Agung Hidayat Mazkuri | University of Merdeka Madiun (original) (raw)
RESENSI DAN REVIEW BUKU by Agung Hidayat Mazkuri
Buku ini berisi tentang pemikiran tokoh filsafat. Membaca buku filsafat laku hidup atau eksistens... more Buku ini berisi tentang pemikiran tokoh filsafat. Membaca buku filsafat laku hidup atau eksistensialisme adalah mengenal pergulatan si tokoh, pikiran, dan perasaan dengan dunianya.
Dalam buku ini ada beberapa tema didedah penulis: Kierkegaard dan perjalanan kehidupannya, corak filsafat Hegel dan penyanggahan Kierkegaard, kebenaran akan hakikat atau esensi atau makna sebagai subjektitivas, otentisitas diri, dan relasi terhadap yang transenden. Pada akhirnya adalah menjadi pribadi otentik. Topik-topik yang sekiranya mencirikan corak eksistensialisme Kierkegaard.
Sejarah adalah manusia dengan segala dinamikanya. Ketika masyarakat Arab di Surabaya rentang 1900... more Sejarah adalah manusia dengan segala dinamikanya. Ketika masyarakat Arab di Surabaya rentang 1900-1942, yang menjadi objek dalam penelitian buku ini, dihadapkan pada perubahan sosiokultur dan ekonomi Surabaya di era Hindia Belanda, merekapun, mau tidak mau, harus berubah. Sebagai komunitas yang datang dan mendiami Surabaya.
Buku ini, yang diangkat dan disunting dari naskah disertasi, memberi kita informasi bagaimana masyarakat non-pribumi, Arab, datang ke Indonesia dan khususnya Surabaya. Buku juga memberi gambaran bahwa dinamika orang pendatang Arab yang kebanyakannya dari daerah Yaman, di Surabaya menyangkut konflik internalnya karena keniscayaan untuk beradaptasi dengan sosiokultur dan sosiopolitik mau tidak mau ubtuk membaur dan tidak eksklusif, relasi ekonominya dengan khususnya pribumi, dan puncaknya kesadaran akan kebangsaannya, nasionalisme Indonesia.
Jurisprudence ontologically is a knowledges whose the object is a norms, a set of values that cov... more Jurisprudence ontologically is a knowledges whose the object is a norms, a set of values that covered our life at public sphere. Its, however, invisible but probably perceived. It's the teneth of the book as being reviewed onto viewing to the essence of law. The development of law recently places the legal norms by promulgating, expressed to a scratch symbols: written and formulated on paper. However, it's not a words on papers that is meant by a norms; the intrinsic one that we can grasp by reading it vice versa. In the academic field, some of us confused its paradigm and it research approach, and conversely adopted social science approach. It's biased. It's not to say that a social science method is wrong, rather it's wrong being adopted by jurist and legal scholars to solve legal issues. These are the message of the book. Although both of diciplines share the same object materia, called law, meanwhile object forma was distinguishes onto view and treat the former is. Regardless of the interesting stuff was oferred, the explanation leaves an open shore to put the critism. The book deserves to review because it is "one in a million" among a books sirculated in Indonesia that discussed on the same topics. It work papers purposely, firstly, to make esier to every single one who desire to read the book directly and, secondly, as a medium to convey a notes critically to the book as subjectively perspective.
Ada beberapa teori—atau tepatnya disebut hipotesis—yang menjelaskan tentang sebab musabab terjadi... more Ada beberapa teori—atau tepatnya disebut hipotesis—yang menjelaskan tentang sebab musabab terjadinya kemelaratan dan ketimpangan kemakmuran: teori geografi, teori kebudayaan, dan teori kebodohan. Buku yang diulas di sini menyuguhkan Teori Institusi. Terjadinya kemiskinan suatu bangsa disebabkan perbedaan terbentuknya institusi politik-ekonomi mereka, disebabkan satu dan lain faktor yang berbeda satu sama lain pada tempat yang berbeda. Penulis, dengan menyuguhkan fakta-fakta historis dari belahan dunia atau bangsa-bangsa, tujuannya mencoba membantah teori-teori yang telah disebutkan di awal tadi.
Buku ini adalah sepaket dengan buku Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen, dan Jalan Pembebasa... more Buku ini adalah sepaket dengan buku Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen, dan Jalan Pembebasan yang diterbitkan oleh penerbit Karaniya. Ditulis oleh Reza A. A Wattimena, berangkat dari perjalanan hidup pribadinya. Buku secara umum dapat kita bagi menjadi 2 pembahasan. Pertama memuat, sebagaimana sudah disinggung dalam buku pertama 1 , tentang hakikat Zen. Lainnya, membahas tentang Zen bergerak dalam praktik meditasi, yaitu Zazen dan Koan. Dalam bagian pertama ini secara keseluruhan, penulis buku secara tak langsung hendak memberikan gambaran praktik Zen, entah itu yang ada di Tiongkok, Jepang, dan Korea, menyoroti pula bagaimana Zen bercampur tradisi, yang sejatinya tak ada kaitan dengan esensi Zen yang menjadikannya bias terhadap makna sejatinya. Dalam subbagian terpisah memaparkan pantulan Zen terhadap seni: melukis, menata taman, seni bela diri. Kedua atau setengah dari halaman buku yang akhir membahas topik-topik yang tak memiliki keterkaitan langsung satu sama lain, tetapi masih berkaitan dengan segala hal tentang Zen seperti asal munculnya takut dan waswas, seni bersabar, kejernihan dan belas kasih, kebahagiaan; lainnya membahas tentang takut, cemas. Tak lupa tentang kehidupan modern dan ilmu pengetahuan modern dan cara melampauinya.
Zen adalah ajaran dalam Buddhisme. Ada 2 hal yang melatarbelakangi lahirnya Zen: Taoisme dan Maha... more Zen adalah ajaran dalam Buddhisme. Ada 2 hal yang melatarbelakangi lahirnya Zen: Taoisme dan Mahayana. Zen adalah filsafat sekaligus "laku" hidup.
Dalam kaitan filsafat. Tujuan filsafat adalah kebijaksanaan dengan pelibatan akalbudi, Zen berciri itu. Zen menggunakan akalbudi sebagaimana filsafat konvensional lakukan. Lebih dari itu, Zen menggunakan akalbudi untuk melampauinya dan menuju pada kebijaksanaan diri. Akalbudi adalah alat, bukan tujuan. Zen tidak berhenti pada teori, yang lahir dari abstraksi dan konsepsi yang dilakukan oleh pikiran, yang disebut pengetahuan. Lebih dari itu, ia sekaligus menyentuh praksis, laku hidup. Di sini Zen merupa diri sebagai ageman, 'agama'. Agama dapat dipahami sebagai pegangan hidup di tengah Alam Semesta dan menjalaninya dengan Kesadaran seksama. Zen dalam artian ini, tidak sama dengan bahwasanya Yang Di Luar Diri sudah menyediakan pranata moral. Zen mengajak menyelami siapa diri ke dalam inti diri.
ISENG UTAK-ATIK BOSO LIYO DI WAKTU LUANG by Agung Hidayat Mazkuri
Sebagai agama, Zen Buddhisme mendekatkan kita pada realitas kebumian hidup itu. Sebagai filsafat,... more Sebagai agama, Zen Buddhisme mendekatkan kita pada realitas kebumian hidup itu. Sebagai filsafat, Zen Buddhisme telah purna mengembangkan pemikirannya dalam menangkap apa realitas sejati yang-ada-ini, selesai mengurai benang-benang lembut rumit filsafat terkait subjek berkesadaran pertanyakan—dan tentu saja, agar bagaimana, dengan kesadarannya, mampu dan tenang di tengah kehidupan. Zen Buddhisme memberikan "palung tanpa dasar" bagi siapa saja subjek berkedasaran menjalani kehidupan ini. Melenyapkan diri dan menyatu ke dalamnya. Dalam tulisan pendahuluan ini, kita dipampangkan sejarah pendek Buddhisme, evolusinya dari asalnya hingga ke Cina dan Jepang, hingga memberi gambaran perkembangan yang seperti apa terjadi ketika itu telah berkembang di Cina dan Jepang.
