Kebudayaan Dayak Research Papers - Academia.edu (original) (raw)

The aim of the Sape Karaang Sustainable Project; a short video product with a narrative that is inhibiting and supporting the sustainability of sape karaang, folklores, music and cultural heritage of the Dayak Bahau people, is to... more

The aim of the Sape Karaang Sustainable Project; a short video product with a narrative that is inhibiting and supporting the sustainability of sape karaang, folklores, music and cultural heritage of the Dayak Bahau people, is to revitalize the musical culture of the Dayak Bahau tradition. This project combines the interest of Bahau youth generation in technology and the forms of conservation that parents of the Bahau culture want. Those who are benefitted by this project is Dayak Bahau community as well as Indonesia as a multicultural nation. The purpose of this paper is to discuss a practice-led approach used in empowering selected Bahau young people. This method is useful in providing guidance to researchers in finding realistic practices that actually bridges the gap between theory and practice during the project. This paper presents two significances: the practical approach and perceptibility in the decision-making process during a research project and the innovation to sustain indigenous traditional arts.

Rumah betang adalah Rumah Tradisional Suku Dayak daerah Kalimantan Tengah

PENGENALAN Pada tahun 2017, saiz dan kadar pertumbuhan penduduk di Malaysia ialah dianggarkan sebanyak 32.0 juta orang dengan 28.7 juta warganegara dan 3.3 juta bukan warganegara. Berbanding tahun 2016, kadar pertumbuhan penduduk... more

PENGENALAN Pada tahun 2017, saiz dan kadar pertumbuhan penduduk di Malaysia ialah dianggarkan sebanyak 32.0 juta orang dengan 28.7 juta warganegara dan 3.3 juta bukan warganegara. Berbanding tahun 2016, kadar pertumbuhan penduduk warganegara dan bukan warganegara pada 2017 menurun masing-masing kepada 1.1 peratus dan 2.9 peratus. Kadar pertumbuhan penduduk secara keseluruhan adalah 1.3 peratus. Manakala jika dilahat dari segi komposisi kaum pula, pada tahun 2017, etnik Bumiputera mencatatkan peningkatan sebanyak 0.2 mata peratus berbanding 2016 iaitu 68.8 peratus daripada jumlah penduduk warganegara. Walau bagaimanapun, etnik Cina mencatatkan penurunan 0.2 mata peratus kepada 23.2 peratus, manakala etnik India dan Lain-lain kekal masing-masing pada 7.0 peratus dan 1.0 peratus berbanding 2016 (Jabatan Perangkaan Malaysia, 2017). Manakala menurut Utusan Online (2016), Jumlah penduduk Malaysia pada tahun 2016 dianggarkan 31.7 juta orang iaitu meningkat sebanyak 0.5 juta berbanding 31.2 juta orang pada tahun 2015. Jika dilihat dari segi taburan kaum pula Etnik bumiputera mencatatkan peratusan tertinggi bagi kategori penduduk warganegara di Malaysia iaitu sebanyak 68.6 peratus diikuti oleh etnik Cina sebanyak 23.4 peratus, India sebanyak 7.0 peratus dan lain-lain ialah 1.0 peratus. Setelah melihat kadar bilangan rakyat negara kita yang semakin bertambah tahun demi tahun dan taburan kaum dalam negara kita yang agak tidak seimbang semestinya merupakan suatu cabaran bagi kaum-kaum minoriti dalam negara ini untuk memupuk hubungan yang baik antara satu sama lain. Bukan mudah untuk kita menggunakan ruang awam bagi memupuk hubungan etnik sedangkan di negara Amerika Syarikat yang mempunyai 2 bangsa sahaja iaitu bangsa kulit putih dan bangsa kulit hitam masih tidak dapat mencapai kata sepakat sehingga ke hari ini inikan pula negara kita yang terdiri daripada lebih daripada 40 lebih etnik termasuk etnik Sabah dan Sarawak.

Perkembangan zaman serta pertukaran waktu yang terus berganti akhirnya sampai juga kepercayaan baru diluar Islam menyentuh kehidupan serta penghidupan penduduk yang terletak dipedalaman. Perkembangan inilah yang menyebabkan adanya... more

