Perlindungan Konsumen Research Papers - Academia.edu (original) (raw)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang implementasi penerapan pro tokol kesehatan pencegahan Covid-19 di Restoran Naughty Nuri's dalam perspektif hukum perlindungan konsumen dan hambatan-hambatan yang ada dalam... more

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang implementasi penerapan pro tokol kesehatan pencegahan Covid-19 di Restoran Naughty Nuri's dalam perspektif hukum perlindungan konsumen dan hambatan-hambatan yang ada dalam usaha penerapan protokol kesehatan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, yaitu melihat h ukum dalam artian nyata menggunakan fakta-fakta empiris dengan meneliti bekerjanya hukum di masyarakat melalui wawancara dan obervasi langsung ke lapangan. Pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis yaitu mengrekognisi hukum sebagai institusi sosial yang nyata dan fungsional dalam sistem kehidupan di masyarakat. Bahan hukum lainnya yang dipakai untuk mendukung penelitian ini adalah data sekunder yaitu bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian ini menemukan bahwa Naughty Nuri's telah melakukan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 bagi pemilik dan karyawan restoran sesuai Kepmenkes No. HK.01.07/Menkes/382/2020 sebagai usaha pemenuhan hak konsumen dan kewajiban pemilik usaha yang terdapat pada UU No. 8 Tahun 1999. Namun, terdapat hambatan dal am penerapan protokol kesehatan tersebut yang terdiri dari dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu masih ada karyawan yang tidak melaporkan kondisi kesehatan pada pimpinan. Selanjutnya ada faktor eksternal yaitu masih adanya konsumen yang tidak menggunakan masker dan menolak cek suhu tubuh.

Berdasarkan kenyataan yang tidak dibantahkan bahwa bisnis merasuki seluruh kehidupan semua manusia, maka dari perspektif etis, bisnis diharapkan dan dituntut untuk menawarkan sesuatu yang berguna bagi manusia dan tidak sekedar menawarkan... more

Berdasarkan kenyataan yang tidak dibantahkan bahwa bisnis merasuki seluruh kehidupan semua manusia, maka dari perspektif etis, bisnis diharapkan dan dituntut untuk menawarkan sesuatu yang berguna bagi manusia dan tidak sekedar menawarkan sesuatu yang merugikan hanya demi memperoleh keuntungan. Kondisi konsumen yang banyak dirugikan memerlukan peningkatan upaya untuk melindunginya, sehingga hak-haknya dapat ditegakkan. Namun di sisi lain, perlindungan tersebut harus juga melindungi eksistensi produsen yang sangat esensial dalam perekonomian negara. Oleh karena itu, diperlukan perundang-undangan yang dapat melindungi kedua belah pihak. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Pengertian konsumen sendiri adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen di tanah air, baik melalui promosi, iklan, maupun penawaran barang secara langsung. Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan.

Kepastian hukum sebagai salah satu cita hukum, oleh Gustav Radbruch merupakan konstruksi fakta dalam suatu kaedah hukum yang dirumuskan secara jelas dan tegas (Satjipto Rahardjo, 2006:136). Hukum perlindungan konsumen yang tertuang dalam... more

Kepastian hukum sebagai salah satu cita hukum, oleh Gustav Radbruch merupakan konstruksi fakta dalam suatu kaedah hukum yang dirumuskan secara jelas dan tegas (Satjipto Rahardjo, 2006:136). Hukum perlindungan konsumen yang tertuang dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, salah satu asasnya adalah kepastian hukum (Pasal 2). Dalam penjelasannya, asas kepastian hukum dijelaskan bahwa agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Pola persaingan usaha dalam ekonomi digital terus menerus berkembang di dunia dan Indonesia pada saat ini. Kini pelaku usaha telah mengenal sistem penentuan harga barang dan/atau jasa melalui penggunaan algoritma (Algorithmic Pricing)... more

Pola persaingan usaha dalam ekonomi digital terus menerus berkembang di dunia dan Indonesia pada saat ini. Kini pelaku usaha telah mengenal sistem penentuan harga barang dan/atau jasa melalui penggunaan algoritma (Algorithmic Pricing) yang banyak melibatkan penggunaan data pribadi konsumen (seperti gender, latar pendidikan, rekam penelusuran). Setidaknya sistem penentuan harga ini cukup berguna bagi para pelaku usaha untuk melakukan optimalisasi penawaran produk sesuai dengan permintaan pasar dengan melibatkan pengolahan data yang dilakukan dengan masif, akurat, dan cepat. Akan tetapi, penggunaan sistem tersebut di sisi lain juga menimbulkan cukup banyak permasalahan yang berkaitan dengan persaingan usaha tidak sehat. Adapun permasalahan yang muncul yang di antaranya: (i) potensi penyalahgunaan data pribadi, (ii) potensi terjadinya diskriminasi harga, hingga (iii) potensi penyalahgunaan posisi dominan dengaan pemanfaatan sistem Algorithmic Pricing. Dalam tulisan ini, Penulis akan berfokus mengkaji sejauh apa hukum positif di Indonesia telah menjawab beberapa permasalahan di atas, serta memberikan rekomendasi yuridis terhadap celah-celah hukum pada saat ini yang masih belum dapat menjawab permasalahan di atas. Beberapa rekomendasi Penulis di antaranya mencakup: (i) pewajiban wajib lapor bagi setiap pelaku usaha yang menggunakan sistem Algorithmic Pricing, (ii) memperjelas klasifikasi penggunaan data pribadi yang dibolehkan dan yang dilarang, dan (iii) memperjelas yurisdiksi perlindungan data pribadi di Indonesia.