Zen menyangkut segala hal tentang pikiran, dan karena di dalam pikiran kita bisa dijumpai banyak ... more Zen menyangkut segala hal tentang pikiran, dan karena di dalam pikiran kita bisa dijumpai banyak hal. Namun begitu, pikiran bukanlah hal yang harus dibagi-bagi menjadi banyak fakultas. Zen tidak meninggalkan apapun. Zen tidak mengajarkan kepada kita tentang analisis intelektual, tidak pula mengajarkan doktrin-doktrin yang dijejalkan ke pikiran para pengikutnya untuk diikuti. Karenanya, Zen akan terdengar cukup membingungkan jika anda tetap memilih untuk memperbincangkannya. Zen adalah tidak mempelajari apa-apa. Zen adalah pikiran kita sehari-hari. Zen adalah terbebasnya pikiran dari beban yang tidak wajar.
Zen beroposisi terhadap logika, baik secara formal atau informal. Bukan Zen bermaksud untuk terli... more Zen beroposisi terhadap logika, baik secara formal atau informal. Bukan Zen bermaksud untuk terlihat tidak logis, melainkan untuk mengajak orang-orang menyadari bahwa konsistensi logika itu bukan suatu yang bersifat final, dan bahwasanya ada suatu afirmasi transendental yang tidak dapat dijawab dengan cara berlogika secara konsisten. Alur berpikir intelektual “ya” dan “tidak” cukup akomodatif ketika menyangkut segala sesuatunya dipandang sebagai realitas dunia parsial. Begitu pertanyaan paling ultim mengenai hakikat kehidupan diajukan, logika intelektual gagal menjawab secara memuaskan. Karena jika kita mengatakan “ya”, kita telah membuat pernyataan dan penegasan, artinya kita membatasi diri kita sendiri. Jika kita mengatakan “tidak/bukan”, kita menyangkal, dan penyangkalan adalah mengecualikan. Menyangkal dan membatasi, bagaimanapun keduanya tidak ada bedanya, memadamkan sisi spiritual. Sebab, bukankah kehidupan spiritual itu dalam kebebasan sempurna dan menyatu sempurna dalam ketunggalan?
Sameer Akkach (diterjemahkan Agung Hidayat Mazkuri)
Dalam tradisi Islam, ada sejarah singkat terjadinya polarisasi pengertian tradisional ʿilm, 'peng... more Dalam tradisi Islam, ada sejarah singkat terjadinya polarisasi pengertian tradisional ʿilm, 'pengetahuan', bergeser menjadi ʿilm yang merujuk sains dan dīn, 'agama'. Munculnya konflik antara 'ilm dan dīn dapat ditelusuri kembali pada awal-awal dekade dalam abad ke-19; namun begitu, intensitas perdebatan terkait polarisasinya dimulai di kemudian waktu, di abad yang sama. Secara umum, lahirnya konflik dalam mengartikan 'ilm muncul setelah masuknya pengaruh ide-ide abad Pencerahan Eropa dan lahirnya karya "tesis konflik", JW Draper dan AD White, pada khususnya. Para akademisi Arab dan Ottoman menyambut gembira lahirnya karya Draper yang menyatakan bahwa Islam memelihara dan mengembangkan sains, berbeda dengan Kristen. Tesis Driper selalu dirujuk sebagai bukti keunggulan Islam atas Kristen, mereka mengacu tesis konflik itu sejauh untuk memperbandingkannya dengan Kristen dan menilai hal itu sebagai hasil dari praktik represif Gereja. Pada pertengahan abad ke-20, muncul adaptasi baru tesis konflik, dengan diketemukannya polarisasi sains secara tradisional menurut Islam dengan membedakannya ke dalam rasional (ʿaqlī) dan yang ditransmisikan (naqlī). Bab ini membahas terjadinya polarisasi ʿilm menjadi sains dan agama dalam dunia Islam yang terjadi pada abad ke-19, dengan maksud untuk menunjukkan, pertama, memang ada pergeseran pemaknaan dalam sumber-sumber klasik Islam, yaitu sebelum abad ke-19 yang mengklasifikasikan sains menjadi (i) yang berdasar akal dan (ii) yang ditransmisikan, dan, kedua, menelaahnya dalam cara yang berbeda, dengan mengambil titik anjak cara pandang Arab-Islam. Dapat dikatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkait munculnya polarisasi dalam Islam, utamanya bukan behubungan dengan perkembangan kesejarahannya dan bukan dimaksudkan untuk menghilangkan panduan moral dari lembaga-lembaga "saintifik"-nya, melainkan disebabkan pendekatan Islam terhadap sains yang skizofrenik ketika dihadapkan pada modernitas dan pondasi humanistiknya.
Tayfun Kasapoglu (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
ABASTRAK: Masyarakat kontemporer cenderung memiliki lanskap keagamaan yang lebih heterogen, pemer... more ABASTRAK: Masyarakat kontemporer cenderung memiliki lanskap keagamaan yang lebih heterogen, pemerintah akan kesulitan mengakomodasi perbedaan agama ini, ada pelbagai pandangan keagamaan dan nonkeagamaan dalam ranah politik. Dengan menggunakan wawancara semi-terstruktur terhadap 12 ateis yang mengidentifikasi dirinya sendiri yang dari berbagai latar belakang di Turki, makalah ini mengeksplorasi sikap para ateis terhadap persimpangan agama dan politik di Turki kontemporer. Dalam tulisan ini, konsep hegemoni Antonio Gramsci digunakan untuk menganalisis posisi hegemonik Islam dalam ranah politik di dalam masyarakat Turki kontemporer. Ketimbang menggunakan dikotomi kelas dalam pendekatan Marxis yang secara rigid membagi masyarakat ke dalam yang berkuasa dan yang dikuasai, penulis akan mempergunakan pendekatan Bourdieu di mana masyarakat dianggap terdiri dari banyak "bidang/field", termasuk agama dan kelompok-kelompok yang berusaha untuk mendapatkan lebih banyak kekuatan dalam field ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ateis menganggap agama dan politik memiliki kaitan erat, karena politik dianggap sangat dipengaruhi oleh agama. Hubungan erat antara politik dan agama kemudian dapat diamati sebagai pengarahan pada peningkatan religiusitas dalam masyarakat, serta peningkatan tekanan pada ateis, baik yang dilakukan oleh negara atau masyarakat.
Sidney Jones (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Nicky Jones (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Salah satu contoh paling menarik dalam beberapa tahun terakhir ini adalah ketegangan antara nilai... more Salah satu contoh paling menarik dalam beberapa tahun terakhir ini adalah ketegangan antara nilai-nilai berbasis sekular dan keagamaan yang terjadi di Perancis yang sering disebut 'skandal jilbab'. Awal munculnya skandal sendiri bisa ditelusuri ke belakang di tahun 1989, yang kemudian diikuti beberapa kasus serupa selama dekade 1990-an. Skandal dimulai ketika sekolah umum di utara Perancis, mengeluarkan tiga siswi muslim karena menolak untuk menanggalkan jilbabnya yang mereka kenakan ketika mengikuti jam sekolah. Kasus pengusiran siswi ini diliput secara luas oleh media di Perancis maupun internasional dan kemudian juga diikuti kasus tindakan pengusiran beberapa siswi Muslim dari berbagai sekolah baik sekolah di kota kecil maupun di kota besar di seluruh Perancis, bersamaan juga dengan maraknya protes di kalangan masyarakat. Skandal sendiri dinilai sangat kontroversial karena beberapa alasan. Satu hal yang pasti, skandal seputar penutup kepala ini, item busana yang secara historis memiliki akar kuat—dan kadang-kadang berbenturan dengan politik— keagamaan, budaya dan adanya konotasi sosial.
Abad ke-21 merupakan saksi terjadinya perubahan demografis yang cukup menarik perhatian dalam kai... more Abad ke-21 merupakan saksi terjadinya perubahan demografis yang cukup menarik perhatian dalam kaitan struktur pemeluk agama di Meksiko dan Amerika Tengah. Secara bertahap, terjadi transformasi komposisi pemeluk agama di negara-negara tersebut, terjadi bersamaan dengan peningkatan elastisitas identitas keagamaan, yang telah menghadirkan dinamika budaya di mana identitas keagamaan menjadi lebih longgar dan setiap individu menemukan cara baru dalam mengekspresikan keyakinannya. Meningkatnya pemeluk Islam di wilayah tersebut merupakan penanda, dan sumbangan terhadap, sosial kemasyarakatan yang berubah. Catatan paling awal terkait kehadiran Muslim di Amerika Tengah diperkirakan berasal dari kedatangan orang suku Mandinka, atau Malinke, dari Afrika ke Panama pada 1552 (Westerlund dan Svanberg, 1999). Lima abad berikutnya membawa kita kepada situasi kontemporer di mana orang Amerika Latin ada yang memilih untuk mengadopsi Islam sebagai agamanya.