Perkembangan zaman serta pertukaran waktu yang terus berganti akhirnya sampai juga kepercayaan baru diluar Islam menyentuh kehidupan serta penghidupan penduduk yang terletak dipedalaman. Perkembangan inilah yang menyebabkan adanya asimilasi penduduk setempat dengan penduduk pendatang yang melahirkan generasi yang baru. Generasi baru ini tidak mau menyebutkan dirinya dengan sebutan Dayak yang berarti sama dengan keterbelakangan yang sesuai dengan asal usul mereka, karena tingkat sosial budaya mereka yang sudah agak maju, maka anggota masyarakat ini menyebutkan diri mereka sendiri dengan sebutan Daya.
Begitu juga dengan Kaharingan, Agama Hidu Daya. Perbedaan antara religius dan profan dalam kebudayaan suku bangsa Dayak tidak begitu jelas. Bahkan, dari dulu tidak ada kata untuk agama. Baru sejak beberapa dasawarsa orang Kalimantan Tengah menggunakan istilah agama Kaharingan. Kaharingan yang berarti kehidupan, memang seperti itulah yang diharapkan oleh para penganutnya yaitu menghargai kehidupan. Sebab segala sesuatu yang ada seolah-olah mempunyai jiwa dan setiap benda-benda itu dijaga oleh nenek moyang yang memberikan perhatian kepada manusia yang masih hidup di dunia.

Orang Dayak Kayaan mengikuti liturgi misa dalam Bahasa Kayaan sudah selama tiga dekade. Penulis mengkaji pengaruh inkulturasi ini terhadap Budaya Dayak Kayaan dalam hal sistem kepercayaannya. Penelitian ini menggunakan metode... more

Perubahan sikap politik negara pasca Orde Baru mengarah pada semangat menciptakan masyarakat yang multikultural dan toleran, salah satu wujudnya adalah keluarnya kebijakan pengakuan terhadap agama lokal. Kaharingan adalah satu dari... more

Perubahan sikap politik negara pasca Orde Baru mengarah pada semangat menciptakan masyarakat yang multikultural dan toleran, salah satu wujudnya adalah keluarnya kebijakan pengakuan terhadap agama lokal. Kaharingan adalah satu dari beberapa agama lokal sebenarnya telah memperjuangkan pengakuan negara secara progresif dari sejak lama. Melalui negosiasi para elite mereka, Kaharingan dapat terlembagakan (institusionalisasi) dalam struktur negara (diakui) hingga mendapakan sarana prasarana penunjang peribadatan. Pertanyaannya, apakah semangat mempertahankan eksistensi agama lokal ini selalu disambut hal yang sama oleh penganutnya di level bawah? Dalam penelitian saya di sebuah pedesaan Dayak Kalimantan Tengah menemukan bahwa ternyata proses institusionalisasi Kaharingan tidaklah seperti apa yang diharapkan aktivisnya. Banyak di antara penganutnya justru berpindah agama lain, khususnya ketika ruang hidup mereka menghadapi transformasi sosial ekonomi baru. Pada tulisan ini saya ingin menunjukkan bahwa semangat negara maupun aktivisme dalam memperjuangkan agama lokal tidak cukup hanya memberikan pengakuan administratif, namun juga perlu memberikan perhatian pada persoalan perubahan sosial ekonomi dan budaya pada ruang hidup para penganutnya.

From explorers' writings late last century to contemporary tourism publications promoting Sarawak, the Iban people have been the focus of more than a century of academic and non- academic scrutiny. These descriptions are often accompanied... more

From explorers' writings late last century to contemporary tourism publications promoting Sarawak, the Iban people have been the focus of more than a century of academic and non- academic scrutiny. These descriptions are often accompanied by visual representations - as drawings and, more commonly, photographs - of the Iban. However, these images have never been seriously studied within an academic framework. In my research, I analyse these images through the contextual lenses of three periods: 'colonial', 'independence', and 'contemporary'.
I find that the politics of visual representations of the Iban in colonial times was largely similar to those of other colonised indigenous peoples around the world. I show that these colonial visual stereotypes of 'Iban man as warrior' and 'Iban woman as erotica' were also largely unchanged during Malaysia's independence. Unlike the past, however, the contemporary Iban show agency as they co-opt these usually negative visual stereotypes to their own advantage as they grapple with an ethnic identity that straddles the past and present. Reflecting on the legacy of such enduring visual representations, I discuss the extent to which they indicate that Iban culture - specifically their readily identifiable 'tribal' representations - is being utilised by the State as a tourism icon. More inwardly, I speculate if the State is creating a niche for Iban culture in the tradition of a Furnivallian pluralistic society. In general, my research shows that an analysis of visual representations can fill a significant gap in our understanding of the Iban people.