This paper aims to find out the legal protection for users of online credit transactions who are referred to as consumers. The research method used is normative research, namely research that uses laws and regulations as the basis for... more

This paper aims to find out the legal protection for users of online credit transactions who are referred to as consumers. The research method used is normative research, namely research that uses laws and regulations as the basis for solving problems. In practice, there are no regulations on financial technology (fintech) that sanction illegal online credit providers. The online credit agreement on the online credit application only occurs between the lender and the credit recipient. So there is often the discovery of personal data which is an administrative part in the implementation of fintech transactions. Therefore, it is certain that legal protection for online credit transaction users is still not optimal. Thus, there is a need for socialization in the community regarding online loans and the enactment of the Law on Personal Data Protection.

The development of information technology with the transformation that occurs has resulted in the development of trading activities. It's not just about what is traded but also the method of trading. The trading method in question is a... more

The development of information technology with the transformation that occurs has resulted in the development of trading activities. It's not just about what is traded but also the method of trading. The trading method in question is a transaction through electronic media or what is known as electronic commerce or e-commerce. The development of e-commerce is in line with the growth of the internet. This is because e-commerce runs through the internet network. The presence of the ASEAN Economic Community (EAC) is an integration of countries in the Southeast Asian region in particular, which aims to reduce the gap between ASEAN countries in terms of economic growth. In addition to the positive impact of e-commerce trading, there are also problems, including those related to defaults that occur in the future. So that clear regulations are needed regarding dispute resolution between ASEAN member countries.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur mengenai hak serta kewajiban konsumen dalam Pasal 4 sampai 5 UUPK, hak serta kewajiban pelaku usaha pada Pasal 6 sampai 7 UUPK, perbuatan yang dilarang bagi... more

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur mengenai hak serta kewajiban konsumen dalam Pasal 4 sampai 5 UUPK, hak serta kewajiban pelaku usaha pada Pasal 6 sampai 7 UUPK, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam Pasal 8 sampai 17 UUPK, sedangkan terkait dengan pencantuman klausula baku diatur pada Pasal 18 UUPK. Pelaku usaha memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang jelas mengenai jasa yang diberikan kepada konsumen sesuai dengan Pasal 7 UUPK, artinya segala sesuatu yang dilakukan pelaku usaha terhadap jasa yang diberikan kepada konsumen wajib diketahui oleh konsumen itu sendiri dikarenakan memang merupakan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai jasa yang diberikan pelaku usaha sebagaimana diatur pada Pasal 4 UUPK.

Abstrak. Faktor perlindungan konsumen bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan bisnis yang sehat dan baik yang berpengaruh pada perlindungan hukum antara konsumen dan produsen. Berkembangnya bisnis keuangan syariah menjadi tantangan... more

Abstrak. Faktor perlindungan konsumen bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan bisnis yang sehat dan baik yang berpengaruh pada perlindungan hukum antara konsumen dan produsen. Berkembangnya bisnis keuangan syariah menjadi tantangan pemerintah memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen jasa dan produk keuangan syariah melalui regulasi yang mengikat dari DSN-MUI, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Perlindungan konsumen dapat dilihat juga dari aspek maqashid as-syari'ah yang terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu a)Dharuriyat, b) Hajiyaat, c) Tahsiniyat. Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Maqashid As-Syari'ah 1. PENDAHULUAN Laju perkembangan ekonomi syari'ah di Indonesia dari hari ke hari terus bergeliat dan mengalami perkembangan yang sangat menggembirakan. Dimulai dari sektor perbankan syariah pada tahun 1991 dengan pendirian Bank Muamalat sebagai bank Islam yang menggunakan prinsip syariah dengan sistim bagi hasil yang kemudian diikuti oleh munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah. 1

Image Notaris sebagai pejabat umum sudah tertanam dimasyarakat luas, dimana dalam pandangan masya-rakat setiap perikatan yang dibuat dihadapan Notaris adalah suatu per-buatan yang sempurna dan mengikat kuat bagi para pihak yang membuat... more

Image Notaris sebagai pejabat umum sudah tertanam dimasyarakat luas, dimana dalam pandangan masya-rakat setiap perikatan yang dibuat dihadapan Notaris adalah suatu per-buatan yang sempurna dan mengikat kuat bagi para pihak yang membuat perjanjian, maka banyak yang merasa lebih aman bila perikatan yang dilaku-kan antar para pihak yang bersepakat dalam suatu perikatan dilakukan dihadapan pejabat umum yang ber-wenang membuatkan akta otentik sebagai suatu alat bukti yang sah atas perbuatan hukum yang dilakukannya. Bila kita melihat dari sisi sebuah perjanjian, dalam KUH Perdata pada pasal 1320 dan 1338 yang memuat syarat dan akibat hukum suatu perjanjian, maka konsep tersebut jelas menyatakan bahwa suatu perikatan berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, artinya apa yang dilakukan oleh para pihak, walaupun dilakukan tidak didepan pejabat umum dalam kaca mata hukum dianggap sudah sah dan mengikat, namun demi-kian "Rasa Aman dan Nyaman", itulah salah satu yang menjadi alasan mengapa para penghadap lebih suka bila suatu perjanjian di lakukan diha-dapan pejabat umum. Pada pelaksanaannya, pembuatan surat perjanjian yang dilakukan tidak dihadapan notaris telah banyak dilaku-kan oleh masyarakat, hal ini biasa disebut sebagai sebuah perjanjian diba-wah tangan. Pejanjian dibawah tangan pada umumnya meletakkan tanda kesepakatan antara para pihak dalam suatu dokumen perjanjian yang ber-bentuk sebuah surat perjanjian, untuk menambah rasa nyaman kemudian surat perjanjian ini dibawa kehadapan seorang pejabat umum, untuk dima-sukkan dalam suatu buku daftar yang *) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang