Indonesia 1 Pramoedya adalah satu dari ratusan seniman, intelektual dan penulis yang termasuk daftar 'orang terlarang' yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Larangan itu tadinya hanya berlaku di lingkungan departemen tersebut, tapi kemudian juga berlaku untuk umum. Pada 1983 ketika diangkat menjadi rektor Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto memerintahkan agar perpustakaan kampus, termasuk fakultas sastra tempatnya mengajar, dibersihkan dari 'buku-buku beracun', termasuk di dalamnya karya-karya yang diterbitkan oleh gerakan kiri atau negara-negara sosialis.
Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (editor Daniel Dhakidae dan Vedi R Hadiz), 2006
Setiap orang yang ingin menulis tentang masalah kelas di Indonesia tentu akan segera menyadari be... more Setiap orang yang ingin menulis tentang masalah kelas di Indonesia tentu akan segera menyadari betapa langkanya literatur mengenai topik tersebut. Kelangkaan itu begitu hebat sehingga seorang mahasiswa undergraduate yang baru mulai belajar tentang Indonesia pun dengan mudah dapat menyorotinya (Levine, 1969). Ia menilai para sarjana di zaman itu hanya sibuk dengan perkembangan politik harian di parlemen, partai politik dan birokrasi pemerintah. Buruh, petani, pengangguran, kelas menengah perkotaan dan pedagang atau tuan tanah kecil hanya sesekali tampil dalam tulisan mereka sebagai 'massa'. Walau hanya berbicara tentang dunia akademik di Amerika dan Australia, kritik itu jelas berlaku untuk ilmu sosial di Indonesia sendiri. Beberapa tahun kemudian Benedict Anderson-seorang sarjana terkemuka dalam studi Indonesia-sambil lalu mengatakan bahwa ada beberapa karya "yang menunjukkan bahwa seruan Levine (untuk memperhatikan kelas) tidak sepenuhnya diabaikan (Anderson 1982: 89). Tidak jelas karya dan penulis mana yang dimaksud, tapi pencarian sederhana dalam database elektronik atau katalog perpustakaan saya kira membuktikan bahwa tak seorang pun yang dibayangkan Anderson dalam komentar pendek itu adalah ilmuwan Indonesia. Bagi mereka yang mengamati sejarah politik Indonesia modern, menghilangnya konsep dan diskursus kelas dalam ilmu sosial ini akan cepat dikaitkan dengan munculnya Orde Baru. Seperti halnya penghancuran berbasis kelas 'membersihkan lahan' bagi pembangunan (Hilmar Farid 2000), represi dalam dunia keilmuan 'membersihkan pikiran' dan diiringi oleh apa yang oleh seorang penulis disebut 'de-edukasi' (Ward 1973: 75). Orde Baru memastikan bahwa konsep kelas menghilang dari diskursus politik dan keilmuan dengan menyingkirkan semua intelektual yang mengusung perspektif semacam itu dan mengganti semua istilah yang lazim mereka gunakan dengan bermacam istilah baru yang dianggap lebih sesuai oleh rezim. Akibat dari represi semacam ini sangat dalam dan mungkin melebihi apa yang dibayangkan oleh penguasa sendiri. Penulis dan ilmuwan sosial selalu berkompromi sejak dalam pikiran, menghindari istilah dan topik yang sensitif, dan akhirnya seringkali seperti kehilangan daya untuk menerangkan maksud mereka sesungguhnya. Bagian awal tulisan ini akan membahas berbagai perubahan dan discursive practices setelah peristiwa 1965-66 yang turut membentuk ilmu sosial di Indonesia. Sikap antikomunis dan doktrin pembangunan melalui pertumbuhan dan stabilitas, praktek 'massa mengambang', peran Amerika Serikat dan gagasan modernisasi yang lahir dalam Perang Dingin, adalah unsur-unsur penting untuk memahami discursive formation ilmu sosial di Indonesia semasa Orde Baru. Banyak masalah yang kemudian dikeluhkan para ilmuwan sendiri, seperti rendahnya kualitas penelitian, mentalitas proyek, kelangkaan kritik teori serta menghilangnya berbagai konsep penting seperti kelas dan gender dalam ilmu sosial, sangat dipengaruhi masalah ini. 1 Sejumlah intelektual sejak 1970-an mulai mengkritik paham liberal yang dominan dalam ilmu sosial di Indonesia dan menawarkan 'ilmu sosial historis' sebagai alternatifnya, yang