PERBURUHAN by Agung Hidayat Mazkuri
Verity Burgmann (diterjemahkan Agung Hidayat Mazkuri)
Dalam sejarah, angka ketimpangan kekayaan sekarang hampir melampaui angka tertingginya yang perna... more Dalam sejarah, angka ketimpangan kekayaan sekarang hampir melampaui angka tertingginya yang pernah terjadi di Eropa pada 1900–1910. Bilamana rate of return modal selalu melebihi growth rate seperti yang sudah dan sekarang sedang terjadi, “kapitalisme otomatis menghasilkan ketidaksetaraan dengan lalim dan melanggengkan ketidaksetaraan yang secara ekstrim merusak nilai-nilai meritokrasi yang menjadi dasar masyarakat demokratis”. Tidak ada proses alami dan tiba-tiba guna mencegah destabilisasi, ketimpangan kekuasaan melanggengkan yang terjadi, namun hal itu menegaskan pula bahwa demokrasi dapat merebut kontrolnya kembali dari kapitalisme dan memastikan bahwa kepentingan umum didahulukan ketimbang kepentingan pribadi.
Peluang seperti itu telah terbukti, menurut Piketty, karena adanya waktu jeda yang relatif egaliter rentang 1914–1970 yang dimanfaatkan untuk pengenaan pajak tinggi dan sangat progresif bagi pendapatan dan warisan, keuntungan dan kekayaan, dividen, dan suku bunga. Namun, sejak akhir 1970-an, iklim ideologis berubah arah di bawah pengaruh globalisasi dan meningkatnya persaingan antarnegara untuk mendapatkan modal. Hasilnya adalah kompetisi tanpa ujung untuk menyentuh sampai dasar yang mengarah pada pemotongan pajak dan pembebasan suku bunga, dividen, dan pendapatan dari sektor keuangan lainnya dari pengenaan pajak yang mana justru sumber pendapatan buruh menjadi subjek pajak. Ketimbang melindungi kepentingan umum, pemerintah justru mengizinkan “dinamika akumulasi kekayaan global dan distribusinya yang dicirikan oleh trajektori yang eksplosif yang tak terkendali yang mengorbit pada egaliter”. Penerapan pajak progresif “secara efektif menghambat dinamika semacam itu”.
Verity Burgmann (diterjemahkan Agung Hidayat Mazkuri)
Buku ini berisi tentang pemikiran tokoh filsafat. Membaca buku filsafat laku hidup atau eksistens... more Buku ini berisi tentang pemikiran tokoh filsafat. Membaca buku filsafat laku hidup atau eksistensialisme adalah mengenal pergulatan si tokoh, pikiran, dan perasaan dengan dunianya.
Dalam buku ini ada beberapa tema didedah penulis: Kierkegaard dan perjalanan kehidupannya, corak filsafat Hegel dan penyanggahan Kierkegaard, kebenaran akan hakikat atau esensi atau makna sebagai subjektitivas, otentisitas diri, dan relasi terhadap yang transenden. Pada akhirnya adalah menjadi pribadi otentik. Topik-topik yang sekiranya mencirikan corak eksistensialisme Kierkegaard.
Sejarah adalah manusia dengan segala dinamikanya. Ketika masyarakat Arab di Surabaya rentang 1900... more Sejarah adalah manusia dengan segala dinamikanya. Ketika masyarakat Arab di Surabaya rentang 1900-1942, yang menjadi objek dalam penelitian buku ini, dihadapkan pada perubahan sosiokultur dan ekonomi Surabaya di era Hindia Belanda, merekapun, mau tidak mau, harus berubah. Sebagai komunitas yang datang dan mendiami Surabaya.
Buku ini, yang diangkat dan disunting dari naskah disertasi, memberi kita informasi bagaimana masyarakat non-pribumi, Arab, datang ke Indonesia dan khususnya Surabaya. Buku juga memberi gambaran bahwa dinamika orang pendatang Arab yang kebanyakannya dari daerah Yaman, di Surabaya menyangkut konflik internalnya karena keniscayaan untuk beradaptasi dengan sosiokultur dan sosiopolitik mau tidak mau ubtuk membaur dan tidak eksklusif, relasi ekonominya dengan khususnya pribumi, dan puncaknya kesadaran akan kebangsaannya, nasionalisme Indonesia.
Jurisprudence ontologically is a knowledges whose the object is a norms, a set of values that cov... more Jurisprudence ontologically is a knowledges whose the object is a norms, a set of values that covered our life at public sphere. Its, however, invisible but probably perceived. It's the teneth of the book as being reviewed onto viewing to the essence of law. The development of law recently places the legal norms by promulgating, expressed to a scratch symbols: written and formulated on paper. However, it's not a words on papers that is meant by a norms; the intrinsic one that we can grasp by reading it vice versa. In the academic field, some of us confused its paradigm and it research approach, and conversely adopted social science approach. It's biased. It's not to say that a social science method is wrong, rather it's wrong being adopted by jurist and legal scholars to solve legal issues. These are the message of the book. Although both of diciplines share the same object materia, called law, meanwhile object forma was distinguishes onto view and treat the former is. Regardless of the interesting stuff was oferred, the explanation leaves an open shore to put the critism. The book deserves to review because it is "one in a million" among a books sirculated in Indonesia that discussed on the same topics. It work papers purposely, firstly, to make esier to every single one who desire to read the book directly and, secondly, as a medium to convey a notes critically to the book as subjectively perspective.
Ada beberapa teori—atau tepatnya disebut hipotesis—yang menjelaskan tentang sebab musabab terjadi... more Ada beberapa teori—atau tepatnya disebut hipotesis—yang menjelaskan tentang sebab musabab terjadinya kemelaratan dan ketimpangan kemakmuran: teori geografi, teori kebudayaan, dan teori kebodohan. Buku yang diulas di sini menyuguhkan Teori Institusi. Terjadinya kemiskinan suatu bangsa disebabkan perbedaan terbentuknya institusi politik-ekonomi mereka, disebabkan satu dan lain faktor yang berbeda satu sama lain pada tempat yang berbeda. Penulis, dengan menyuguhkan fakta-fakta historis dari belahan dunia atau bangsa-bangsa, tujuannya mencoba membantah teori-teori yang telah disebutkan di awal tadi.
Buku ini adalah sepaket dengan buku Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen, dan Jalan Pembebasa... more Buku ini adalah sepaket dengan buku Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen, dan Jalan Pembebasan yang diterbitkan oleh penerbit Karaniya. Ditulis oleh Reza A. A Wattimena, berangkat dari perjalanan hidup pribadinya. Buku secara umum dapat kita bagi menjadi 2 pembahasan. Pertama memuat, sebagaimana sudah disinggung dalam buku pertama 1 , tentang hakikat Zen. Lainnya, membahas tentang Zen bergerak dalam praktik meditasi, yaitu Zazen dan Koan. Dalam bagian pertama ini secara keseluruhan, penulis buku secara tak langsung hendak memberikan gambaran praktik Zen, entah itu yang ada di Tiongkok, Jepang, dan Korea, menyoroti pula bagaimana Zen bercampur tradisi, yang sejatinya tak ada kaitan dengan esensi Zen yang menjadikannya bias terhadap makna sejatinya. Dalam subbagian terpisah memaparkan pantulan Zen terhadap seni: melukis, menata taman, seni bela diri. Kedua atau setengah dari halaman buku yang akhir membahas topik-topik yang tak memiliki keterkaitan langsung satu sama lain, tetapi masih berkaitan dengan segala hal tentang Zen seperti asal munculnya takut dan waswas, seni bersabar, kejernihan dan belas kasih, kebahagiaan; lainnya membahas tentang takut, cemas. Tak lupa tentang kehidupan modern dan ilmu pengetahuan modern dan cara melampauinya.
Zen adalah ajaran dalam Buddhisme. Ada 2 hal yang melatarbelakangi lahirnya Zen: Taoisme dan Maha... more Zen adalah ajaran dalam Buddhisme. Ada 2 hal yang melatarbelakangi lahirnya Zen: Taoisme dan Mahayana. Zen adalah filsafat sekaligus "laku" hidup.