Abstrak Permasalahan yang terjadi adalah kekosongan hukum tentang pengaturan sanksi yang dapat dikenakan bagi Perebut Laki Orang (Pelakor) melalui jalur hukum nasional. Pada masyarakat adat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah sendiri telah... more

Abstrak Permasalahan yang terjadi adalah kekosongan hukum tentang pengaturan sanksi yang dapat dikenakan bagi Perebut Laki Orang (Pelakor) melalui jalur hukum nasional. Pada masyarakat adat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah sendiri telah diberlakukan sanksi Hukum Adat Dayak bagi masyarakat adat namun masih jarang diketahui oleh masyarakat suku Dayak sendiri. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis empiris yang dilakukan dengan observasi dan wawancara di Lembaga Kedamangan dan Dewan Adat Dayak (DAD) di Kalimantan Tengah untuk mengisi kekosongan hukum bagi masyarakat Adat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah sebelum diberlakukannya RUU KUHP. Upaya hukum untuk menjerat perbuatan pelakor adalah dengan bersumpah, upaya paling serius dalam masyarakat adat suku Dayak Ngaju. Mereka percaya bahwa sumpah yang diucapkan pada saat Basara Adat akan berakibat fatal bagi pihak yang berani berbohong atau tidak mau mengakui perbuatannya yaitu memiliki umur pendek, tidak ada rejeki, penyakit tersu-menerus untuknya, keturunan serta saudara-saudaranya. Sanksi adat Dayak Ngaju yang dikenakan bagi perbuatan pelakoradalah membayar dua kali nilai palaku adat perkawinan (mahar) lelaki yang direbutnya membayar ganti rugi malu bagi keluarga wanita istri sah, ganti rugi biaya pernikahan bagi istri sah dan pesta damai. Abstract The problem that occurs is a legal vacuum regarding the regulation of sanctions that can be imposed on women who dare to tempt married men (Pelakor) through national law. In Dayak indigenous people in

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hak-hak adat, dan kearifan lokal masyarakat Dayak terhadap pengelolaan hutan. Wilayah yang dikaji masyarakat adat Dayak di desa Lahei dan Hubang Raya Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimanatan... more

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hak-hak adat, dan kearifan lokal masyarakat Dayak terhadap pengelolaan hutan. Wilayah yang dikaji masyarakat adat Dayak di desa Lahei dan Hubang Raya Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimanatan Tengah. Metode pengumpulan data secara wawancara dengan masyarkat adat, obeservasi kelapangan serta memetakanya. Hasil kajian menunjukan bahwa hak-hak adat yang berhubungan dengan pengeloaan hutan yaitu Petak bahu, Tajahan, Sepan, Kaleka dan Tatas. Instrumen adat berupa: Pasah patahu, Sapundu Sandung dan Kuburan tua. Keraifan lokal yang berhubungan dengan pengelolaan hutan yaitu: Malan satiar, Mandum, Mengan, Manugal, Mebawau, Mite patendu, Membagi eka malan, Sahelo bara mandirik, Maneweng, Manyangar dan Hinting Pali yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Lokasi hak adat tersebut digambarkan dalam bentuk peta. Masyarakat Dayak didesa tersebut sangat berinteraksi erat dengan hutanya, ditunjukan dengan keberdaan hutan di kedua desa tersebut tersebut terjaga dan lestari serta dapat memenuhi kehiudpan masyarakat desa.

ABSTRAK Penelitian ini berfokus kepada melihat realitas kebudayaan tari Dayak dan selalu dikaitkan dengan unsur animisme yang selalu melekat di suku Dayak, dan maraknya perkembangan bahwa unsur dari sebuah kebudayaan tidak boleh masuk... more

ABSTRAK Penelitian ini berfokus kepada melihat realitas kebudayaan tari Dayak dan selalu dikaitkan dengan unsur animisme yang selalu melekat di suku Dayak, dan maraknya perkembangan bahwa unsur dari sebuah kebudayaan tidak boleh masuk kedalam gereja. Tentunya dalam tujuan hal penelitian ini adalah meninjau kembali dan mengevaluasi dalam meninjau usaha dan peran berdirinya kekristenan di Kalimantan tengah sehingga memperluas pandangan dari unsur budaya tersebut. metode kualitatif adalah hal yang tepat dalam melihat realitas yang ada dengan menggunakan pendekatan secara observasi/wawancara. Hal ini bertujuan melihat dan meninjau langsung reaksi masyarakat terhadap kebudayaan. Partisipan yang yang diwawancarai berlatar belakang penari adat dayak yang sering mengikuti kegiatan pentas seni di Kuala Kapuas. Dan hasil penelitian menunjukkan bahwa pentingnya menjaga dan melindungi kearifan lokal tari dayak agar tetap terjaga dan menjadi sebuah hal yang penting bagi suku ini. Maka, dilihat bahwa kebudayaan bagian penting untuk penduduk asli. Keberadaan sebuah masyarakat dan kultur yang berkembang dari generasi kegenerasi menjadi cikal bakal sebuah kebudayaan.