antara lain memperkenalkan kembali konsep kelas. Usaha itu cukup berhasil menantang paradigma dominan itu dengan membongkar bias ideologi dan politik yang terkandung di dalamnya, tapi gagal melakukan pembalikan radikal terhadap apa yang mereka kritik. Dari pengamatan terhadap beberapa studi dan tulisan dalam langgam 'ilmu sosial historis' dan perbandingannya dengan analisis kelas dalam doktrin ortodoksi Marxis, saya berusaha merumuskan sebuah kerangka analisis kelas yang berguna untuk menjangkau "lebih dari apa yang nampak di permukaan" (Levine 1969:5). Berkebalikan dengan anggapan bahwa masalah kelas tidak relevan lagi dalam 'dunia serba-pasca' sekarang ini, saya ingin menunjukkan bahwa
Perkembangan teknologi digital mengubah produksi pengetahuan sejarah secara sangat signifikan. Ma... more Perkembangan teknologi digital mengubah produksi pengetahuan sejarah secara sangat signifikan. Makalah ini mengidentifikasi beberapa perkembangan terpenting dan melihat dampaknya terhadap penulisan sejarah di Indonesia.
Penyusunan indeks beranotasi karya Ki Hadjar Dewantara ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat ... more Penyusunan indeks beranotasi karya Ki Hadjar Dewantara ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat yang akan meneliti sejarah, terutama terkait pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Indeks ini memberikan kemudahan dalam memetakan sumber-sumber sejarah berupa buah karya tulis Ki Hadjar Dewantara. Indeks Karya Ki Hadjar Dewantara ini dilengkapi dengan anotasi yang memberikan gambaran umum terkait sumber yang akan dicari, sehingga peneliti dapat menentukan apa saja sumber-sumber yang akan dicari sebelum datang ke tempat di mana sumber berada. Buku ini berisikan 464 indeks karya Ki Hadjar Dewantara yang disusun secara keronologis dan dilengkapi dengan keterangan keberadaan sumber
Inter-Asia Cultural Studies, 2017
ABSTRACT Thinking about links and fractures in political and historical thoughts about Malaya and... more ABSTRACT Thinking about links and fractures in political and historical thoughts about Malaya and Indonesia, one central question comes to mind: Why “ke-Melayu-an” (Malayness) did not become a national project in Indonesia? Given the facts that there have been emotional and material entanglements between Malaysia, Singapore and Indonesia, and that in Malaysia and Singapore, Malayan consciousness had a clear political context, it is important to revisit the notion of the Melayu identity in Indonesia. This article sheds some light on this issue, bringing language and political identity into vision. By looking at trajectories of Malay and Malayness in Indonesia, it aims to raise interest in a new methodology of studying political thoughts about national projects in Asia, starting with formulating central questions worthy of further pursuit.
Inter-Asia Cultural Studies, 2016
ABSTRACT By explaining the different trajectories that the “Bandung spirit” has taken since its i... more ABSTRACT By explaining the different trajectories that the “Bandung spirit” has taken since its inception in the mid-1950s, including various popular organizations that have not only been influenced by the Bandung conference but have taken the original ideas and actions into more progressive directions, it is argued in this article that the inclusion of the popular element is not only important to understand the history of the “Bandung spirit” but is also a necessary part of our thinking about the future of Bandung as a political project.
Inter-Asia Cultural Studies, 2005
... The regime's most comprehensive propaganda book, authored by the army historian Nugr... more ... The regime's most comprehensive propaganda book, authored by the army historian Nugroho Notosusanto and the prosecutor Ismail Saleh (Notosusanto and Saleh 1989), devoted all of two paragraphs to the mass killing, or 'clash' in their terminol-ogy, and concluded that 'the ...
Jurnal Prisma edisi Gerakan Pemuda 1926-2011: Persatuan Terhenti, Kesatuan Asimetris, Vol. 30 No.2, 2011
Pemuda punya tempat istimewa dalam narasi sejarah dan politik Indonesia. Sepertinya tidak ada per... more Pemuda punya tempat istimewa dalam narasi sejarah dan politik Indonesia. Sepertinya tidak ada peristiwa penting di negeri ini yang tidak melibatkan pemuda, mulai dari pembentukan Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, Revolusi Agustus 1945, sampai mundurnya Suharto sebagai presiden pada Mei 1998. Mereka hadir sebagai kekuatan yang berjasa menyelamatkan negeri dari marabahaya dan mengantar masyarakat ke gerbang kehidupan yang adil dan makmur. Narasi seperti ini biasanya menguat di masa krisis ketika kekuatan-kekuatan sosial lain seperti buruh dan tani atau borjuasi dan kelas menengah tidak mampu mengendalikan keadaan. Usulan "potong generasi" yang intinya menuntut kekuasaan diserahkan kepada kaum muda saya terka adalah salah satu bentuk paling mutakhir.
Journal Inter-Asia Cultural Studies Volume 17 - Issue 1, 2016
By explaining the different trajectories that the "Bandung spirit" has taken since its inception ... more By explaining the different trajectories that the "Bandung spirit" has taken since its inception in the mid-1950s, including various popular organizations which have not only been influenced by the Bandung conference but have taken the original ideas and actions into more progressive directions, I argue in this article that the inclusion of the popular element is not only important to understand the history of the "Bandung spirit" but is also a necessary part of our thinking about the future of Bandung as a political project.
Jurnal Kalam edisi 3, Nasionalisme: Antara Kenangan dan Tindakan, 1994
Kehadiran bahasa Indonesia adalah hasil perjalanan sejarah yang mulus. Dimulai dari bahasa Melayu... more Kehadiran bahasa Indonesia adalah hasil perjalanan sejarah yang mulus. Dimulai dari bahasa Melayu yang berkembang di wilayah Semenanjung Melayu, Sumatra dan Kalimantan, ia berkembang terus, nyaris tanpa gangguan menuju bentuk akhirnya, yaitu bahasa Indonesia. Itulah kesan umum yang saya tangkap dari sejumlah tulisan tentang sejarah bahasa Indonesia, yang rata-rata ditulis sesudah perang kemerdekaan. Lebih lanjut kerap ditambahkan bahwa bahasa Indonesia-yang ketika itu masih bernama bahasa Melayu-inilah yang menjadi alat perjuangan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, karena dengan begitu dapat menghubungkan begitu banyak entitas kesukuan dalam masyarakat di bawah satu nama, Indonesia. Ada beberapa hal yang menarik dari garis pemikiran ini. Pertama, dan mungkin paling penting, adalah pandangan bahwa "bangsa" Indonesia yang dibicarakan di situ sudah ada sejak waktu yang lama. Sering dikatakan bahwa bangsa, walau sempat tertekan setelah keluar dari zaman keemasannya di masa Majapahit dan Sriwijaya, kembali menemukan bentuknya di abad 20. Kedua, bahwa bahasa Indonesia pun tidak jauh terbeda perjalanannya. Ia seakan berjalan dalam satu untaian sejarah yang panjang, yang sekalipun coba digagalkan oleh kekuasaan kolonial tetap bertahan, dan kemudian muncul dengan nama baru "bahasa Indonesia". Kedua hal, bangsa dan bahasa, dengan begitu berjalan bersamaan melintasi waktu dan bertemu-dalam kebanyakan tulisan-pada tanggal 28 Oktober 1028. Pandangan di atas kira-kira dapat mewakili pandangan sejarah yang resmi sekarang ini, dan-seperti halnya kebanyakan pandangan resmi-hampir-hampir tidak pernah dipersoalkan secara kritis. Pidato-pidato pejabat pemerintah dan juga sejarawan resmi sering hanya memberikan konfirmasi terhadap pandangan tersebut dengan menyoroti aspek tertentu atau periode tertentu, tapi tanpa pernah mempertanyakan kembali kerangka berpikirnya secara menyeluruh. Tulisan singkat ini akan menelaah hubungan bahasa Indonesia dan nasionalisme. Argumen utamanya adalah bahwa baik bahasa maupun bangsa-sekalipun memiliki akar-akar panjang di dalam sejarah-adalah temuan yang relatif baru. Nasionalisme, atau konsep tentang "bangsa" (dalam pengertian yang modem, yaitu nation) di Indonesia-seperti akan diuraikan di bawah-baru mulai berkambang dalam abad 20, tidak harus seiring dengan kemunculan Budi Utomo tapi pada kurun waktu yang kurang lebih sama. Sekali lagi berbeda dari pandangan sebagian intelektual nasionalis yang idealistik, konsep tentang "bangsa" itu tidak inheren dalam masyarakat. Sebagai satu discourse, ia terus bergerak dan ditentukan keberadaannya oleh pertarungan kekuatan-kekuatan sosial. Bahasa Indonesia-sepakat dengan gagasan Sutan Takdir Alisjahbana, walau dengan penjelasan berbeda-adalah hasil dari nasionalisme Indonesia, atau lebih tepat: konsep tentang "bangsa Indonesia".(1)