Dalam kaitan filsafat. Tujuan filsafat adalah kebijaksanaan dengan pelibatan akalbudi, Zen berciri itu. Zen menggunakan akalbudi sebagaimana filsafat konvensional lakukan. Lebih dari itu, Zen menggunakan akalbudi untuk melampauinya dan menuju pada kebijaksanaan diri. Akalbudi adalah alat, bukan tujuan. Zen tidak berhenti pada teori, yang lahir dari abstraksi dan konsepsi yang dilakukan oleh pikiran, yang disebut pengetahuan. Lebih dari itu, ia sekaligus menyentuh praksis, laku hidup. Di sini Zen merupa diri sebagai ageman, 'agama'. Agama dapat dipahami sebagai pegangan hidup di tengah Alam Semesta dan menjalaninya dengan Kesadaran seksama. Zen dalam artian ini, tidak sama dengan bahwasanya Yang Di Luar Diri sudah menyediakan pranata moral. Zen mengajak menyelami siapa diri ke dalam inti diri.
Sebagai agama, Zen Buddhisme mendekatkan kita pada realitas kebumian hidup itu. Sebagai filsafat,... more Sebagai agama, Zen Buddhisme mendekatkan kita pada realitas kebumian hidup itu. Sebagai filsafat, Zen Buddhisme telah purna mengembangkan pemikirannya dalam menangkap apa realitas sejati yang-ada-ini, selesai mengurai benang-benang lembut rumit filsafat terkait subjek berkesadaran pertanyakan—dan tentu saja, agar bagaimana, dengan kesadarannya, mampu dan tenang di tengah kehidupan. Zen Buddhisme memberikan "palung tanpa dasar" bagi siapa saja subjek berkedasaran menjalani kehidupan ini. Melenyapkan diri dan menyatu ke dalamnya. Dalam tulisan pendahuluan ini, kita dipampangkan sejarah pendek Buddhisme, evolusinya dari asalnya hingga ke Cina dan Jepang, hingga memberi gambaran perkembangan yang seperti apa terjadi ketika itu telah berkembang di Cina dan Jepang.
Zen menyangkut segala hal tentang pikiran, dan karena di dalam pikiran kita bisa dijumpai banyak ... more Zen menyangkut segala hal tentang pikiran, dan karena di dalam pikiran kita bisa dijumpai banyak hal. Namun begitu, pikiran bukanlah hal yang harus dibagi-bagi menjadi banyak fakultas. Zen tidak meninggalkan apapun. Zen tidak mengajarkan kepada kita tentang analisis intelektual, tidak pula mengajarkan doktrin-doktrin yang dijejalkan ke pikiran para pengikutnya untuk diikuti. Karenanya, Zen akan terdengar cukup membingungkan jika anda tetap memilih untuk memperbincangkannya. Zen adalah tidak mempelajari apa-apa. Zen adalah pikiran kita sehari-hari. Zen adalah terbebasnya pikiran dari beban yang tidak wajar.
Zen beroposisi terhadap logika, baik secara formal atau informal. Bukan Zen bermaksud untuk terli... more Zen beroposisi terhadap logika, baik secara formal atau informal. Bukan Zen bermaksud untuk terlihat tidak logis, melainkan untuk mengajak orang-orang menyadari bahwa konsistensi logika itu bukan suatu yang bersifat final, dan bahwasanya ada suatu afirmasi transendental yang tidak dapat dijawab dengan cara berlogika secara konsisten. Alur berpikir intelektual “ya” dan “tidak” cukup akomodatif ketika menyangkut segala sesuatunya dipandang sebagai realitas dunia parsial. Begitu pertanyaan paling ultim mengenai hakikat kehidupan diajukan, logika intelektual gagal menjawab secara memuaskan. Karena jika kita mengatakan “ya”, kita telah membuat pernyataan dan penegasan, artinya kita membatasi diri kita sendiri. Jika kita mengatakan “tidak/bukan”, kita menyangkal, dan penyangkalan adalah mengecualikan. Menyangkal dan membatasi, bagaimanapun keduanya tidak ada bedanya, memadamkan sisi spiritual. Sebab, bukankah kehidupan spiritual itu dalam kebebasan sempurna dan menyatu sempurna dalam ketunggalan?
Sameer Akkach (diterjemahkan Agung Hidayat Mazkuri)
Dalam tradisi Islam, ada sejarah singkat terjadinya polarisasi pengertian tradisional ʿilm, 'peng... more Dalam tradisi Islam, ada sejarah singkat terjadinya polarisasi pengertian tradisional ʿilm, 'pengetahuan', bergeser menjadi ʿilm yang merujuk sains dan dīn, 'agama'. Munculnya konflik antara 'ilm dan dīn dapat ditelusuri kembali pada awal-awal dekade dalam abad ke-19; namun begitu, intensitas perdebatan terkait polarisasinya dimulai di kemudian waktu, di abad yang sama. Secara umum, lahirnya konflik dalam mengartikan 'ilm muncul setelah masuknya pengaruh ide-ide abad Pencerahan Eropa dan lahirnya karya "tesis konflik", JW Draper dan AD White, pada khususnya. Para akademisi Arab dan Ottoman menyambut gembira lahirnya karya Draper yang menyatakan bahwa Islam memelihara dan mengembangkan sains, berbeda dengan Kristen. Tesis Driper selalu dirujuk sebagai bukti keunggulan Islam atas Kristen, mereka mengacu tesis konflik itu sejauh untuk memperbandingkannya dengan Kristen dan menilai hal itu sebagai hasil dari praktik represif Gereja. Pada pertengahan abad ke-20, muncul adaptasi baru tesis konflik, dengan diketemukannya polarisasi sains secara tradisional menurut Islam dengan membedakannya ke dalam rasional (ʿaqlī) dan yang ditransmisikan (naqlī). Bab ini membahas terjadinya polarisasi ʿilm menjadi sains dan agama dalam dunia Islam yang terjadi pada abad ke-19, dengan maksud untuk menunjukkan, pertama, memang ada pergeseran pemaknaan dalam sumber-sumber klasik Islam, yaitu sebelum abad ke-19 yang mengklasifikasikan sains menjadi (i) yang berdasar akal dan (ii) yang ditransmisikan, dan, kedua, menelaahnya dalam cara yang berbeda, dengan mengambil titik anjak cara pandang Arab-Islam. Dapat dikatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkait munculnya polarisasi dalam Islam, utamanya bukan behubungan dengan perkembangan kesejarahannya dan bukan dimaksudkan untuk menghilangkan panduan moral dari lembaga-lembaga "saintifik"-nya, melainkan disebabkan pendekatan Islam terhadap sains yang skizofrenik ketika dihadapkan pada modernitas dan pondasi humanistiknya.
Tayfun Kasapoglu (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
ABASTRAK: Masyarakat kontemporer cenderung memiliki lanskap keagamaan yang lebih heterogen, pemer... more ABASTRAK: Masyarakat kontemporer cenderung memiliki lanskap keagamaan yang lebih heterogen, pemerintah akan kesulitan mengakomodasi perbedaan agama ini, ada pelbagai pandangan keagamaan dan nonkeagamaan dalam ranah politik. Dengan menggunakan wawancara semi-terstruktur terhadap 12 ateis yang mengidentifikasi dirinya sendiri yang dari berbagai latar belakang di Turki, makalah ini mengeksplorasi sikap para ateis terhadap persimpangan agama dan politik di Turki kontemporer. Dalam tulisan ini, konsep hegemoni Antonio Gramsci digunakan untuk menganalisis posisi hegemonik Islam dalam ranah politik di dalam masyarakat Turki kontemporer. Ketimbang menggunakan dikotomi kelas dalam pendekatan Marxis yang secara rigid membagi masyarakat ke dalam yang berkuasa dan yang dikuasai, penulis akan mempergunakan pendekatan Bourdieu di mana masyarakat dianggap terdiri dari banyak "bidang/field", termasuk agama dan kelompok-kelompok yang berusaha untuk mendapatkan lebih banyak kekuatan dalam field ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ateis menganggap agama dan politik memiliki kaitan erat, karena politik dianggap sangat dipengaruhi oleh agama. Hubungan erat antara politik dan agama kemudian dapat diamati sebagai pengarahan pada peningkatan religiusitas dalam masyarakat, serta peningkatan tekanan pada ateis, baik yang dilakukan oleh negara atau masyarakat.