Foto-foto yang diambil oleh ahli geologi Swiss Wolfgang Leupold (1895–1986) telah memotret sumber etnografis yang sungguh berharga dalam koherensi sejarah dan geografis. Tepat karena karateristik gambar yang bersifat pribadi ini, adalah... more

Foto-foto yang diambil oleh ahli geologi Swiss Wolfgang Leupold (1895–1986) telah memotret sumber etnografis yang sungguh berharga dalam koherensi sejarah dan geografis. Tepat karena karateristik gambar yang bersifat pribadi ini, adalah bukti spesifik lintas sejarah Swiss – Indonesia pada awal abad ke-20an, dan dalam waktu yang sama juga sebagai dokumentasi foto sejarah yang menarik dengan kandungan nilai estetis tinggi.

Gilang Mahadika yang berjudul “Meninjau Ulang Niat Pemerintah Memperbaiki Kehidupan Masyarakat Dataran Tinggi” kaya akan sumber pustaka mengenai bagaimana secara historis negara selama ini mengabaikan pedesaan di dataran tinggi.... more

Gilang Mahadika yang berjudul “Meninjau Ulang Niat Pemerintah Memperbaiki Kehidupan Masyarakat Dataran Tinggi” kaya akan sumber pustaka mengenai bagaimana secara historis negara selama ini mengabaikan pedesaan di dataran tinggi. Pengabaian ini membuat negara seperti tidak pernah hadir dalam komunitas-komunitas di dataran tinggi dan pegunungan. Gilang mengkritik bahwa sekalinya pemerintah hadir dalam mengupayakan pembangunan di dataran tinggi, justru tidak menghadirkan solusi, melainkan memunculkan masalah baru bagi penduduk setempat. Beragam agenda pembangunan daerah tertinggal oleh pemerintah perlu melandaskan kembali pada konteks sejarah ekonomi dan sosial budaya yang ada di masyarakat, tidak sekadar mencerabut masyarakat dari akar tradisi atau budayanya.

Tugas Bahasa Inggris , yaitu mendeskripsikan Karungut

New Mandala website
11 March 2017

Tsao, Tiffany. "Indigenous Agency and Compliance: Contemporary Literature About Dayaks." PMLA 131.3 (2016), 686-700. This essay argues that strategic submission can play an important role in indigenous peoples’ attempts to obtain and... more

Tsao, Tiffany. "Indigenous Agency and Compliance: Contemporary Literature About Dayaks." PMLA 131.3 (2016), 686-700.
This essay argues that strategic submission can play an important role in indigenous peoples’ attempts to obtain and maintain agency under the shadow of dominant discourse. Discussions foundational to the field of postcolonial studies have tended to focus on the importance of subversion, resistance, and counterdiscourse in liberating the oppressed subject. Taking reading cues from anthropological and sociological accounts of Dayak compliance with various constructions of Dayaks, this essay looks at how the writing of literature about Dayaks (by both non-Dayaks and Dayaks) functions as an enactment of and meditation on the application of dominant discourse to indigenous peoples and the opportunities that such discourse affords for carving out spaces of autonomy.

Dayak Bahau people are inherited various rituals and folklores. One of them is the Ritual of Hudo’ Kawit/Ngawit. Held every year marking the beginning of yearly planting cycle, Hudo’ Kawit is one of the biggest annual events for Dayak... more

Dayak Bahau people are inherited various rituals and folklores. One of them is the Ritual of Hudo’ Kawit/Ngawit. Held every year marking the beginning of yearly planting cycle, Hudo’ Kawit is one of the biggest annual events for Dayak Bahau in several regions of East Kalimantan, especially Samarinda. Delivered mostly in Dayak Bahau vernacular, the meaning and purpose of this ritual are not easy to understand by the outsiders. However, this ritual is essentially based on a long live folklore existing in the folk group. So, this study aims to convey how Baraa’ Hudo’ Kawit (the main prayer in the ritual) represents perception of God in Dayak Bahau Commnuitiy and how motifs of good and evil is transferred from the ritual. To answer these questions, theories related to Folklore & Rituals (Joseph Campbell, Stith Thompson), and Collective Unconsciousness & Archetypal Motifs (Carl Gustav Jung) are applied to the texts of Baraa’ Hudo’ Kawit. Structuralist approach is used to examine the elements of the text to relate them to the wider cultural context of Dayak Bahau community. The findings are that Baraa’ Hudo’ Kawit has given a validation to the ritual as the expression of their experience on nature and divinity. Meanwhile, the folklore recited in the prayer delivers a set of values which show the significances of Hudo’ Kawit for wider society. Those values are 1. that evil deed should not be fought back with violence, 2. that there is power in the universe that support goodwill, 3. that arrogance counts as evil deed, 4. that human depends to the others, and 5. that forgiveness reconciliation is the key to live in harmony. Such values are the key for the survival of the culture and the bond among the believers as one cultural identity. Thus, Indonesians in general are able to get the picture of the way Dayak Bahau people perceive their belief in God and how they portray the belief in day to day manners because there is universal meaning which is applicable to other collective importance.