Jurnal Prisma edisi Peralihan Budaya Mencipta Makna,, 1991
Pandangan konvensional tentang sejarah kolonial mengabaikan peranan negara dalam perkembangan keb... more Pandangan konvensional tentang sejarah kolonial mengabaikan peranan negara dalam perkembangan kebudayaan. Berbeda dengan pandangan tersebut, melalui telaah terhadap Balai Poestaka, tulisan ini berusaha memperlihatkan pengaruh dan keterlibatan negara Hindia Belanda dalam pembentukan budaya dan perkembangan intelektual di Hindia Belanda. Keterlibatan itu tentu tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme kolonial, yang tengah berubah sejak masa Politik Etis hingga lepas Perang Dunia I. SELAMA ini Balai Poestaka dikenal sebagai perintis dalam kesusastraan Indonesia modern. Pengertian yang terkandung di balik pernyataan ini, bahwa melalui lembaga tersebut, karya-karya sastra penulis pribumi dapat dibaca luas oleh masyarakat.[1] Pandangan seperti ini agaknya mengabaikan pendirian dan perkembangan Balai Poestaka sebagai lembaga kolonial yang berhadapan dengan masyarakat Hindia Belanda. Kecenderungan lain dalam pembahasan tentang Balai Poestaka: pengamatan yang hanya diarahkan pada hubungan lembaga tersebut dengan perkembangan kesusastraan. Pengamatan seperti ini dapat menimbulkan pemahaman yang sama sekali keliru, karena Balai Poestaka jelas memiliki jangkauan yang lebih luas, karena pengaruhnya dalam dunia susastra memang besar. Studi mengenai aparatus negara kolonial yang berkaitan dengan perkembangan intelektual dan budaya sampai saat ini masih terbatas jumlahnya. Secara umum kaitan antara kolonialisme dan budaya belum mendapat perhatian yang memadai. Tulisan ini coba menguraikan hubungan kolonialisme dan perkembangan budaya di mana negara atau penguasa kolonial memegang peranan penting. Usaha penguasa kolonial untuk mempertahankan kekuasaannya di negeri jajahan juga dilakukan melalui pembentukan lembaga-lembaga, yang kerap disebut ''lembaga budaya". Dalam pandangan yang dominan saat ini, budaya ditempatkan secara terpisah dari perkembangan ekonomi politik, sehingga Balai Poestaka dapat dikenang terbatas pada "jasa-jasanya" menerbitkan buku bacaan secara luas di Hindia Belanda. Kealpaan mendasar ini justru berakibat timbulnya pemahaman yang dangkal terhadap Balai Poestaka sebagai lembaga kolonial. Gagasan dasar tulisan ini tentu tidak melihat lembaga yang dibentuk negara kolonial pada posisi netral seperti yang sering dibayangkan sejumlah penulis.[2] Karena berhubungan langsung dengan kolonialisme maka Balai Poestaka (selanjutnya disingkat BP) harus diletakkan dalam konteks hubungan penguasa kolonial dengan tanah jajahannya. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pembentukan lembaga-lembaga (di samping negara) sarat dengan kepentingan kolonial dalam mempertahankan kekuasaannya. Kepentingan ini bersama dengan perkembangan lainnya dalam masyarakat pada gilirannya juga berpengaruh pada berbagai teks (naskah) yang diterbitkan atau diproduksi lembaga itu. Sebagai produk yang khas, teks bukan sekedar hasil dari kreativitas seorang pengarang. Keadaan atau kondisi "di luar" teks, seperti penulisan, pengetikan, penyuntingan, penyebaran dan seterusnya sangat berpengaruh dalam pembentukan teks. Semua kondisi "di luar" teks ini, harus dipahami sebagai sesuatu yang terbentuk secara historis.[3] Untuk dapat memahaminya secara mendalam, teks harus ditempatkan dalam konteks, di mana semua elemen yang turut membentuknya, mulai dari kondisi umum masyarakat sampai ke corak produksinya yang sangat khusus, turut diperhitungkan.
Bagai Ikan Terdampar Identitas adalah salah satu konsep dalam ilmu sosial yang membingungkan. Dia... more Bagai Ikan Terdampar Identitas adalah salah satu konsep dalam ilmu sosial yang membingungkan. Diawali dari usaha untuk mengimbangi kelas, ras atau gender sebagai unit analisis yang membakukan keberadaan seseorang atau sekelompok orang, para pengamat menggunakan konsep identitas untuk menyelidiki kemajemukan yang lekat pada seseorang. Secara politik kemajemukan ini membuka ruang dan peluang bagi praktek politik yang lebih kaya dan tajam untuk menjawab persoalan dunia yang semakin kompleks. Saat ini konsep identitas mendapat pengakuan luas sebagai obat mujarab untuk menghindari esensialisme dan membuat pengamat sungguh memperhatikan sifat cair dari identitas. Dan justru di sini masalah mulai muncul. Penekanan pada kemajemukan dan keterus-berubahan identitas membuat konsep itu sendiri kemudian kehilangan daya penjelasnya. Jika identitas senantiasa majemuk dan berubah-ubah, lalu bagaimana mungkin kita membicarakannya? Bagaimana kita menangkap sesuatu yang terus bergerak tanpa mengurangi geraknya? Dan lebih penting lagi, bagaimana kita bisa memahami tindakan politik yang bertolak dari pengentalan identitas, misalnya etnik atau agama, seperti yang kita saksikan sepanjang sejarah Indonesia modern? Selama ini pendekatan yang dominan dalam diskusi tentang identitas menekankan segi pemahaman-diri orang atau kelompok dalam studinya. Tentu saja dengan cara seperti ini kita tahu bagaimana seseorang atau kelompok berpikir tentang dirinya, baik melalui pemikiran atau praktek yang langsung berkenaan dengan dirinya maupun dengan yang lain (the other). Tapi saya kira penekanan dan penilaian yang berlebihan pada pemahaman-diri ini membuat proses sosial yang lebih luas terabaikan, dan ini tentu masalah besar. Untuk mengenali identitas orang Indonesia setelah kolonialisme misalnya kita tidak cukup memperhatikan apa yang dikatakan orang mengenai diri mereka atau diperbuat seseorang atau sekelompok orang untuk memperkuat 'identitas' yang sudah ditentukan sebelumnya, tapi juga dengan memahami batas dan proses pembentukan identitas itu sendiri. Setiap identitas, betapapun majemuk dan terus berubahnya, tidak dapat lepas dari proses sosial, ekonomi dan politik yang lebih luas. Jadi, di samping pemahaman-diri atau penamaan-diri yang memang esensial dalam studi tentang identitas saya kira perhatian perlu juga diarahkan pada berbagai proses sosial yang membatasi dan mengarahkan pembentukan identitas itu. Di Indonesia proses tersebut setelah kemerdekaan sangat rumit adanya. Kolonialisme Belanda selama puluhan tahun-untuk sebagian lebih dari seratus bahkan dua ratus tahun-berakhir dengan kedatangan Jepang yang mematahkan pertahanan Hindia Belanda dalam hitungan hari. Berbeda dengan Birma dan Filipina, di Jawa dan Sumatera (dengan perkecualian Aceh dan Sumatera Barat) tentara pendudukan Jepang tidak disambut oleh perlawanan bersenjata terhadap penguasa kolonial. Tidak ada gerakan politik yang datang mewakili Indonesia sebagai kesatuan. Kaum elite terbelah antara mereka yang setuju bekerjasama dengan Jepang dan yang tidak setuju. Di antara yang setuju pun ada perbedaan signifikan mengenai apa yang harus dilakukan selanjutnya. Begitu juga mereka yang menolak bekerjasama dengan Jepang tidak dapat dipersatukan oleh satu agenda politik. Semasa perang kemerdekaan melawan penguasa kolonial Belanda yang ingin kembali perbedaan itu berkurang karena adanya musuh bersama, tapi segera muncul lagi setelah penyerahan kedaulatan. Perbedaan tidak terbatas pada orientasi politik tapi juga kelas, etnik, agama dan regionalisme dan berulangkali pecah menjadi konflik terbuka ketika perbedaan (dan identitas) mengental.