Sidney Jones (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Nicky Jones (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Salah satu contoh paling menarik dalam beberapa tahun terakhir ini adalah ketegangan antara nilai... more Salah satu contoh paling menarik dalam beberapa tahun terakhir ini adalah ketegangan antara nilai-nilai berbasis sekular dan keagamaan yang terjadi di Perancis yang sering disebut 'skandal jilbab'. Awal munculnya skandal sendiri bisa ditelusuri ke belakang di tahun 1989, yang kemudian diikuti beberapa kasus serupa selama dekade 1990-an. Skandal dimulai ketika sekolah umum di utara Perancis, mengeluarkan tiga siswi muslim karena menolak untuk menanggalkan jilbabnya yang mereka kenakan ketika mengikuti jam sekolah. Kasus pengusiran siswi ini diliput secara luas oleh media di Perancis maupun internasional dan kemudian juga diikuti kasus tindakan pengusiran beberapa siswi Muslim dari berbagai sekolah baik sekolah di kota kecil maupun di kota besar di seluruh Perancis, bersamaan juga dengan maraknya protes di kalangan masyarakat. Skandal sendiri dinilai sangat kontroversial karena beberapa alasan. Satu hal yang pasti, skandal seputar penutup kepala ini, item busana yang secara historis memiliki akar kuat—dan kadang-kadang berbenturan dengan politik— keagamaan, budaya dan adanya konotasi sosial.
Abad ke-21 merupakan saksi terjadinya perubahan demografis yang cukup menarik perhatian dalam kai... more Abad ke-21 merupakan saksi terjadinya perubahan demografis yang cukup menarik perhatian dalam kaitan struktur pemeluk agama di Meksiko dan Amerika Tengah. Secara bertahap, terjadi transformasi komposisi pemeluk agama di negara-negara tersebut, terjadi bersamaan dengan peningkatan elastisitas identitas keagamaan, yang telah menghadirkan dinamika budaya di mana identitas keagamaan menjadi lebih longgar dan setiap individu menemukan cara baru dalam mengekspresikan keyakinannya. Meningkatnya pemeluk Islam di wilayah tersebut merupakan penanda, dan sumbangan terhadap, sosial kemasyarakatan yang berubah. Catatan paling awal terkait kehadiran Muslim di Amerika Tengah diperkirakan berasal dari kedatangan orang suku Mandinka, atau Malinke, dari Afrika ke Panama pada 1552 (Westerlund dan Svanberg, 1999). Lima abad berikutnya membawa kita kepada situasi kontemporer di mana orang Amerika Latin ada yang memilih untuk mengadopsi Islam sebagai agamanya.
Verity Burgmann (diterjemahkan Agung Hidayat Mazkuri)
Dalam sejarah, angka ketimpangan kekayaan sekarang hampir melampaui angka tertingginya yang perna... more Dalam sejarah, angka ketimpangan kekayaan sekarang hampir melampaui angka tertingginya yang pernah terjadi di Eropa pada 1900–1910. Bilamana rate of return modal selalu melebihi growth rate seperti yang sudah dan sekarang sedang terjadi, “kapitalisme otomatis menghasilkan ketidaksetaraan dengan lalim dan melanggengkan ketidaksetaraan yang secara ekstrim merusak nilai-nilai meritokrasi yang menjadi dasar masyarakat demokratis”. Tidak ada proses alami dan tiba-tiba guna mencegah destabilisasi, ketimpangan kekuasaan melanggengkan yang terjadi, namun hal itu menegaskan pula bahwa demokrasi dapat merebut kontrolnya kembali dari kapitalisme dan memastikan bahwa kepentingan umum didahulukan ketimbang kepentingan pribadi.
Peluang seperti itu telah terbukti, menurut Piketty, karena adanya waktu jeda yang relatif egaliter rentang 1914–1970 yang dimanfaatkan untuk pengenaan pajak tinggi dan sangat progresif bagi pendapatan dan warisan, keuntungan dan kekayaan, dividen, dan suku bunga. Namun, sejak akhir 1970-an, iklim ideologis berubah arah di bawah pengaruh globalisasi dan meningkatnya persaingan antarnegara untuk mendapatkan modal. Hasilnya adalah kompetisi tanpa ujung untuk menyentuh sampai dasar yang mengarah pada pemotongan pajak dan pembebasan suku bunga, dividen, dan pendapatan dari sektor keuangan lainnya dari pengenaan pajak yang mana justru sumber pendapatan buruh menjadi subjek pajak. Ketimbang melindungi kepentingan umum, pemerintah justru mengizinkan “dinamika akumulasi kekayaan global dan distribusinya yang dicirikan oleh trajektori yang eksplosif yang tak terkendali yang mengorbit pada egaliter”. Penerapan pajak progresif “secara efektif menghambat dinamika semacam itu”.
Verity Burgmann (diterjemahkan Agung Hidayat Mazkuri)
Verity Burgmann (diterjemahkan Agung Hidayat Mazkuri)
Liberalisme pasar telah bergeser dari pondasi kunonya menuju apa yang sekarang kita sebut globali... more Liberalisme pasar telah bergeser dari pondasi kunonya menuju apa yang sekarang kita sebut globalisasi ekonomi. Di bawah cengkeraman model ekonomi baru ini, modal swasta kelompok korporat multinasional mengangkangi negara dalam urusan ekonomi. Beberapa partai berhaluan sosdem ataupun dengan tradisi kiri di beberapa negara pun tak mampu menolak dan melawan arus modal yang kuat ini dan menyerang aset-aset publik untuk "diswastanisasi", padahal tren seperti ini sendiri justru tidak termasuk sebagai apa yang disebut watak alamiah pasar oleh kapitalisme kuno.
Peristiwa swastanisasi Irish Water di Irlandia yang partai berkuasanya adalah Partai Buruh, swastanisasi jaringan kereta api di Inggris yang dilakukan oleh Partai Buruh Inggris era PM Cameron adalah beberapa contoh mulai impotensinya Partai Buruh dalam menangkal, atau paling tidak meredam dan memperlambat, neoliberalisme yang mengakar urat seperti tumor menggerogoti tubuh. Setali tiga uang, partai-partai berhaluan sosdem yang, seperti disebut artikel, dahulu menjadi pengoreksi dari adanya kontradiksi pasar.
Modal terakumulasi korporat multinasional dengan mudah dipindah, seperti semudah memindah cangkang siput, dari pemerintah suatu negara yang "sok pahlawan" tidak nurut modal transnasional berpindah ke wilayah-wilayah upah murah, apalagi yang surplus angkatan kerja. Pun begitu, di beberapa belahan dunia sono masih ada harapan bagi kekang, meski tak sekuat rantai, terhadap jumawanya modal transnasional mendikte negara dan hak asasi: serikat buruh independen yang terus saja istiqomah menyadarkan masyarakat akan dampaknya bagi hidup mereka dan mengajak bersama menyeru semua melawan modal transnasional.
Manusia adalah mahluk eksistensial dan mahluk monodualisme sekaligus. Oleh karena itu, secara nal... more Manusia adalah mahluk eksistensial dan mahluk monodualisme sekaligus. Oleh karena itu, secara naluri memiliki kepentingan-kepentingan yang ingin selalu dipertahankan dan dibela mana kala ada pihak-pihak lain yang dirasa atau dianggap merugikan eksistensinya. Eksistensi tersebut pada dasarnya adalah kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh orang-perorang. Menurut Sudikno Mertokusumo, kepentingan-kepentingan itu bisa dipahami sebagai "hak". 1 Hak merupakan objek yang dilindungi oleh hukum dari tindak pidana. Objek tindak pidana, setidak-tidaknya dapat dibedakan dalam dua macam objek. Pertama, objek-objek mengenai subjek hukum (orang dan badan hukum). Kedua, objek-objek mengenai objek hukum (benda-benda dan hak). 2 Pada dasarnya di dalam objek inilah terkandung kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh tindak pidana yang bersangkutan. 3 Berkaitan yang pertama, yaitu tindak pidana yang mana objeknya adalah orang (subjek hukum) juga dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu keamanan serta keselamatan fisik, dan harga diri (eergevoel, perasaan terhormat) si subjek hukum. Objek hukum tindak pidana pencemaran 1
Agung Hidayat Mazkuri
ABSTRAK Bank adalah lembaga intermediasi sekaligus lembaga yang berorientasi profit. Intermedi... more ABSTRAK
Bank adalah lembaga intermediasi sekaligus lembaga yang berorientasi profit. Intermediasi berarti bank merupakan sokoguru dari perekonomian nasional. Lembaga profit berarti orientasi bank secara faktual adalah mendapat untung. Keberadaan bank ini, seperti telah disebutkan, menempatkan Bank diatur oleh regulasi khusus dan diawasi oleh otoritas khusus.
Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penangguhan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa locus standi pemohon adalah Bank Indonesia dalam hal debitur adalah Bank, tidak yang lain, meskipun selaku debitor dalam kepailitan bank, umumnya, adalah nasabah deposan. Dalam praktiknya, Bank Indonesia tidak pernah sekalipun memilih jalur litigasi sebagaimana telah diatur oleh Undang-Undang No. 34/2007. Vice versa, Bank Indonesia dalam regulasi perbankan sekarang tidak lagi mengawasi ranah mikroprudensial, melainkan Otoritas Jasa Keuangan. Pencabutan izin usaha bank berada pada lembaga ini dan menyerahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan untuk melikuidasi Bank Gagal agar tidak merugikan nasabah lebih jauh. Dasar hukum bagi otoritas perbankan mangambil tindakan Likuidasi ini telah diatur oleh undang-undang perbankan dan peraturan turunannya.
Penelitian ini bertujuan menganalisis kedudukan hukum Nasabah Penyimpan terhadap pemailitan Bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 34/2007 dan perlindungannya. Pendekatan dalam menjawab isu hukum adalah pendekatan perundang-undangan dan konseptual.
Konklusinya, menemukan bahwa perlindungan Deposan dilayani oleh mekanisme likuidasi dan peraturan perbankan adalah lex specialis terhadap UU No. 37/2004 yang merupakan lex generalis. Lebih jauh, Bank Indonesia mustahil menempuh kepailitan, sebab BI tidak mungkin merusak sistem ekonomi nasional demi kepentingan kreditur semata. Meski begitu, hukum perbankan dan lembaga otoritasnya telah menyediakan perlindungan hukum bagi nasabah deposan dan bilamana nasabah deposan merasa dirugikan, maka dapat menggugat ke pengadilan Negeri.
ABSTRACT
Bank is an intermediary institution at the same time as a profit-oriented. Intermediation means the banks is pole of the national economy, stated by Article 3 and 4 of the Act of Banking. A profit institution means the bank’s oriented is factually profitable, concluded from the statement of Article 1 number 5. It’s fact, as mentioned, places the banks regulate by special regulations.
Article 2 paragraph (3) of Act Number 37/2004 ruled that the locus standi of applicant’s to Commercial Court is on Bank Indonesia as far as the Debtor is Bank, no one else, althought the depositors in the banking contract categorized as a creditors. In practice, Bank Indonesia has never even chosen a litigation path regulated by Act Number 34/2007. Vice versa, Bank Indonesia recently has no longer oversees microprudential areas, but Otoritas Jasa Keuangan. The authority to revoke the busines licenseof bank is on its institution and submit to the Lembaga Penjamin Simpanan to liquidate the bank so as not to harm the depositors more deeply. Legal basis of authorities of banking to take a Liquidation ruled by the Banking Act and its derivative regulations.
The study aims to analyze the legal position of the Depositor to the failure of Bank as regulated by Act No. 34/2007 and its legal protection. The approach in responding to the legal issues is statuary approach and conceptual.
As the conclusion found that protection of Depositors was served by liquidation mechanism and regulations of banking is lex specialis against the Act Number 37/2004 is lex generalis. Moreover, It is impossible for Bank Indonesia tochose bankruptcy canal bankruptcy law to ruin national economic system just to serve an interest of creditors itself. Even so, banking law and its authority institutions have provided legal protection for depositors and if the depositors disadvantaged, they can sue to District Court.
Agung Hidayat Mazkuri
Bank adalah lembaga intermediasi sekaligus lembaga yang berorientasi profit. Intermediasi berarti... more Bank adalah lembaga intermediasi sekaligus lembaga yang berorientasi profit. Intermediasi berarti bank merupakan sokoguru dari perekonomian nasional. Lembaga profit berarti orientasi bank secara faktual adalah mencari keuntungan. Hal tadi menempatkan Bank diatur oleh regulasi dan diawasi oleh otoritas khusus.
Pasal 2 ayat (3) UU No. 37/2004 mengatur bahwa locus standi pemohon ada pada Bank Indonesia, tidak yang lain, dalam hal kreditur adalah Bank. Dalam praktiknya, Bank Indonesia tidak pernah sekalipun memilih jalur litigasi sebagaimana telah diatur oleh Undang-Undang No. 34/2007. Vice versa, Bank Indonesia memilih likuidasi. Lebih jauh, Bank Indonesia dalam regulasi-regulasi perbankan sekarang tidak lagi mengawasi ranah mikroprudensial, melainkan Otoritas Jasa Keuangan.
Penelitian ini bertujuan menganalisis kedudukan hukum Nasabah Penyimpan terhadap Bank pailit dan perlindungannya dan bagaimana memahami aturan kepailitan dengan mengingat regulasi perbankan secara mestinya.
Pendekatan dalam menjawab isu hukum adalah pendekatan perundang-undangan dan konseptual.
Simpulan, sebagai hasil penelitian, mendapati bahwa perlindungan Nasabah Penyimpan telah disediakan oleh mekanisme likuidasi dan regulasi perbankan adalah lex specialis terhadap UU No. 37/2004 tentang KPKPU yang merupakan lex generalis. Selain itu, Bank Indonesia tidak mungkin memilih kanal hukum kepailitan untuk merusak sistem ekonomi nasional sekedar untuk melayani kepentingan kreditor itu sendiri. Meski begitu, regulasi-regulasi perbankan dan lembaga-lembaga otoritasnya telah memberikan perlindungan hukum bagi para deposan dan jika merasa dirugikan, mereka dapat mengajukan Gugatan ke Pengadilan Negeri
Rebecca Giblin & Kimberlee Weatherall (diterjemahkan Agung Hidayat Mazkuri)
Bagaimana jika kita memulai tulisan ini dengan mengosongkan pikiran kita dari keterikatan konsep ... more Bagaimana jika kita memulai tulisan ini dengan mengosongkan pikiran kita dari keterikatan konsep quo hak cipta dan kira-kira seperti apa jika kita menata ulang konsep yang telah ada? Bagaimana jika kita menghapus seluruh struktur mapan konsep hak cipta yang telah ada dan merancang ulang peraturan guna mendorong kreativitas, untuk memberi nilai manfaat dari ciptaan kreatif bagi Pencipta dan menciptakan dukungan terhadapnya, dan merangsang peningkatan daya beli masyarakat dengan maksud untuk memastikan adanya akses yang luas terhadap pengetahuan dan akses terhadap ciptaan kreatif baru. Intinya, bagaimana jika kita bisa merumuskan peraturan hak cipta yang baru yang benar-benar dapat memajukan kepentingan publik, kira-kira seperti apa bentuknya? Apakah kita harus memilih untuk melakukan revisi konsep hak cipta secara radikal? Atau, akankah kita mempertahankan konsep fundamental hak cipta yang ada saat ini? Kira-kira bagian mana dari sistem hak cipta sekarang yang harus kita hilangkan? Bagian mana yang harus dipertahankan?
Tidak jarang, para pengkritik hak cipta saat ini menyesalkan penerapan sistem tunggal mengingat dan melihat bahwa kondisi capaian teknologi dan ekonomi masing-masing masyarakat sangatlah berbeda. Di samping itu, hukum hak cipta ditegakkan di atas fondasi yang telah lapuk disebabkan oleh capaian teknologi,ekonomi, dan sosial. Banyak yang telah berubah beberapa dekade ini sejak konsep dasar hak cipta justru telah paripurna. Mungkin faktor yang paling mendasar adalahmunculnya teknologi digital yang telah menekan biaya distribusi berbagai jenis temuan budaya dan informasi menuju pada "zero cost" yang, setidaknya dalam beberapa hal dan bagi sebagian orang, telah menciptakan kemudahan untuk mendapatkannya. Namun hak dan kewajiban dalam hukum hak cipta, realitas politik, dan kepentingan ekonomi serta motif bisnis hak cipta dewasa ini, semuanya saling berkelindan dan digunakan sebagai alasan pembenar status quo hak cipta. Sebagian besar diskusi buku ini tentang peluang adanya penataan ulang sistem hak cipta yang merupakan kebutuhan pragmatis dengan metode mempertanyakan ulang batas-batasnya: bertujuan untuk mencapai suatu perubahan dalam kerangka kerja internasional yang ada.Kumpulan tulisan dalam buku ini mencoba melakukan terobosan yang lebih berani. Para kontributor diminta untuk menggunakan pendekatan atas realitas baru dan capaian pengetahuan utamanya pada bidang kebijakan hak cipta: ini bermaksud untuk menemukan gambaran, seperti apa hukum hak cipta jika kita mendesainnya ulang sedari awal di lingkup sosio-teknologi saat ini, tidak dibatasi oleh perjanjian internasional yang ada dan hukum serta praktik-praktik lainnya.