Kalimantan merupakan pulau terbesar ketiga di dunia yang luasannya hanya disaingi oleh Greenland dan Irian. Eksistensi dari Kalimantan bahwasannya sering di konotasikan pada isu-isu yang berbau tradisional serta adat dan budaya yang masih... more

Kalimantan merupakan pulau terbesar ketiga di dunia yang luasannya hanya disaingi oleh Greenland dan Irian. Eksistensi dari Kalimantan bahwasannya sering di konotasikan pada isu-isu yang berbau tradisional serta adat dan budaya yang masih kental karena memang, sebagaian besar wilayah di Kalimantan serta masyarakatnya masih senantiasa memegang teguh budaya dan adatistiadat yang turun temurun dilestarikan hingga saat ini.

This is the accompanying slide on the guest lecture on on the topic of Indonesian Diversity to students from Southeast Asian countries who attended the Passage to Asian (P2A) Journey: "Jakarta Chapter" held in Jakarta, Indonesia on 30... more

In hegemonialen Diskursen, die sich gerade in ökonomischer Hinsicht als wirkmächtig erwiesen haben, erscheinen ökologische Konfikte meist als Konfikte um das adäquate Management von Ressourcen. Der epistemische Subtext dieser... more

This paper discusses how the Dayak Iban community of Sui Utik, Kalimantan, with the help of Sekar Kawung, a social enterprise foundation, uses the indigenous system of Tembawang to challenge deforestation and concomitant problems of air... more

This paper discusses how the Dayak Iban community of Sui Utik, Kalimantan, with the help of Sekar Kawung, a social enterprise foundation, uses the indigenous system of Tembawang to challenge deforestation and concomitant problems of air pollution through creative works based on the materials of the local rainforest. The research for this paper includes interviews with the founder of Sekar Kawung foundation, literature reviews, photographs, social media reports and community summaries. Sui Utik, in collaboration with Sekar Kawung, has developed creative works including weavings, an innovative application of tattoos, food and beverage products, and eco treks. The research found that the Sui Utik community, which started producing creative works in 2015, have continued their practice as social entrepreneurs. It is suggested that they should now expand their practice by working together with other indigenous entrepreneurs to challenge Indonesian craftsmen and designers to take their creativity, skills and knowledge to an international market. As part of this move, the development of innovative marketing tools using new technologies should be explored, while maintaining local wisdom as the core value for making creative works.

Paper semester pertama dalam mata kuliah Kebudayaan Indonesia

Melihat Fenomena perjudian yang ada dalam budaya Dayak Maanyan

edited together with Cathrin Arenz, Stefan Seitz und Oliver Venz This volume provides a balanced picture of change and continuity within Dayak societies from an anthropological perspective by exploring diverse ways in which certain kinds... more

edited together with Cathrin Arenz, Stefan Seitz und Oliver Venz
This volume provides a balanced picture of change and continuity within Dayak societies from an anthropological perspective by exploring diverse ways in which certain kinds of knowledge, performances and practices continue within the context of rapid and profound change. The contributions cover a broad variety of topics including political reform, decentralisation, environmental change and related changes in natural resource management, religion and ritual practice, the (re-)formation of ethnic identities as well as conflict transformation in Indonesian Borneo.​

Die Fotografien des Schweizer Geologen Wolfgang Leupold (1895–1986) stellen in ihrer zeitlichen und geographischen Geschlossenheit ethnographisch wertvolle Quellen dar. Sie sind, gerade durch ihren privaten Charakter, besondere Zeugnisse... more

Die Fotografien des Schweizer Geologen Wolfgang Leupold (1895–1986) stellen in ihrer zeitlichen und geographischen Geschlossenheit ethnographisch wertvolle Quellen dar. Sie sind, gerade durch ihren privaten Charakter, besondere Zeugnisse einer schweizerisch-indonesischen histoire croisée und zugleich auch Dokumente von grossem fotohistorischem Interesse.