Buku Program Pidato Kebudayaan, Dewan Kesenian Jakarta , 2014
Bukan lautan hanya kolam susu Kail dan jala cukup menghidupimu Tiada badai tiada topan kau temui ... more Bukan lautan hanya kolam susu Kail dan jala cukup menghidupimu Tiada badai tiada topan kau temui Ikan dan udang menghampiri dirimu Selamat malam, ibu-bapak, saudara sekalian, yang saya hormati. Selamat datang, terima kasih sudah menyempatkan diri hadir dalam acara pidato kebudayaan ini. Sengaja saya memilih lagu Kolam Susu karya Koes Plus sebagai pembuka pidato ini, karena lagu ini begitu sederhana musik maupun liriknya, dan berbicara mengenai fakta yang begitu gamblang, bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya. Tepatnya negeri maritim yang kaya. Perjalanan saya berkeliling ke berbagai tempat di negeri ini beberapa kali mengkonfirmasi kebenaran syair lagu itu, bahwa "kail dan jala cukup menghidupimu." Koes Plus tentu tidak sendirian dalam keyakinannya bahwa Indonesia adalah negeri maritim yang kaya. Di bangku sekolah kita belajar tentang wilayah lautan Indonesia yang luasnya mencapai 3,2 juta kilometer persegi. Kita belajar tentang panjang pantai Indonesia yang lebih dari 95.000 kilometer dan membuat Indonesia menjadi negeri dengan pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Kita juga belajar tentang 17.000 lebih pulau dengan sumber daya alam yang beragam, baik yang berada di darat, daerah pesisir maupun lautnya. Saat ini diperkirakan lebih dari 160 juta orang atau lebih dari 60 persen penduduk Indonesia bermukim di daerah pesisir. Dengan geografi dan demografi seperti itu potensi Indonesia sebagai negeri maritim memang luar biasa. Para ahli mengatakan, jika potensi ini, potensi sebagai negeri maritim ini digarap dengan baik, maka nilainya bisa mencapai Rp 3.000 trilyun per tahun. Kegiatan ekonominya akan menyerap lebih dari 40 juta tenaga kerja di berbagai bidang, mulai dari perikanan, pengembangan wilayah pesisir, sampai bioteknologi dan transportasi laut. Luar biasa. Tapi mengapa sampai hari ini perekonomian Indonesia masih bertumpu pada industri pengolahan, pertambangan dan kehutanan, pertanian dan peternakan, yang semuanya berbasis di daratan? Total kontribusi sektor kelautan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia saat ini hanya sekitar 20 persen, di bawah Thailand dan Korea Selatan, dua negeri yang kalau panjang pantainya digabung pun tidak sampai sepuluh persen dari panjang pantai Indonesia. Ini bukan perkara preferensi atau prioritas dalam pembangunan tapi menyangkut keselamatan dan masa depan. Pembangunan ekonomi yang bertumpu di daratan memang berhasil membawa Indonesia ke dalam kelompok 16 besar perekonomian dunia. Tapi harga yang harus dibayar oleh masyarakat Indonesia untuk sampai pada posisi itu sangatlah mahal dan boleh jadi tidak seimbang dengan pencapaiannya. Antara tahun 2001-2013 setiap hari ada areal hutan seluas 500 lapangan sepakbola yang habis dibabat. Tidak perlu menjadi ahli lingkungan hidup kitanya untuk melihat korelasi antara pembabatan hutan dengan bencana banjir dan tanah longsor yang sering terjadi belakangan ini. Setiap tahun kita mendengar ribuan orang mengungsi karena banjir di seluruh negeri.