Ada kebutuhan mendesak untuk melakukan eksperimen pemikiran semacam ini.Meski ada kendala tersendiri dihadapi, saat kita menulis buku ini, berupa kerangka kerja internasional. Perjanjian internasional dalam bidang hak kekayaan intelektual dibingkai sedemikian rupa bukan menegaskan prinsip-prinsip umum, melainkan sebagai refleksi atas kebekuan keberadaan perundang-undangan hak cipta domestik. Baru-baru ini, wacana ini mengapung untuk dinegosiasikan dalam perdagangan (meskipun terhenti pada saat publikasi buku ini), terutama dalam "the Trans-Pacific Partnership" dan "the Transatlantic Trade and Investment Partnership".
Muncul kecurigaan besar untuk mendapat penjelasan secara gamblang dan spesifik dari keberadaan sistem hak cipta yang tak boleh diganggu gugat saat ini. Kita hidup di lingkungan sosial dan teknologi yang cepat berubah. Hanya segelintir orang yang memiliki kesempatan mengakses teknologi informasi pada 20 tahun yang lalu.Sekarang banyak dari kita selalu menenteng sarana digital yang dapat digunakan mengakses sebagian besar pengetahuan dunia dan budaya di seluruh dunia yang ada di saku kita. Kita pun tidak tahu seperti apa capaian teknologi pada 20 tahun dari sekarang atau bagaimana masyarakat akan bertranformasi nantinya,bagaimana kita bisa tahu sistem regulasi apa yang tepat yang akan kita butuhkan dimasa mendatang? Memang ada juga risiko jika kita berkeyakinan secara membabi buta akan adanya peluang merubah secara sistemik hak cipta tanpa menghiraukan kendala-kendala internasional yang akan dihadapi, namun kita akan kehilangan kemampuan bernalar dalam mengidentifikasi terkait cara seperti apa yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan kita. Pemikiran inkremental mengusulkan hanya terbatas sejauh perubahan-perubahan kecil dalam lingkup hak cipta tidaklah cukup.
Maka dari itu, Jessica Litman secara inspiratif bernarasi: kami mengundang anda semua untuk bergabung dalam eksperimen pemikiran kami ini, bagaimana jika kami dapat membuat undang-undang hak cipta baru yang betul-betul menyusun konsep justifikasinya dari dasar, mengabaikan batasan hukum internasional yang ada, kira-kira seperti apa bentuknya? Sebagai titik awal, setiap upaya untuk memikirkan kembali hingga menukik ke hal yang paling mendasar seperti itu membutuhkan setidak-tidaknya beberapa prinsip atau menetapkan kompas tujuan.Karena itu, kami telah memiliki prinsip sebagai panduannya: bepegang pada prinsip yang tujuannya untuk memajukan kepentingan publik.
Sarah Joseph (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
"Introduksi" ini adalah gambaran singkat kisi-kisi keseluruhan topik yang akan dibahas dalam bab-... more "Introduksi" ini adalah gambaran singkat kisi-kisi keseluruhan topik yang akan dibahas dalam bab-bab berikutnya dalam buku 'Blame It on WTO?: A Human Critique' karya Sarah Joseph (Oxford Press: 2012).
Sarah Joseph (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Dalam bab pembukaan ini, World Trade Oragnisation (WTO) dan rezim Hak Asasi Manusia (HAM) interna... more Dalam bab pembukaan ini, World Trade Oragnisation (WTO) dan rezim Hak Asasi Manusia (HAM) internasional akan diulas dan dijelaskan. Mengingat bab-bab berikutnya akan memfokuskan regulasi dan jalannya proses di dalam WTO secara lebih detail, dalam bab pendahuluan ini akan lebih banyak ruang dikhususkan terkait dasar-dasar hukum HAM internasional. Perhatian khususnya dititikberatkan pada hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob), karena semua itu kurang dipahami dengan baik ketimbang hak-hak lainnya oleh mereka yang tidak memiliki penguasaan materi-materi dalam HAM.
Sarah Joseph (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Setelah memperkenalkan lebih lanjut dua rezim hukum internasional yang relevan dalam Bab I, maka ... more Setelah memperkenalkan lebih lanjut dua rezim hukum internasional yang relevan dalam Bab I, maka perlu dibahas hubungan antara keduanya: rezim hukum WTO dan rezim hukum HAM. Pertama, membandingkan landasan filosofis yang mendasari dua rezim tersebut, diteruskan dengan melakukan analisis hubungan antara dua bidang hukum internasional tersebut.
Sarah Joseph (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Bab ini menganalisis pendapat yang menyatakan telah terjadi “defisit demokrasi” di WTO. Adanya de... more Bab ini menganalisis pendapat yang menyatakan telah terjadi “defisit demokrasi” di WTO. Adanya defisit memunculkan sangsi terhadap legitimasi dan keragu-raguanan terhadap cita-cita yang hendak dicapai oleh segala aturan main WTO. Pertama-tama, bab ini akan mengupas proses pengajuan klaim di internal WTO. Misalnya, jalannya negosiasi dan penyelesaian sengketa yang justru melemahkan kapasitas anggota karena wajib mengambil kebijakan sejalan dengan keinginan anggota WTO lainnya berdasar hasil voting. Hal ini merupakan yang ingin dikaji dalam bagian pembukaan bab ini. Di samping itu, bab ini juga menganalisis proses jalannya kelembagaan WTO yang merugikan konstituen tertentu, yaitu bagi negara-negara berkembang dan kepentingan keadilan sosialnya. Kedua, membahas isu-isu di atas yang beresonansi terhadap hukum HAM internasional, khususnya hak partisipasi politik dalam Pasal 25 ICCPR 1966, sebagaimana akan diuraikan nanti. Ketiga, membahas dugaan banyaknya defisit demokrasi dari dan di dalam WTO yang berdampak pada rezim hukum internasional lainnya. Untuk memeriksanya, perlu mengomparasikan dua rezim hukum tersebut, dengan maksud mengidentifikasi kebenaran terjadinya defisit demokrasi di WTO. Hal ini penting mendapat perhatian lebih dibanding terjadinya defisit demokrasi yang terjadi dalam ranah tata kelola internasional lain pada umumnya. Keempat, saya beranjak membahas secara argumentatif mengenai dampak dari praktik demokrasi di WTO secara singkat. Subbab tersebut akan membahas subtansi dari pertanyaan apakah WTO benar-benar merangsang pengembangan demokrasi di setiap negara anggotanya terlepas dari minimnya legitimasi demokrasi di lingkup domestiknya. Subbab kelima membahas proposisi terkait benarkah adanya WTO bertujuan untuk meningkatkan kemampuan negara berkembang dalam memenuhi kewajiban HAM-nya terlepas dari kelemahan tata kelola pemerintahan nasionalnya. Subbab keenam berisi simpulan bab ini.
Sarah Joseph (duterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Sarah Joseph (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Sarah Joseph (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Sarah Joseph (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Sarah Joseph (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Sarah Joseph (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Sarah Joseph (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Syaifudin Zuhri (diterjemahkan oleh Agung Mazkuri)
Artikel ini merupakan versi terjemah dari artikel yang ditulis oleh Syaifudin Zuhri. Artikel asli... more Artikel ini merupakan versi terjemah dari artikel yang ditulis oleh Syaifudin Zuhri. Artikel asli ditulis dalam bahasa Inggris dan termasuk bagian hasil penelitian lainnya terkait dinamika umat Muslim, kontestasi politik mereka, dan perubahan 'gairah' perpolitikan di Indonesia paska lengsernya Suharto, yang dibiayai oleh Kementerian Luar Negeri Kerajaan Belanda. Hak Cipta buku di bawah lisensi Leiden University Press, 2016.
Chris Amstrong (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Ini merupakan 'Introduction' versi bahasa Indonesia buku Prof. Chris Amstrong yang akan segera di... more Ini merupakan 'Introduction' versi bahasa Indonesia buku Prof. Chris Amstrong yang akan segera diterbitkan, beliau merupakan guru besar di Universitas Southampton. Dalam pengantar ini diuraikan mengenai permasalahan terkait sumber daya alam yang menjadi masalah tersendiri bagi eksistensi manusia. Sang Profesor, dengan teori egalitarian globalnya ingin mengajak kita menembus dimensi waktu kedepan tentang apa yang akan terjadi di dunia kita bila permasalahan sumber daya alam tak segera dirumuskan secara baik oleh masyarakat global. Tak cukup sampai disitu, Profesor juga menjelaskan antara keterkaitan antara keadilan global terkait sumber daya alam dan hak-hak asasi manusia.
Chris Amstrong (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Chris Amstrong (diterjemahkan oleh Agung Hidayat Mazkuri)
Agung Hidayat Mazkuri
Sebuah novel asmara yang mengambil latar belakang kota Semarang di musim hujan akhir tahun.
Agung Hidayat Mazkuri
Indonesia adalah negara yang mana angka kelahiran sangat tinggi. Hal tersebut berdampak pada usia... more Indonesia adalah negara yang mana angka kelahiran sangat tinggi. Hal tersebut berdampak pada usia produktif yang tinggi. Fakta ini, nyatanya, tidak diimbangi oleh kemampuan pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang mampu menyerap mereka. Sempitnya lapangan kerja di dalam negeri ini menyebabkan masyarakat bawah berpaling pada peluang kerja di luar negeri yang lebih luas dan menjanjikan secara ekonomi. Di sisi lain, negara merupakan pihak yang wajib menjamin hak-hak ekonomi. Hak ini termasuk hak asasi dewasa ini. Artikel ini membahas terkait konsep perjanjian kerja Pekerja Migran Indonesia dengan Pemberi Kerja, dan mekanisme perlindungan atas hak-hak mereka dalam pendekatan perundang-undangan terkait, yaitu UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Kata kunci: Hukum Kontrak, Hukum Perburuhan, Pekerja Migran. A. Latar Belakang dan Rumusan Masalah Dewasa ini, perlindungan hukum terhadap pekerja merupakan pemenuhan hak mendasar atau asasi dan dilindungi oleh: (i) hukum internasional. Dalam ranah hukum perburuhan internasional, secara khusus ketentuan tentang perlindungan seluruh hak-hak pekerja migran (migrant workers) diatur oleh International Convention on the Protection of All Migrant Worker and Members of Their Families, sebagaimana diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention on the Protection of All Migrant Worker and Members of Their Families. Kemudian, (ii) dalam ranah hukum nasional. Dalam konstitusi Indonesia, pengakuan, 1 Siapapun dilarang menerbitkan ulang tulisan ini tanpa izin sebelumnya kepada penulis dalam bentuk apapun karena melanggar Hak Moral penulis kecuali dalam hal sebagaimana diperkenankan oleh Undang-Undang.
Agung Hidayat Mazkuri & Sofyan Asfahani
ABTRACT It's time, a marks is categorized as Intellectual Property Rights. So, the protection of ... more ABTRACT
It's time, a marks is categorized as Intellectual Property Rights. So, the protection of a marks by the legal is required. This meant that is legal certainty among producers and consumers. Furthermore, as part of Intellectual Property Rights and a sub-system of private laws, so there are the principles of law that should not be ruled out too. The article will explore a marks as part of intellectual property rights through normatively approach to get an understanding why a marks can be categorized as part of Intellectual Property Rights.
ABSTRAKSI
Saat ini, merek dikategorikan sebagai Hak Kekayaan Intelektual, maka perlindungan sebuah merek oleh Undang-Undang dibutuhkan. Ini dimaksudkan adanya kepastian hukum antara produsen dan konsumen. Selain itu, sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual dan sub-sistem hukum privat, maka ada prinsip-prinsip hukum yang tidak boleh dikesampingkan juga. Artikel ini akan mengeksplorasi merek sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual melalui pendekatan secara normatif untuk mendapatkan pemahaman mengapa tanda dapat dikategorikan sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual.
Agung Hidayat Mazkuri & Bakri Iskandar
Agung Hidayat Mazkuri
Makalah ini adalah makalah yang diajukan dalam Debat Konstitusi Mahasiswa Antar Perguruan Tinggi ... more Makalah ini adalah makalah yang diajukan dalam Debat Konstitusi Mahasiswa Antar Perguruan Tinggi Se-Indonesia Tahun 2015.
Agung Hidayat Mazkuri & Bayu Nugraha
Pancasila merupakan ideologi yang bersifat konsensus bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan a... more Pancasila merupakan ideologi yang bersifat konsensus bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan acuan tolak bangsa Indonesia dalam bertindak dan bersikap bagi segenap Bangsa, baik dalam pergaulan nasional ataupun dalam pergaulan internasional. Lantas bagaimanakah nilai-nilai Pancasila dalam menanggapi isu globalisasi ?
Jimly Asshidique & M. Ali Safa'at
Ini adalah sebuah buku penantar memahami pemikiran-pemikiran Hans Kelsen terkait teori positivism... more Ini adalah sebuah buku penantar memahami pemikiran-pemikiran Hans Kelsen terkait teori positivisme hukum yang ditulis oleh Prof. Jimly Asshidique (Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi RI) dan Bapak Ali Syafa,at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang).
TIDAK UNTUK DIKOMERSILKAN !!
Peter Drahos (diterjemahkan Agung Hidayat Mazkuri)
Banyak sekali yang telah menulis teori tentang kepemilikan (property). Kepemilikan selalu dan tet... more Banyak sekali yang telah menulis teori tentang kepemilikan (property). Kepemilikan selalu dan tetap menjadi salah satu pelajaran utama dalam teori ilmu sosial. Sebagai seperangkat hak (yaitu gagasan bahwa kepemilikan adalah bundel hak), ia masih tetap menjadi objek utama analisis filosofis. Literatur yang membahas kepemilikan sangat berlimpah, namun relatif sedikit yang secara eksplisit membahas tuntas mengenai kepemilikan intelektual. Mungkin, karena anggapan bahwa teori kepemilikan secara umum—dalam literatur nasional jamak diistilahkan dengan “kebendaan/kepemilikan” (pnj.)—dengan sendirinya sudah dianggap mencakup semua bentuk kepemilikan, termasuk kepemilikan intelektual.
Mungkin asumsi tersebut benar dan mungkin juga tidak. Seperti hak milik lainnya, hak milik intelektual terkait dengan hubungan antarindividu. Tidak seperti hukum hak milik atas benda-benda berwujud, hukum mengenai hak milik intelektual berkaitan dengan kepemilikan atas objek abstrak. Algoritma dan formula penisilin serta turunannya adalah contoh dari objek abstrak. Banyak orang membutuhkan, mengonsumsi, dan tidak bisa lepas dari objek semacam itu. Banyak terjadi hubungan saling membutuhkan satu sama lain yang mencirikan kehidupan sosial dan corak pekerjaan di masyarakat “online” modern terkait dengan objek-objek abstrak tadi. Sebuah bentuk kepemilikan yang memungkinkan seseorang mengontrol objek abstrak yang bernilai guna tadi yang telah menciptakan banyak bentuk hubungan antarinvidu di masyarakat. Hal tersebut kemudian membengkak menjadi akumulasi kekuatan individu.
Hak untuk tidak diganggu, yaitu kebebasan-negatif seseorang, akan menghadapi ancaman lebih serius. Ada banyak yang dipertaruhkan ketika kepemilikan memperluas jangkauan ke objek-objek abstrak. Untuk alasan-alasan seperti ini, setidaknya patut dipertanyakan, apakah kita harus mengakomodasi kepemilikan intelektual dalam satu akun tertentu atau mengaturnya di beberapa akun peraturan yang ada yang memiliki kaitan dengan kepemilikan atau apakah kita harus mengembangkan teori kepemilikan intelektual tersendiri?
Buku ini di awal-awalnya akan mengetengahkan jawaban dari pertanyaan tadi. Penting untuk merujuk karya tiga tokoh pemikir besar tentang kepemilikan: Locke, Hegel, dan Marx. Sebagai kesimpulannya, tidak usah kaget, karya-karya mereka membantu kita memahami banyak hal tentang fenomena kepemilikan intelektual. Tapi, tidak ada teori terkait kepemilikan intelektual dengan komprehensif yang disuguhkan di dalam buku saya ini. Sebaliknya, bab terakhir buku ini berisi pendapat bahwa cara pandang filosofis mazhab instrumentalisme harus menjadi pandu kita dalam membangun pendekatan interdisipliner dan teori-teori kepemilikan intelektual. Lebih jauh, dalam kasus kepemilikan intelektual, istilah “hak milik” yang ada sekarang ini harus diganti dengan istilah “hak privilese”. Sebuah pekerjaan rumah untuk meletakkan dasar-dasar bagi hak privilese ini. Bab terakhir buku ini berisi pendapat mengenai perlunya menciptakan inti dari teori kepemilikan intelektual.